PELAKU – PELAKU EKONOMI



Di dalam sistem perekonomian Indonesia dikenal ada 3 pilar utama yang menyangga perekonomian. Ketiga pilar itu adalah badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik swasta (BUMS), dan Koperasi. Menurut jumlah unit usaha, jumlah BUMN jauh lebih kecil dibandingkan jumlah perusahaan-perusahaan swasta, tetapi BUMN-BUMN tersebut beroperasi di sektor-sektor atau subsektor ekonomi yang sangat strategis seperti pertambangan, energi, dan sejumlah industri. Adanya BUMN yang mencerminkan keterlibatan langsung pemerintah di dalam ekonomi praktis tersebut  tidak lepas dari UUD 1945 pasal 33 ayat 2 “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”.
Peran dari pelaku-pelaku ekonomi tersebut di dalam perekonomian Indonesia selama ini dapat dilihat dari sejumlah indikator, terutama dalam sumbangannya terhadap pembentukan atau pertumbuhan PDB (Pendapatan Domestik Bruto), kesempatan kerja, dan peningkatan cadangan valuta asing (devisa), terutama lewat ekspor dan sumbangan terhadap keuangan keuangan pemerintah lewat pembayaran pajak, dll.

A.   PERUSAHAAN – PERUSAHAAN NONKOPERASI
Walaupun jumlah perusahaan skala besar (UB) termasuk BUMN, saat ini jauh lebih banyak dibandingkan pada awal orde baru, tetapi masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah perusahaan skala kecil termasuk mikro dan menengah (UKM). Tidak heran jika pemerintah selama ini terhadap perkembangan UKM di dalam negari sangat besar. Karena UKM lebih padat tenaga kerja daripada skala besar (UB), UKM dianggap sangat penting sebagai sumber kesempatan kerja atau pendapatan. Oleh karenanya kelompok usaha tersebut diharapkan dapat berperan penting dalam upaya menanggulangi pengangguran, yang setiap tahun meningkat.
Dari perspektif dunia, memang diakui bahwa UKM memainkan suatu peran yang sangat vital dalam pembangunan ekonomi, tidak hanya di negara berkembang (NSB) tetapi di negara-negara maju (NM). Di negara maju UKM sangat penting tidak saja karena kelompok usaha tersebut menyerap paling banyak tenaga kerja, tetapi juga di banyak negara kontribusinya terhadap pembentukan atau pertumbuhan PDB paling besar dibandingkan kontribusi dari perusahaan skala besar (UB). Dalam distertasinya Piper (1997) sebanyak 12 juta orang atau sekitar 63,2% dari jumlah tenaga kerja di Amerika Serikat bekerja di 350.000 perusahaan yang memperkerjakan kurang dari 500 orang yang di negara tersebut dianggap sebagai UKM.
UKM juga sangat penting di banyak negara di Eropa khususnya Eropa Barat. Di Belanda misalnya jumlah UKM sekitar 95% dari jumlah perusahaan di negara kicir angin tersebut (Bijmolt dan Zwart, 1994).
Hasil dari banyak studi empiris hingga saat ini menunjukkan bahwa rendahnya kontribusi UKM terhadap ekonomi di NSB disebabkan oleh sejumlah faktor, yang bisa dikelompokkan ke dalam 2 katagori, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal diantaranya adalah tingkat pendidikan atau kekurangan modal, dll. Sedangkan faktor eksternal yang termasuk penting adalah kebijakan pemerintah yang tidak memihak UKM atau yang secara sengaja atau tidak, menciptakan distorsi terhadap UKM. Semua ini menyebabkan daya saing UKM yang rendah. Namun demikian ada sejumlah persoalan yang umum untuk semua UKM di Negara manapun khususnya dalam kelompok NSB. Rintangan-rintangan yang umum termasuk keterbatasan modal kerja maupun investasi, kesulitan-kesulitan dalam pemasaran, distribusi dan pengadaan bahan baku dan input lainnya, keterbatasan akses ke informasi mengenai peluang pasar, keterbatasan pekerja dengan keahlian tinggi (kualitas SDM rendah), kemampuan teknologi, biaya transportasi dan energi yang tinggi, keterbatasan komunikasi, biaya tinggi akibat prosedur administrasi dan birokrasi yang komplek khususnya dalam pengurusan izin usaha dan ketidakpastian akibat peraturan-peraturan dan kebijaksanaan ekonomi yang tidak jelas atau tak menentu arahnya.
Dalam keterbatasan modal dan kesulitan pemasaran walaupun banyak skim-skim kredit khusus bagi pengusaha kecil yang berlokasi di pedalaman/pedesaan, sebagian besar tidak pernah mendapatkan kredit/pembiayaan dari bank atau lembaga-lembaga keuangan lainnya. Mereka bergantung sepenuhnya pada uang/tabungan mereka sendiri, atau pinjam dari kerabat mereka. Sedangkan keterbatasan teknologi dan SDM disebabkan oleh ketidaksadaran mereka bahwa produksivitas mereka rendah atau mereka menghadapi kesulitan pemasaran karena produk yang mereka buat tidak kompetitif dibandingkan produk buatan UB atau impor. 

