PELAKU – PELAKU EKONOMI
Di dalam
sistem perekonomian Indonesia dikenal ada 3 pilar utama yang menyangga
perekonomian. Ketiga pilar itu adalah badan usaha milik negara (BUMN), badan
usaha milik swasta (BUMS), dan Koperasi. Menurut jumlah unit usaha, jumlah BUMN
jauh lebih kecil dibandingkan jumlah perusahaan-perusahaan swasta, tetapi
BUMN-BUMN tersebut beroperasi di sektor-sektor atau subsektor ekonomi yang
sangat strategis seperti pertambangan, energi, dan sejumlah industri. Adanya
BUMN yang mencerminkan keterlibatan langsung pemerintah di dalam ekonomi
praktis tersebut tidak lepas dari UUD
1945 pasal 33 ayat 2 “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”.
Peran dari
pelaku-pelaku ekonomi tersebut di dalam perekonomian Indonesia selama ini dapat
dilihat dari sejumlah indikator, terutama dalam sumbangannya terhadap
pembentukan atau pertumbuhan PDB (Pendapatan Domestik Bruto), kesempatan kerja,
dan peningkatan cadangan valuta asing (devisa), terutama lewat ekspor dan
sumbangan terhadap keuangan keuangan pemerintah lewat pembayaran pajak, dll.
A.
PERUSAHAAN – PERUSAHAAN
NONKOPERASI
Walaupun
jumlah perusahaan skala besar (UB) termasuk BUMN, saat ini jauh lebih banyak
dibandingkan pada awal orde baru, tetapi masih jauh lebih kecil dibandingkan
dengan jumlah perusahaan skala kecil termasuk mikro dan menengah (UKM). Tidak
heran jika pemerintah selama ini terhadap perkembangan UKM di dalam negari
sangat besar. Karena UKM lebih padat tenaga kerja daripada skala besar (UB),
UKM dianggap sangat penting sebagai sumber kesempatan kerja atau pendapatan.
Oleh karenanya kelompok usaha tersebut diharapkan dapat berperan penting dalam
upaya menanggulangi pengangguran, yang setiap tahun meningkat.
Dari
perspektif dunia, memang diakui bahwa UKM memainkan suatu peran yang sangat
vital dalam pembangunan ekonomi, tidak hanya di negara berkembang (NSB) tetapi
di negara-negara maju (NM). Di negara maju UKM sangat penting tidak saja karena
kelompok usaha tersebut menyerap paling banyak tenaga kerja, tetapi juga di banyak
negara kontribusinya terhadap pembentukan atau pertumbuhan PDB paling besar
dibandingkan kontribusi dari perusahaan skala besar (UB). Dalam distertasinya
Piper (1997) sebanyak 12 juta orang atau sekitar 63,2% dari jumlah tenaga kerja
di Amerika Serikat bekerja di 350.000 perusahaan yang memperkerjakan kurang
dari 500 orang yang di negara tersebut dianggap sebagai UKM.
UKM juga
sangat penting di banyak negara di Eropa khususnya Eropa Barat. Di Belanda
misalnya jumlah UKM sekitar 95% dari jumlah perusahaan di negara kicir angin
tersebut (Bijmolt dan Zwart, 1994).
Hasil dari
banyak studi empiris hingga saat ini menunjukkan bahwa rendahnya kontribusi UKM
terhadap ekonomi di NSB disebabkan oleh sejumlah faktor, yang bisa
dikelompokkan ke dalam 2 katagori, yakni faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal diantaranya adalah tingkat pendidikan atau kekurangan modal,
dll. Sedangkan faktor eksternal yang termasuk penting adalah kebijakan
pemerintah yang tidak memihak UKM atau yang secara sengaja atau tidak,
menciptakan distorsi terhadap UKM. Semua ini menyebabkan daya saing UKM yang
rendah. Namun demikian ada sejumlah persoalan yang umum untuk semua UKM di
Negara manapun khususnya dalam kelompok NSB. Rintangan-rintangan yang umum
termasuk keterbatasan modal kerja maupun investasi, kesulitan-kesulitan dalam
pemasaran, distribusi dan pengadaan bahan baku dan input lainnya, keterbatasan
akses ke informasi mengenai peluang pasar, keterbatasan pekerja dengan keahlian
tinggi (kualitas SDM rendah), kemampuan teknologi, biaya transportasi dan
energi yang tinggi, keterbatasan komunikasi, biaya tinggi akibat prosedur
administrasi dan birokrasi yang komplek khususnya dalam pengurusan izin usaha
dan ketidakpastian akibat peraturan-peraturan dan kebijaksanaan ekonomi yang
tidak jelas atau tak menentu arahnya.
