METODE PENELITIAN KUALITATIF
1. Pendahuluan
Setiap
kegiatan penelitian sejak awal sudah harus ditentukan dengan jelas
pendekatan/desain penelitian apa yang akan diterapkan, hal ini dimaksudkan agar
penelitian tersebut dapat benar-benar mempunyai landasan kokoh dilihat dari
sudut metodologi penelitian, disamping pemahaman hasil penelitian yang akan lebih proporsional apabila pembaca mengetahui
pendekatan yang diterapkan.
Obyek
dan masalah penelitian memang mempengaruhi pertimbangan-pertimbangan mengenai
pendekatan, desain ataupun metode penelitian yang akan diterapkan. Tidak semua
obyek dan masalah penelitian bisa didekati dengan pendekatan tunggal, sehingga
diperlukan pemahaman pendekatan lain yang berbeda agar begitu obyek dan masalah
yang akan diteliti tidak pas atau kurang sempurna dengan satu pendekatan maka
pendekatan lain dapat digunakan, atau bahkan mungkin menggabungkannya.
Secara
umum pendekatan penelitian atau sering juga disebut paradigma penelitian yang cukup
dominan adalah paradigma penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Dari segi peristilahan para akhli nampak
menggunakan istilah atau penamaan yang berbeda-beda meskipun mengacu pada hal
yang sama, untuk itu guna menghindari kekaburan dalam memahami kedua pendekatan
ini, berikut akan dikemukakan penamaan
yang dipakai para akhli dalam penyebutan kedua istilah
tersebut seperti terlihat dalam tabel 1
berikut ini :
Tabel 1.
Quantitative and Qualitative
Research : Alternative Labels
Quantitative
|
Qualitative
|
Authors
|
Rasionallistic
|
Naturalistic
|
Guba &Lincoln (1982)
|
Inquiry from the Outside
|
Inquiry from the inside
|
Evered & Louis (1981)
|
functionalist
|
Interpretative
|
Burrel & Morgan (1979)
|
Positivist
|
Constructivist
|
Guba (1990)
|
Positivist
|
Naturalistic-ethnographic
|
Hoshmand
(1989)
|
Sumber :
Julia Brannen (Ed): 1992 : 58)
Sementara
itu Noeng Muhadjir (1994 : 12) mengemukakan beberapa nama yang
dipergunakan para ahli tentang metodologi
penelitian kualitatif yaitu: grounded research, ethnometodologi,
paradigma naturalistik, interaksi simbolik, semiotik, heuristik, hermeneutik,
atau holistik . perbedaan tersebut dimungkinkan karena perbedaan titik tekan
dalam melihat permasalahan serta latar brlakang disiplin ilmunya, istilah
grounded research lebih berkembang
dilingkungan sosiologi dengan tokohnya Strauss dan Glaser (untuk di Indonesia istilah ini
diperkenalkan/dipopulerkan oleh Stuart A. Schleigel dari Universitas California
yang pernah menjadi tenaga ahli pada Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu
soaial Banda Aceh pada tahun 1970-an),
ethnometodologi lebih berkembang di lingkungan antropologi dan
ditunjang antara lain oleh Bogdan ,
interaksi simbolik lebih berpengaruh di pantai barat Amerika Serikat dikembangkan
oleh Blumer, Paradigma naturalistik dikembangkan antara lain oleh Guba yang
pada awalnya memperoleh pendidikan dalam fisika, matematika dan penelitian kuantitatif.
Secara
lebih rinci Patton (1990 : 88) mengemukakan-penamaan- macam-macam
penelitian kualitatif (Qualitative inquiry) berdasarkan tradisi
teoritisnya yang diuraikan dalam bentuk
tabel sebagai berikut :
Tabel 1.
variety in qualitative Inquiry : Theoritical traditions
No
|
Perspektif
|
Akar Ilmu
|
Pertanyaan Utama
|
1
|
Ethnography
|
Anthropology
|
Apa kebudayaan masyarakat ini ?
|
2
|
Phenomenology
|
Philosophy
|
Apa struktur dan esensi pengalaman atas
gejala-gejala ini bagi masyarakat tersebut?
|
3
|
Heuristics
|
Psikologi Humanistik
|
Apa pengalaman saya mengenai gejala-gejala ini
dan apa pengalaman essensial bagi yang lain yang juga mengalami gejala ini
secara intens ?