B.   BUMN
Sejak krisis ekonomi 1997/1998 BUMN menjadi salah satu topik perdebatan publik, karena di satu sisi citra BUMN yang selama ini buruk antara lain karena dianggap sebagai sarang KKN, sumber pemerasan dari birokrat, tidak membawa manfaat bagi masyarakat banyak maupun sekitarnya, tidak memperoleh hasil/keuntungan kecuali dengan berbagai subsidi yang menyebabkan BUMN memperoleh citra negatif.
Sebenarnya apakah kinerja BUMN di Indonesia selama ini sedemikian buruknyanya hingga harus diprivatisasikan? Dengan data yang terbatas di bawah ini menunjukkan beberapa inkator yang dapat mencerminkan kinerja BUMN. Menurut Purwoko (2002), pada tahun 2000 BUMN memiliki total aset sebesar Rp 861,52 triliun hanya mampu menghasilkan keuntungan sebesar Rp 13, 34 triliun, atau dengan tingkat Return on Assets (ROA) sebesar 1,55%. Tingkat ROA BUMN Indonesia pada periode 1997-2001 hanya berkisar 1,55% sampai dengan 3,25%. Baru pada tahun 2004 hingga seterusnya mulai menunjukkan adanya peningkatan ROA. Berdasarkan laporan perkembangan kinerja BUMN dan Dirjen Pembinaan BUMN, Deperatemen Keuangan RI pada tahun 2000 hanya 78,10% (107 perusahaan) BUMN yang beroperasi dalam keadaan sehat. Sedang sisanya 16,06% (22 perusahaan) dalam kondisi kurang sehat dan 5,84% (8 perusahaan) dalam keadaan tidak sehat.

KINERJA BUMN TAHUN 2004 - 2006

Uraian
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Jumlah BUMN
o Perjan
o Perum
o Persero
o Persero Tbk
Jmlah sektor BUMN
Kepemilikan minort
Total aset (Rp M)
Totl ekuitas (Rp M)
Total laba (Rp M)
Tenaga krja (orang)
ROA rata-rata
ROE rata-rata

…1)
425.971,4
7.310,1
1,72
…1)
437.756,4
14.226,2
3,25
…1)
607.022,9
14.271,1
2,35
…1)
861.520,5
13.336,6
1,55
…1)
845.186,2
20.186,5
...
2,39

158
15
11
124
8
37
20

157
14
13
119
11
37
21
158
14
13
119
12
37
21
1.196.654
406.004
44.155
733.200
5,22
22,95
139
0
13
114
12
35
21
1.308.893
423.496
42.349
705.946
4,19
15,67
139
0
13
114
12
35
21
1.395.150
433.451
54.189
748.302
4,54
15,75

