BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Teori media kritis akarnya berasal dari aliran ilmu-ilmu kritis yang bersumber pada ilmu sosial Marxis. Beberapa tokoh yang mempeloporinya antara lain Karl Mark, Engels (pemikiran klasik), George Lukacs, Korsch, Gramschi, Guevara, Regis, Debay, T . Adorno, Horkheimer, Marcuse, Habermas, Altrusser, Johan Galtung, Cardoso, Dos Santos, Paul Baran Samir Amin, Hamza Alavi (pemikiran modern). Ilmu ini juga disebut dengan emancipatory science (cabang ilmu sosial yang berjuang untuk mendobrak status quo dan membebaskan manusia, khususnya rakyat miskin dan kecil dari status quo dan struktur sistem yang menindas). Teori kritis adalah sebutan untuk orientasi teoritis tertentu yang bersumber dari Hegel dan Marx, disistematisasi oleh Horkheimer dan sejawatnya di Institut Penelitian Sosial di Frankfu...
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam ilmu komunikasi, penelitian terhadap gejala-gejala atau realitas komunikasi telah berkembang sejak lama. Seorang Profesor komunikasi Universitas Colorado, Robert T. Craig berusaha menggambarkan secara teoristis sebuah komunikasi kedalam bentuk langkap. Craig beranggapan bahwa teori komunikasi, adalah suatu disiplin yang praktis yang didasari oleh kehidupan yang nyata dengan masalah sehari – hari melalui praktek komunikasi. Craig menjelaskan bahwa semua teori-teori komunikasi yang relevan dengan kehidupan dunia praktis yang umum di mana komunikasi sudah menjadi istilah yang memiliki banyak makna. Craig mengidentifikasi tujuh tradisi teori komunikasi. Beberapa pendekatan yang bersifat aktual, yang biasa digunakan oleh para peneliti untuk mempelajari pelatihan dan masalah komunikasi. Craig mengatakan bahwa komunikasi merupakan proses primer menyangkut pengalaman kehidupan manusia, yaitu bahwa komunikasi membentuk kenyataan. Banyaknya bentuk peng...
♥ Jilbab. Everybody knows it. Benda yang menutup kepala ini sering juga disebut tudung, kudung, kerudung, etc. Nowadays, sering kita melihat muslimah berjilbab—di sekolah, di kampus, di pasar and in other public places. It means, jilbab bukan barang asing lagi bagi masyarakat. Bandingkan dengan kondisi jilbab 10 years ago or exactly during pemerintahan presiden Soeharto. Bukankah kita sulit menemui muslimah berjilbab? Saat itu muslimah memang tidak diberi kebebasan (baca: dilarang) untuk mengenakan jilbab terutama di sekolah, di kampus, di instansi pemerintahan, etc. (Duuh…sedih ya, katanya ini negeri muslim, tapi orang islamnya sendiri ‘terjajah’?) Ketika reformasi (apa ‘repot nasi’?) datang, the freedom to use jilbab, akhirnya dapat kita peroleh—dengan serangkaian perjuangan yang panjang tentunya. Jilbaber (muslimah berjilbab) pun sudah tidak memandang golongan lagi. Mulai dari pelajar, mahasiswa, guru, pegawai pemerintahan, ibu-ibu pejabat yang terhormat, hingga para sele...
Komentar
Posting Komentar