|
4
|
Ethnomethodology
|
Sosiology
|
Bagaimana orang memahami kegiatan sehari-hari
mereka sehingga berprilaku dengan cara yang dapat diterima secara sosial ?
|
5
|
Symbolic interactionism
|
Psikologi sosial
|
Apa simbul dan pemahaman umum yang telah muncul
dan memberikan makna bagi interaksi sosial masyarakat ?
|
6
|
Echological Psychology
|
Psikologi lingkungan
|
Bagaimana
orang-orang mencapai tujuan mereka melalui prilaku tertentu dalam
lingkungan yang tertentu ?
|
7
|
System theory
|
interdisipliner
|
Bagaimana
dan kenapa sistem ini berfungsi secara keseluruhan ?
|
8
|
Chaos theory: non -linier dynamics
|
Fisika teoritis : ilmu-ilmu alam
|
Apa yang mendasari keteraturan gejala-gejala yang
tak teratur jika ada ?
|
9
|
Hermeneutics
|
Teologi, filsafat, kritik sastra
|
Apa kondisi-kondisi yang melahirkan prilaku atau
produk yang dihasilkan yang memungkinkan penafsiran makna ?
|
10
|
Orientaional, qualitative
|
Ideologi, ekonomi politik
|
Bagimana perspektif ideologi seseorang berujud
dalam suatu gejala ?
|
Dalam
perkembangannya, belakangan ini nampaknya istilah penelitian kualitatif telah
menjadi istilah yang dominan dan baku,
meskipun mengacu pada istilah yang berbeda dengan pemberian karakteristik yang berbeda pula, namun bila dikaji lebih jauh
semua itu lebih bersifat saling melengkapi/memperluas dalam suatu bingkai metodologi penelitian kualitatif.
Oleh
karena itu dalam wacana metodologi
penelitian, umumnya diakui
terdapat dua paradigma utama dalam metodologi
penelitian yakni paradigma positivist (penelitian kuantitatif) dan
paradigma naturalistik (penelitian kualitatif), ada ahli yang memposisikannya
secara diametral, namun ada juga yang mencoba menggabungkannya baik dalam makna
integratif maupun bersifat komplementer, namun apapun kontroversi yang terjadi
kedua jenis penelitian tersebut memiliki perbedaan-perbedaan baik dalam tataran
filosofis/teoritis maupun dalam tataran
praktis pelaksanaan penelitian, dan
justru dengan perbedaan tersebut akan nampak kelebihan dan kekurangan
masing-masing, sehingga seorang peneliti akan dapat lebih mudah memilih metode
yang akan diterapkan apakah metode kuantitatif atau metode kualitatif dengan
memperhatikan obyek penelitian/masalah yang akan diteliti serta mengacu pada
tujuan penelitian yang telah ditetapkan.
Meskipun
dalam tataran praktis perbedaan antara keduanya seperti nampak sederhana dan
hanya bersifat teknis, namun secara
esensial keduanya mempunyai landasan epistemologis/filosofis yang sangat
berbeda. Penelitian kuantitatif merupakan pendekatan penelitian yang mewakili
paham positivisme, sementara itu penelitian kualitatif merupakan pendekatan penelitian yang mewakili
paham naturalistik (fenomenologis).
Untuk lebih memahami landasan filosofis kedua paham tersebut, berikut
ini akan diuraiakan secara ringkas kedua aliran faham tersebut.
1.1.
Positivisme
Positivisme merupakan aliran filsafat yang dinisbahkan/ bersumber dari pemikiran Auguste Comte seorang
folosof yang lahir di Montpellier
Perancis pada tahun 1798, ia seorang yang sangat miskin, hidupnya banyak
mengandalkan sumbangan dari murid dan teman-temannya antara lain dari folosof inggeris John Stuart Mill
(juga seorang akhli ekonomi), ia meninggal pada tahun 1857. meskipun demikian
pemikiran-pemikirannya cukup berpengaruh yang dituangkan dalam
tulisan-tulisannya antara lain Cours de Philosophie Positive (Kursus
filsafat positif) dan Systeme de Politique Positive (Sistem politik
positif).
Salah
satu buah pikirannya yang sangat penting dan berpengaruh adalah tentang tiga tahapan/tingkatan
cara berpikir manusia dalam berhadapan dengan alam semesta yaitu : tingkatan
Teologi, tingkatan Metafisik, dan tingkatan Positif
Tingkatan
Teologi (Etat Theologique). Pada tingkatan ini
manusia belum bisa memahami hal-hal yang
berkaitan dengan sebab akibat. Segala kejadian dialam semesta merupakan akibat
dari suatu perbuatan Tuhan dan manusia hanya bersifat pasrah, dan yang dapat
dilakukan adalah memohon pada Tuhan agar dijauhkan dari berbagai bencana.