Menurut Santoso (2005) dari 158 BUMN yang ada pada tahun 2004, hanya 76 BUMN yang dapat menyetorkan deviden ke APBN 2004 sebesar Rp 7,8 triliun di mana angka ini turun 47% dari tahun 2003 sebesar Rp 12,29 triliun. Sedangkan untuk tahun 2005 yng ditargetkan deviden dari BUMN sebesar Rp 9,42 triliun, sedangkan untuk tahun 2006 sebesar Rp 12,3 triliun. Dari realisasi tahun 2004 81.77% dari laba BUMN sebesar           Rp 25,09 triliun diperoleh hanya dari 10 BUMN yaitu Telkom, Bank Mandiri, Pertamina, BNI, BRI, Pusri, Jamsostek, PGN, Pelindo II dan Astek. Sedangkan jumlah BUMN yang merugi adalah 55 BUMN dengan kerugian sebesar Rp 6,48 triliun (data 2003) diantaranya 84,87% dari 10 BUMN yaitu PLN, Bulog, PPI, PELNI, PANN, Indofarma, KKA, Industri Sandang, PTPN II dan BBI.
PLN termasuk BUMN yang selalu merugi. Bahkan menurut berita PT PLN tidak sanggup membayar tagihan PT Pertamina yang mencapai RP 40 triliun. Tagihan ini untuk penggunaan bahan bakar minyak (BBM) untuk pembangkit listrik yang hingga Agustus 2008 sudah mencapai 82% dari rencana kerja dan anggaran PLN. Menurut pengakuan    PT PLN perusahaan tersebut mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajibannya terhadap PT Pertamina karena kekurangan dana yang sebagian dana operasinya digunakan untuk menalangi proyek percepatan kelistrikan.
Sebenarnya isu privatisasi BUMN sudah mulai muncul secara bertahap sejak era orde baru. Waktu itu privatisasi sebagian bagian dari kebujakan liberalisasi ekonomi. Akibat krisis ekonomi tahun 1997/1998 dan keharusan pemerintah menanggung utang-utang dari bank-bank swasta yang selanjutnya menyebabkan defisit APBN, maka pemerintah diminta oleh IMF melalui  letter of intent memberlakukan UU No. 22 Tahun 2001 mengenai privatisasi BUMN sebagai perusahaan publik (Persero). UU ini kemudian diikuti oleh Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2003. BUMN yang termasuk awal diprivatisasi adalah PN Pertamina yang diubah menjadi PT Pertamina (Persero) pada tahun 2003. Keberhasilan privatisasi ini segera dilanjutkan dengan penjualan saham milik pemerintah misalnya PT Indosat. Kasus PT Indosat ini mengundang kontroversial terutama karena dijual kepada pihak asing yakni Singapore Telcom & Telemedia (Anggoro, 2008).
Privatisasi BUMN telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia. Sebagian masyarakat Indonesia berpendapat bahwa BUMN adalah aset negara yang harus tetap dipertahankan kepemilikannya oleh pemerintah, walaupun tidak mendatangkan manfaat karena terus merugi. Misalnya kasus penjualan PT Semen Gresik Group kepada Cemex. Kebijakan ini ditolak oleh serikat pekerja Semen Gresik (SPSG) dengan melakukan mogok kerja. Sementara itu ada masyarakat yang setuju dengan privatisasi sepanjang dapat memberikan manfaat yang lebih baik. Mereka berpendapat bahwa pemerintah tidak perlu sepenuhnya memiliki BUMN, yang penting perusahaan tersebut dapat mendatangkan manfaat yang lebih baik bagi negara dan masyarakat Indonesia (Purwoko, 2002).
Pihak yang setuju dengan privatisasi BUMN berargumentasi bahwa privatisasi perlu dilakukan untuk meningkatkan kinerja BUMN serta menutup devisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) . Dengan adanya diharapkan BUMN akan mampu beroperasi secara lebih profesional lagi. Logikanya, dengan privatisasi di atas 50%, maka kendali dan pelaksana kebijakan BUMN akan bergeser dari pemerintah ke investor baru. Sebagai pemegang saham terbesar, investor baru tentu akan berupaya untuk bekerja secara efisien sehingga mampu menciptakan laba yang optimal, mampu menyerap tenaga kerja yang lebih baik, serta mampu memberikan kontribusi yang lebih baik kepada pemerintah melalui pembayaran pajak dan pembagian deviden.
Sedangkan pihak yang tidak setuju dengan privatisasi berargumen bahwa apabila privatisasi tidak dilaksanakan, maka kepemilikan BUMN  tetap di tangan pemerintah. Dengan demikian segala keuntungan maupun kerugian sepenuhnya ditanggung pemerintah. Mereka berargumentasi bahwa devisit anggaran harus tutup dengan sumber lain, bukan dari hasil penjualan BUMN. Mereka memprediksi bahwa defisit APBN juka akan terjadi pada tahun-tahun mendatang. Apabila BUMN dijual setiap tahun untuk menutup defisit APBN, suatu ketika BUMN akan habis terjual dan defisit APBN pada tahun-tahun mendatang tetap akan terjadi (Purwoko, 2002).
Sampai saat ini pelaksanaan privatisasi yang dicanangkan oleh pemerintah Indonesia ternyata tidak berjalan mulus sebagaimana yang diharapkan. Misalnya tahun 2001 hanya mampu mencapai 50% dari target. Berikut ini beberapa metode analisis Purwoko (2002) mengenai privatisasi BUMN secara garis besar yakni :
1.   Strategi privatisasi melalui pasar modal.
Pemerintah menjual kepada publik semua atau sebagian saham yang dimiliki atas BUMN tertentu kepada publik melalui pasar modal. Strategi ini akan menghasilkan suatu perusahaan yang dimiliki bersama atara pemerintah dan swasta. Sehingga melalui pasar modal akan menghasilkan dana yang bisa dipakai untuk menutup defisit APBN, namun tidak menubah pengelolaannya. Privatisasi BUMN melalui pasar modal akan mendatangkan investor dalam jumlah banyak dengan rasio penyertaan yang relatif kecil, juga belum tentu memacu pertumbuhan perekonomian. Apabila sebagian besar penyertaan modal dilakukan oleh investor LN maka akan menyebabkan peningkatan uang beredar, yang pada akhirnya akan mempu meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

2.    Privatisasi melalui penempatan swasta oleh investor DN dengan penyertaan di bawah 50%.
Pemerintah menjual sebagian kecil (kurang dari 50%) dari saham yang dimiliki BUMN tertentu kepada satu atau sekelompok investor DN, dimana pemerintah dapat memilih investor yang paling cocok untuk dijadikan partner usahanya. Cara seperti ini akan menghasilkan dana bagi pemerintah yang dapat dipakai untuk menutup devisit APBN. Namun dengan penyertaan modal di bawah 50%, investor baru tidak memiliki kekuatan yang dominan untuk ikut menentukan kebijakan perusahaan, sehingga peran pemerintah masih tetap dominan dalam BUMN.

3.    Privatisasi melalui penempatan swasta oleh investor DN dengan penyertaan di atas 50%.
Seperti alternatif sebelumnya privatisasi dengan cara ini akan menghasilkan dana bagi pemerintah untuk menutup devisit anggaran. Namun tidak mendongkrak perekonomian nasional karena dana yang ditanamkan di BUMN berasal dari DN sektor swasta. Penyertaan investor di atas 50% akan menyebabkan investor baru memiliki kekuatan untuk ikut menentukan kebijakan dalam operasional BUMN, sehingga akan terjadi pergeseran peran pemerintah dari pemilik dan pelaksana menjadi regulator dan promotor.

4.   Penempatan swasta oleh investor LN dengan penyertaan di bawah 50%.
Cara ini akan menyebabkan adanya aliran dana masuk ke Indonesia, yang sangat berarti untum mempercepat perputaran perekonomian dan penyerapan tenaga kerja. Namun, dengan penyertaan kurang dari 50% investor baru tidak memiliki kekuatan untuk memaksakan kehendak, hanya untuk menstranfer ilmu pengetahuan dan teknologi baru. Harapan masih bergantung kepada pemerintah Indonesia yang memegang mayoritas saham BUMN tersebut.