Tahapan ini terdiri dari tiga tahapan lagi yang berevolusi yakni dari tahap
animisme, tahap politeisme, sampai dengan tahap monoteisme.
Tingkatan
Metafisik (Etat Metaphisique). Pada dasarnya
tingkatan ini merupakan suatu variasi dari cara berfikir teologis, dimana Tuhan
atau Dewa-dewa diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak misalnya dengan istilah
kekuatan alam. Dalam tahapan ini manusia mulai menemukan keberanian dan merasa bahwa kekuatan yang
menimbulkan bencana dapat dicegah dengan memberikan berbagai sajian-sajian
sebagai penolak bala/bencana.
Tingkatan
Positif (Etat Positive). Pada tahapan ini manusia
sudah menemukan pengetahuan yang cukup untuk menguasai alam. Jika pada tahapan
pertama manusia selalu dihinggapi rasa khawatir berhadapan dengan alam semesta,
pada tahap kedua manusia mencoba mempengaruhi kekuatan yang mengatur alam
semesta, maka pada tahapan positif manusia lebih percaya diri, dengan
ditemukannya hukum-hukum alam, dengan bekal
itu manusia mampu menundukan/mengatur (pernyataan ini mengindikasikan
adanya pemisahan antara subyek yang mengetahui dengan obyek yang diketahui) alam serta memanfaatkannya untuk kepentingan
manusia, tahapan ini merupakan tahapan dimana manusia dalam hidupnya lebih
mengandalkan pada ilmu pengetahuan.
Dengan
memperhatikan tahapan-tahapan sepertti dikemukakan di atas nampak bahwa istilah
positivisme mengacu pada tahapan ketiga (tahapan positif/pengetahuan positif)
dari pemikiran Comte. Tahapan positif merupakan tahapan tertinggi, ini
berarti dua tahapan sebelumnya merupakan
tahapan yang rendah dan primitif, oleh karena itu filsafat Positivisme
merupakan filsafat yang anti metafisik, hanya fakta-fakta saja yang dapat
diterima. Segala sesuatu yang bukan fakta atau gejala (fenomin) tidak mempunyai
arti, oleh karena itu yang penting dan punya arti hanya satu yaitu mengetahui
(fakta/gejala) agar siap bertindak (savoir pour prevoir).
Manusia
harus menyelidiki dan mengkaji berbagai gejala yang terjadi beserta
hubungan-hubungannya diantara gejala-gejala tersebut agar dapat meramalkan apa
yang akan terjadi, Comte menyebut hubungan-hubungan tersebut dengan
konsep-konsep dan hukum-hukum yang bersifat positif dalam arti berguna untuk
diketahui karena benar-benar nyata bukan bersifat spekulasi seperti dalam
metafisika.
1.2.
Fenomenologi
Edmund
Husserl adalah filosof yang mengmbangkan metode
Fenomenologi, dia lahir di Prostejov
Cekoslowakia dan mengajar di berbagai Universitas besar Eropa, meninggal pada
tahun 1938 di Freiburg. Hasil pemikirannya dapat diselamatkan dari kaum Nazi,
dengan membawa seluruh buku dan tulisannya
ke Universitas Leuven Belgia, sehingga kemudian dapat dikembangkan lebih
lanjut oleh murid-muridnya. Diantara tulisan-tulisan pentangnya adalah : Logische
Untersuchungen (Penyeliddikan-penyelidikan Logis) dan Ideen zu einer reinen Phanomenologie und
Phanomenologischen Philosophie (gagasan-gagasan untuk suatu fenomenologi murni
dan filsafat fenomenologi)
Dalam
faham fenomenologi sebagaimana diungkapkan oleh Husserl, bahwa kita harus
kembali kepada benda-benda itu sendiri (zu den sachen selbst), obyek-obyek
harus diberikan kesempatan untuk
berbicara melalui deskripsi fenomenologis guna mencari hakekat gejala-gejala (Wessenchau).
Husserl berpendapat bahwa kesadaran bukan bagian dari kenyataan melainkan asal kenyataan, dia menolak
bipolarisasi antara kesadaran dan alam,
antara subyek dan obyek, kesadaran tidak menemukan obyek-obyek, tapi
obyek-obyek diciptakan oleh kesadaran.