5.   Penempatan swasta oleh investor LN dengan penyertaan di atas 50%.
Strategi privatisasi ini akan membawa dampak yang signifikan bagi BUMN dan pemerintah Indonesia, dimana dana yang diperlukan untuk menutup devifit APBN. Penyertaan modal dari LN akan menyebabkan bertambahnya uang beredar di Indonesia, yang diharapkan dapat mendongkrak percepatan perputaran perekonomian dan penyediaan lapangan kerja. Dengan penyertaan yang lebih besar investor asing memiliki kekuatan untuk menentukan kebijakan dalam BUMN, sehingga akan terjadi pergeseran peran pemerintah dari pemilik dan pelaksana usaha menjadi regulator dan promoter kebijakan.
Menurut Santoso (2005) konsep privatisasi seharusnya diarahkan terutama untuk kepentingan perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya, tidak semata-mata untuk menutup APBN. Untuk pengembangan usaha, perusahaan memerlukan tambahan modal dan salah satunya berasal dari penerbitan saham yang dijual ke publik. Dengan tambahan modal tersebut perusahaan mempunyai kapasitas untuk meminjam sehingga dimungkinkan untuk memperoleh dana pinjaman dari kreditor. Oleh sebab itu privatisasi BUMN hendaknya diarahkan dengan cara menjual saham negara (divestasi) dan sekaligus menjual saham baru (dilusi). Dengan cara ini negara dan perusahaan mendapatkan uang kas yang bermanfaat untuk menggerakkan ekonomi. Dengan asumsi kekuatan penyerapan pasar yang sama, investor dapat memperoleh jumlah saham yang sama, tetapi dari dua sumber saham yaitu saham yang sudah ada dan saham baru diterbitkan. Sebagai akibatnya jumlah saham negara menjadi lebih kecil dan modal perusahaan menjadi lebih besar.

C.   KOPERASI
1.   Sejarah Koperasi
Kegiatan berkoperasi  dan organisasi koperasi pada mulanya diperkenalkan di Inggris sekitar abad pertengahan. Pada waktu itu misi utama berkoperasi adalah untuk menolong kaum buruh dan petani yang menghadapi problem-problem ekonomi dengan menggalang kekuatan mereka sendiri. Kemudian di Prancis yang didorong oleh gerakan kaum buruh yang tertindas oleh kekuatan kapitalis sepanjang abad ke-19 dengan tujuan utamanya membangun suatu ekonomi alternatif dari asosiasi-asosiasi koperasi menggantikan perusahaan-perusahaan milik kapitalis (Moene dan Wallerstein, 1993). Ide koperasi ini kemudian menjalar ke AS dan negara-negara lainnya di dunia. Di Indonesia, baru koperasi diperkenalkan pada awal abad 20.
Sejarah kelahiran dan berkembangan koperasi di negara maju sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar, oleh karena itu tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar. Bahkan dengan kekuatannya itu koperasi meraih posisi tawar dan kedudukan penting dalam konstelasi kebijakan ekonomi, termasuk dalam perundingan internasional. Sedangkan di NSB koperasi dihadirkan dalam kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan utnuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kesadaran antara kesamaan dan kemulian tujuan negara dan gerakan koperasi dalam memperjuangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat ditonjolkan di NSB, baik oleh pemerintah kolonial maupun pemerintahan bangsa sendiri setelah kemerdekaan (Soetrisno, 2001). Dalam kasus Indonesia, hal ini ditegaskan di dalam UUD 1945 pasal 33 mengenai sistem perekonomian nasional. Berbagai peraturan perundangan yang mengatur koperasi dilahirkan dan juga dibentuk departemen atau kementrian khusus, yakni Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah dengan maksud mendukung perkembangan ekonomi di dalam negeri.
Pada tahun 1995 gerakan koperasi menyelenggarakan kongres koperasi di Manchester, Inggris dan melahirkan suatu landasan baru yang dinamakan International Cooperative Identity Statement (ICIS) yang menjadi dasar tentang pengertian prinsip dan nilai dasar koperasi untuk menjawab tantangan globalisasi dan liberalisasi ekonomi dan perdagangan,  maka disepakati koperasi harus bersikap seperti layaknya “perusahaan swasta”.


2.   Perkembangan Koperasi di Negara Maju
Menurut data di dunia saat ini sekitar 800 juta orang adalah anggota koperasi dan diestimasi bahwa koperasi-koperasi secara total mempekerjakan lebih dari 100 juta orang, 20% lebih dari jumlah yang diciptakan oleh perusahaan multinasional.
Di Eropa koperasi tumbuh terutama melalui koperasi kredit dan koperasi konsumen yang kuat hingga disegani oleh berbagai kekuatan. Di perdagangan eceran, koperasi-koperasi konsumsi merupakan pionir dari penciptaan rantai perdagangan eceran modern (Furlough dan Strikwerda, 1999). Di sektor perbankan di negara-negara seperti Prancis, Austria, Finlandia dan Siprus, pangsa pasar dari bank-bank koperasi mencapai 1/3 dari total bank yang ada. Bahkan 2 bank terbesar di Eropa milik koperasi yakni “Credit Agricole” di Prancis dan RABO Bank di Belanda.
Di negara Skandinavia koperasi menjadi soko guru perekonomian dan mempunyai suatu sejarah yang sangat panjang. Di Norwegia 1 dari 3 orang (atau 1,5 juta dari jumlah populasi 4,5 juta orang) adalah anggota koperasi. Koperasi susu bertanggungjawab untuk 99% dari produksi susu; koperasi konsumen memegang 25% dari pasar; koperasi perikanan bertanggungjawab untuk 8,7% dari jumlah ekspor ikan; dan koperasi kehutanan bertanggungjawab untuk 76% dari produksi kayu.
Di Finlandia koperasi S-Group punya 1.468.572 anggota yang mewakili 62% dari jumlah rumah tangga di negara tersebut. Group koperasi dari Pellervo bertanggungjawab untuk 74% dari produk daging, 96% dari produk susu, 50% dari produksi telor, 34 % dari produk kehutanan dan menangani sekitar 34,2% dari jumlah deposito di bank-bank di negara tersebut.
Di Denmark pada tahun 2004 koperasi konsumen menguasai pasar 37% dan 2 koperasi pertaniannya, yakni MD Foods (Produk-produk susu) dan Danish Crown (daging) masuk 20 koperasi pertanian terbesar di Uni Eropa berdasarkan nilai omset pada tahun 1995.
Di Sweden, koperasi-koperasi konsumen memegang 17,5% dari pasar pada tahun 2004, dan pada tahun 19951 koperasi pertaniannya dari subsektor susu masuk 20 besar di Uni Eropa, yakni Arla dengan omset 1,369 milyar ecu dengan anggota 10365 orang dan mempekerjakan 6020 orang.
Di Jerman sekitar 20 juta orang (atau 1 dari 4 orang) adalah anggota koperasi dan koperasi yang jumlahnya mencapai 8106 unit telah memberikan kontribusi nyata bagi perekonomian negara tersebut, di antaranya menciptakan kesempatan kerja untuk 440 ribu orang. Salah satu sektor di mana koperasi sangat besar perannya adalah perbankan. Misalnya, bank koperasi Raifaissen sangat maju dan penting peranannya dengan kantor-kantor cabangnya di kota maupun desa.
Di Inggris diperkirakan sekitar 9,8 juta orang adalah anggota koperasi dan pertanian merupakan sector di mana peran koperasi sangat besar, seperti biro perjalanan swasta dan Milk Marque koperasi produk susu.
Di Amerika Serikat lebih dari 30 koperasi yang mempunyai penghasilan tahunan lebih dari 1 milyar dollar AS. Salah satu koperasi yang sangat besar adalah koperasi kredit (credit union) yang jumlah anggotanya mencapai sekitar 80 juta dengan rata-rata  jumlah simpanannya 3000 dolar. Selain di sektor kredit koperasi di AS juga kuat di sektor lainnya seperti termasuk industri, pertanian, dan energi. Sekitar 90% lebih distribusi listrik desa di AS dikuasai oleh koperasi. Koperasi Sunkis di California menyuplai bahan dasar untuk pabrik Coca Cola, sehingga pabrik tersebut tidak perlu membuat kebun sendiri. Dengan demikian, pabrik Coca Cola cukup membeli sunkis dari koperasi sunkis yang dimiliki oleh para petani sunkis.