Kesadaran
merupakan sesuatu yang bersifat intensionalitas (bertujuan), artinya kesadaran
tidak dapat dibayangkan tanpa sesuatu yang disadari. Supaya kesadaran timbul
perlu diandaikan tiga hal yaitu : ada
subyek, ada obyek, dan subyek yang terbuka terhadap obyek-obyek. Kesadaran
tidak bersifat pasif karena menyadari sesuatu berarti mengubah sesuatu,
kesadaran merupakan suatu tindakan, terdapat interaksi antara tindakan
kesadaran dan obyek kesadaran, namun yang ada hanyalah kesadaran sedang obyek
kesadaran pada dasarnya diciptakan oleh kesadaran.
Berkaitan
dengan hakekat obyek-obyek, Husserl berpandapat bahwa untuk menangkap
hakekat obyek-obyek diperlukan tiga macam reduksi guna menyingkirkan semua hal
yang mengganggu dalam mencapai wessenchau yaitu: Reduksi pertama. Menyingkirkan segala
sesuatu yang subyektif, sikap kita harus obyektif, terbuka untuk gejala-gejala
yang harus diajak bicara. Reduksi kedua. Menyingkirkan seluruh
pengetahuan tentang obyek yang diperoleh dari sumber lain, dan semua teori dan
hipotesis yang sudah ada Reduksi ketiga. Menyingkirkan seluruh tradisi
pengetahuan. Segala sesuatu yang sudah dikatakan orang lain harus, untuk
sementara, dilupakan, kalau reduksi-reduksi ini
berhasil, maka gejala-gejala akan memperlihaaaatkan dirinya
sendiri/dapat menjadi fenomin
1.3.
Perbandingan tataran Filosofis
Kedua
aliran filsafat tersebut terus berkembang dengan dukungan prngikut-pengikutnya,
yang dalam wacana metodologi penelitian telah mendorong lahirnya paradigma
penelitian kuantitatif (positivisme) dan paradigma penelitian kualitatif
(fenomenologi). Kedua paradigma pendekatan penelitian tersebut nampak sekali
mempunyai asumsi/aksioma dasar filosofis dan paradigma berbeda yang menurut Lincoln dan Guba
perbedaan tersebut terletak dalam asumsi/aksioma tentang kenyataan, hubungan
pencari tahu dengan tahu (yang diketahui), generalisasi, kausalitas, dan
masalah nilai, untuk lebih rincinya dapat dilihat dalam tabel berikut :
Dalam
pandangan positivisme dari sudut ontologi meyakini bahwa realitas merupakan
suatu yang tunggal dan dapat dipecah-pecah
untuk dipelajari/dipahami secara bebas, obyek yang diteliti bisa
dieliminasikan dari obyek-obyek lainnya, sedangkan dalam pandangan fenomenologi
kenyataan itu merupakan suatu yang utuh, oleh karena itu obyek harus dilihat
dalam suatu konteks natural tidak dalam bentuk yang terfragmentasi.
Dari
sudut epistemologi, positivisme mensyaratkan adanya dualisme antara subyek
peneliti dengan obyek yang ditelitinya, pemilahan ini dimaksudkan agar dapat
diperoleh hasil yang obyektif, sementara itu dalam pandangan Fenomenologis
subyek dan obyek tidak dapat dipisahkan dan aktif bersama dalam memahami berbagai
gejala. Dari sudut aksiologi, positivisme mensyaratkan agar penelitian itu
bebas nilai agar dicapai obyektivitas konsep-konsep dan hukum-hukum sehingga
tingkat keberlakuannya bebas tempat dan waktu, sedangkan dalam pandangan
fenomenologi penelitian itu terikat oleh nilai sehinggan hasil suatu penelitian
harus dilihat sesuai konteks.
Untuk
lebih jelasnya berikut ini akan dikemukakan perbandingan antara paradigma
positivisme dan paradigma alamiah (fenomenologi) dengan mengacu pada pendapat
Lincoln dan Guba, sebagaimana terlihat dalam tabel berikut :
Tabel 2.