3.   Perkembangan Koperasi di Indonesia.
Menurut Widiyanto (1998) dari ketiga pilar ekonomi, koperasi walau sering disebut sebagai soko guru perekonomian secara umum merupakan pilar ekonomi yang ‘jalannya paling terseok’dibandingkan dengan BUMN dan apalagi BUMS. Padahal koperasi selama ini sudah didukung oleh pemerintah  sesuai kedudukan istimewa dari koperasi di dalam sistem perekonomian Indonesia.
Untuk lebih menata organisasi koperasi pada tahun 1967 pemerintah Indonesia (presiden dan DPR) mengeluarkan UU No.12 dan pada tahun 1992, UU tersebut direvisi menjadi UU No. 25, yang lebih komprehensif tetapi juga berorientasi ke pemahaman kapitalis. Ini disebabkan UU baru itu sesungguhnya member peluang koperasi untuk bertindak sebagai sebuah perusahaan yang memaksimalisasikan keuntungan.

PERKEMBANGAN USAHA KOPERASI TAHUN 1998 - 2007

Periode
Jumlah unit
Jumlah anggota
(juta orang)
Koperasi aktif
RAT
(% dari koperasi aktif)
Jumlah
%
Des. 1998
        2000
        2001
        2002
        2003
        2004
        2005
        2006
Mei. 2007
52.000
103.077
110.766
117.906
123.181
130.730
132.965
141.738
138.000
27,3
23,7
24,001
27,3
27,5
27,4
28,1
96180
93800
93402
94818
94708
96600
86,3
81,0
78,9
76,2
71,5
71,0
70,1
70,0
40,8
41,9
46,3
47,6
49,6
47,4
46,7


Mengenai jumlah koperasi yang meningkat cukup pesat sejak krisis ekonomi 1997/1998 menurut Sutrisno pada dasarnya sebagai tanggapan terhadap dibukanya secara luas pendirian koperasi dengan pencabutan Inpres 4/1984 dan lahirnya inpres 18/1998. Sehingga orang bebas mendirikan koperasi pada basis pengembangan dan hingga 2001 sudah lebih dari 35 basis pengorganisasian koperasi.
Salah satu indikator yang umum digunakan untuk mengukur kinerja koperasi adalah perkembangan volume usaha dan sisa hasil usaha (SHU).


PERKEMBANGAN SHU KOPERASI TAHUN 2000 - 2006
           
Periode
Rasio modal sendiri & modal luar
Volume usaha (Rp milliar)
SHU (Rp miliar)
SHU terhadap volume usaha (%)
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
0,55
0,72
0,58
0,63
0,71
0,71
0,77
23.122
38.730
26.583
31.684
37.649
34.851
54.761
695
3.134
1.090
1.872
2.164
2.279
3.131
3,00
8,09
4,1
5,91
5,75
6,54
5,72

Tahun 2000 koperasi Indonesia didominasi oleh koperasi kredit yang menguasai antara 55%-60%  dari keseluruhan asset koperasi. Sementara itu dilihat dari populasi koperasi yang terkait dengan program pemerintah hanya sekitar 25% dari populasi koperasi atau sekitar 35% dari populasi koperasi aktif. Hingga akhir 2002, posisi koperasi dalam pasar perkreditan mikro menempati tempat kedua setelah BPR unit desa sebesar 46% dari KSP (Koperasi Simpan Pinjam) dengan pangsa pasar sekitar 31%.
Salah satu koperasi yang sangat aktif dan menunjukkan suatu kinerja yang baik adalah Koperasi Peternak Susu Bandung Utara (KPSBU), yang betul-betul mempersiapkan diri menghadapi globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan dunia yang berarti meningkatnya ancaman persaingan dari susu impor. Baik langsung ke konsumen maupun sebagai bahan baku bagi industri pengolahan susu di dalam negeri.

4.   Apakah Koperasi Indonesia Mempunyai Prospek Baik?
Menurut Rahardjo (2002) gagasan tentang koperasi telah dikenal di Indonesia sejak akhir abad 19, dengan dibentuknya organisasi swadaya (self help organization) untuk menanggulangi kemiskinan di kalangan pegawai dan petani, oleh Patih Purwokerto dan Tirto Adisuryo yang kemudian dibantu pengembangannya oleh pejabat Belanda dan akhirnya menjadi program resmi pemerintah.
Gerakan koperasi mendeklarasikan sebagai suatu gerakan sudah dimulai sejak tanggal 12 Juli 1947 melalui Kongres Koperasi di Tasikmalaya. Atas dasar itulah kemudian melahirkan berbagai penafsiran bagaimana mengembangkan koperasi. Paling tidak dengan dasar yang kuat tersebut sejarah perkembangan koperasi di Indonesia telah mencatat pola pengembangan koperasi. Secara khusus pemerintah memerankan fungsi sebagai pengatur dan pengembang sekaligus.
Menurut Widiyanto (19980 sejak diperkenalkan koperasi di Indonesia pada awal abad 20 dan dalam perkembangannya hingga saat ini koperasi Indonesia mempunyai makna ganda yang sebenarnya bersifat ambivalent, yakni koperasi sebagai badan usaha dan sekaligus juga sebagai jiwa dan semangat berusaha. Koperasi sebagai badan usaha dilihat dari bentuk usaha yang bisa bergerak seperti PT, CV, Firma, dsb. Di mana koperasi seperti ini diperkenankan meraih keuntungan sebesar-besarnya. Karena pengertian inilah pusat-pusat koperasi dan induk koperasi dibentuk dengan tujuan agar dapat memperkuat eksistensi koperasi primer, contohnya adalah dibentuknya PUSKUD (Pusat Koperasi Unit Desa) dan INKUD (Induk Koperasi Unit Desa). Sedangkan konteks makna yang kedua tersebut usaha dilakukan koperasi disusun berdasarkan atas azas kebersamaan. Karena kebersamaannya ini, bentuk kepemilikan properti pada koperasi sering tidak diwujudkan dalam bentuk kepemilikan saham melainkan dalam wujud simpanan baik wajib maupun pokok dan sukarela, iuran, sumbangan dan bentuk lainnya. Konsekuensi dari bentuk kepemilikan seperti itu adalah sebutan kepemilikannya bukan sebagai pemegang saham melainkan sebagai anggota. Oleh karenanya koperasi sering dijadikan alat untuk mencapai tujuan yang ditetapkan para anggotanya atau untuk kesejahteraan anggota.
Sementara itu, Soetrisno (2001) berpendapat bahwa ciri utama perkembangan koperasi di Indonesia adalah dengan pola penitipan kepada program yaitu :                 (i) program pembangunan secara sektoral, seperti koperasi pertanian, koperasi desa, KUD; (ii) lembaga-lembaga pemerintah dalam koperasi pegawai negeri dan koperasi fungsional lainnya; dan (iii) perusahaan baik milik negara (BUMN) maupun swasta (BUMS) dalam koperasi karyawan. Menurutnya intervensi pemerintah yang terlalu besar sebagai salah satu penyebab utama lambatnya perkembangan koperasi di Indonesia. Selama ini koperasi dikembangan dengan dukungan pemerintah dengan basis sektor-sektor primer dan distribusi yang memberikan lapangan kerja terbesar bagi penduduk Indonesia. Sebagai contoh sebagian besar KUD sebagai koperasi program di sektor pertanian didukung dengan program pembangunan untuk membangun KUD. Di sisi lain pemerintah memanfaatkan KUD untuk mendukung program pembangunan pertanian untuk swasembada besar. Bahkan koperasi ditugasi melanjutkan program yang kurang berhasil ditangani langsung oleh pemerintah seperti penyaluran kredit ke petani lewat BIMAS.
Pandangan Soetrisno (2001) didukung oleh Widiyanto (1998) yang mengatakan bahwa keberhasilan usaha koperasi di Indonesia biasanya tergantung pada 2 hal. Pertama, program pemerintah karena koperasi sering dijadikan kepanjangan tangan pemerintah dalam mengatur sendi perekonomian. Kedua keinginan pemenuhan kebutuhan anggotanya yang berkaitan dengan program yang telah dicanangkan pemerintah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah : Media Critical Theory

MAKALAH TWITTER

Teori Komunikasi BAB III Tradisi-tradisi Komunikasi (Semiotika, Fenomenologi, Sibernetika, Sosiopsikologi)