Perbedaan Aksioma Paradigma Positivisme dan Alamiah
No
|
Aksioma Tentang
|
Paradigma
Positivisme
|
Paradigma Alamiah/Kualitatif
|
1
|
Hakikat kenyatan
|
Kenyataan adalah tunggal, nyata dan fragmentaris
|
Kenyataan adalah ganda,dibentuk, dan me-rupakan keutuhan
|
2
|
Hubungan pencari tahu dan yang tahu
|
Pencari tahu dengan yang tahu adalah bebas, jadi ada dualisme
|
Pencari tahu dengan yang tahu aktif bersama, jadi tidak dapat
dipisahkan
|
3
|
Kemungkinan Generalisasi
|
Generalisasi atas dasar bebas-waktu dan bebas-konteks (pernyataan
nomotetik)
|
Hanya waktu dan konteks yang mengikat hipotesis kerja (pernyataan
idiografis) yang dimungkinkan
|
4
|
Kemungkinan hubungan sebab akibat
|
Terdapat penyebab sebenarnya yang secara temporer terhadap, atau
secara simultan terhadap akibatnya
|
Setiap keutuhan berada dalam keadaan mempe-ngaruhi secara bersama-sama
sehingga sukar mem-bedakan mana sebab dan mana akibat
|
5
|
Peranan nilai
|
Inkuirinya bebas
nilai
|
Inkuirinya terikat
nilai
|
(Sumber : Lexy J. Moleong : 2000 : 31)
1.4. Perbandingan tataran Metodologis
Memahami
landasan filosofis penelitian kualitatif dalam perbandingannya dengan
penelitian kuantitatif merupakan hal yang penting sebagai dasar bagi pemahaman
yang tepat terhadap penelitian
kualitatif, namun demikian bagi seorang peneliti penguasaan dalam tingkatan
operasional lebih diperlukan lagi agar dalam pelaksanaan penelitian tidak
terjadi kerancuan metodologis, dan penelitian benar-benar dilaksanakan dalam
suatu bingkai pendekatan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam
tataran metodologis perbedaan landasan filosofis terrefleksikan dalam perbedaan
metode penelitian, dimana positivisme dimanifestasikan dalam metode penelitian
kuantitatif sedangkan fenomenologi dimanifestasikan dalam metode penelitian
kualitatif. Kedua pendekatan ini sering diposisikan secara diametral, meskipun
belakangan ini terdapat upaya untuk menggabungkannya baik dalam bentuk
paralelisasi maupun kombinasi, adapun perbedaan antara metode kuantitatif dengan
kualitatif adalah sebagai berikut :
Tabel 3.
Perbedaan Metode Kuantitatif dengan Kualitatif
No
|
Metode Kuantitatif
|
Metode Kualitatif
|
1
|
Menggunakan hiopotesis yang ditentukan
sejak awal penelitian
|
Hipotesis dikembangkan sejalan dengan penelitian/saat penelitian
|
2
|
Definisi yang jelas dinyatakan sejak awal
|
Definisi sesuai konteks atau saat penelitian berlangsung
|
3
|
Reduksi data menjadi angka-angka
|
Deskripsi naratif/kata-kata, ungkapan atau pernyataan
|
4
|
Lebih memperhatikan reliabilitas skor yang diperoleh melalui instrumen
penelitian
|
Lebih suka menganggap cukup dengan reliabilitas penyimpulan
|
5
|
Penilaian validitas menggunakan berbagai prosedur dengan mengandalkan
hitungan statistik
|
Penilaian validitas melalui pengecekan silang atas sumber informasi
|
6
|
Mengunakan deskripsi prosedur yang jelas (terinci)
|
Menggunakan deskripsi prosedur secara naratif
|
7
|
sampling random
|
Sampling purposive
|
8
|
Desain/kontrol statistik atas variabel eksternal
|
Menggunakan analisis logis
dalam mengontrol variabel ekstern
|
9
|
Menggunakan desain khusus untuk mengontrol bias prosedur
|
Mengandalkan peneliti dalam mengontrol bias
|
10
|
Menyimpulkan hasil menggunakan statistik
|
Menyimpulkan hasil secara naratif/kata-kata
|
11
|
Memecah gejala-gejala menjadi bagian-bagian untuk dianalisis
|
Gejala-gejala yang terjadi dilihat dalam perspektif keseluruhan
|
12
|
Memanipulasi aspek, situasi atau kondisi dalam mempelajari gejala yang
kompleks
|
Tidak merusak gejala-gejala yang terjadi secara alamiah /membiarkan
keadaan aslinya
|
(diadaptasi dari Jack R. Fraenkel & Norman E. Wallen. 1993 : 380)
Komentar
Posting Komentar