Dalam
keterbatasan modal dan kesulitan pemasaran walaupun banyak skim-skim kredit
khusus bagi pengusaha kecil yang berlokasi di pedalaman/pedesaan, sebagian
besar tidak pernah mendapatkan kredit/pembiayaan dari bank atau lembaga-lembaga
keuangan lainnya. Mereka bergantung sepenuhnya pada uang/tabungan mereka
sendiri, atau pinjam dari kerabat mereka. Sedangkan keterbatasan teknologi dan
SDM disebabkan oleh ketidaksadaran mereka bahwa produksivitas mereka rendah
atau mereka menghadapi kesulitan pemasaran karena produk yang mereka buat tidak
kompetitif dibandingkan produk buatan UB atau impor.
B.
BUMN
Sejak krisis
ekonomi 1997/1998 BUMN menjadi salah satu topik perdebatan publik, karena di
satu sisi citra BUMN yang selama ini buruk antara lain karena dianggap sebagai
sarang KKN, sumber pemerasan dari birokrat, tidak membawa manfaat bagi
masyarakat banyak maupun sekitarnya, tidak memperoleh hasil/keuntungan kecuali
dengan berbagai subsidi yang menyebabkan BUMN memperoleh citra negatif.
Sebenarnya
apakah kinerja BUMN di Indonesia selama ini sedemikian buruknyanya hingga harus
diprivatisasikan? Dengan data yang terbatas di bawah ini menunjukkan beberapa
inkator yang dapat mencerminkan kinerja BUMN. Menurut Purwoko (2002), pada
tahun 2000 BUMN memiliki total aset sebesar Rp 861,52 triliun hanya mampu
menghasilkan keuntungan sebesar Rp 13, 34 triliun, atau dengan tingkat Return
on Assets (ROA) sebesar 1,55%. Tingkat ROA BUMN Indonesia pada periode
1997-2001 hanya berkisar 1,55% sampai dengan 3,25%. Baru pada tahun 2004 hingga
seterusnya mulai menunjukkan adanya peningkatan ROA. Berdasarkan laporan
perkembangan kinerja BUMN dan Dirjen Pembinaan BUMN, Deperatemen Keuangan RI
pada tahun 2000 hanya 78,10% (107 perusahaan) BUMN yang beroperasi dalam
keadaan sehat. Sedang sisanya 16,06% (22 perusahaan) dalam kondisi kurang sehat
dan 5,84% (8 perusahaan) dalam keadaan tidak sehat.
KINERJA BUMN TAHUN 2004 - 2006
Uraian
|
1997
|
1998
|
1999
|
2000
|
2001
|
2002
|
2003
|
2004
|
2005
|
2006
|
Jumlah BUMN
o
Perjan
o
Perum
o
Persero
o
Persero Tbk
Jmlah sektor BUMN
Kepemilikan minort
Total aset (Rp M)
Totl ekuitas (Rp M)
Total laba (Rp M)
Tenaga krja (orang)
ROA rata-rata
ROE rata-rata
|
…1)
…
…
…
…
…
…
425.971,4
…
7.310,1
…
1,72
…
|
…1)
…
…
…
…
…
…
437.756,4
…
14.226,2
…
3,25
…
|
…1)
…
…
…
…
…
…
607.022,9
…
14.271,1
…
2,35
…
|
…1)
…
…
…
…
…
…
861.520,5
…
13.336,6
…
1,55
…
|
…1)
…
…
…
…
…
…
845.186,2
…
20.186,5
...
2,39
…
|
158
15
11
124
8
37
20
…
…
…
…
…
…
|
157
14
13
119
11
37
21
…
…
…
…
…
…
|
158
14
13
119
12
37
21
1.196.654
406.004
44.155
733.200
5,22
22,95
|
139
0
13
114
12
35
21
1.308.893
423.496
42.349
705.946
4,19
15,67
|
139
0
13
114
12
35
21
1.395.150
433.451
54.189
748.302
4,54
15,75
|
Menurut
Santoso (2005) dari 158 BUMN yang ada pada tahun 2004, hanya 76 BUMN yang dapat
menyetorkan deviden ke APBN 2004 sebesar Rp 7,8 triliun di mana angka ini turun
47% dari tahun 2003 sebesar Rp 12,29 triliun. Sedangkan untuk tahun 2005 yng
ditargetkan deviden dari BUMN sebesar Rp 9,42 triliun, sedangkan untuk tahun
2006 sebesar Rp 12,3 triliun. Dari realisasi tahun 2004 81.77% dari laba BUMN
sebesar Rp 25,09 triliun
diperoleh hanya dari 10 BUMN yaitu Telkom, Bank Mandiri, Pertamina, BNI, BRI,
Pusri, Jamsostek, PGN, Pelindo II dan Astek. Sedangkan jumlah BUMN yang merugi
adalah 55 BUMN dengan kerugian sebesar Rp 6,48 triliun (data 2003) diantaranya
84,87% dari 10 BUMN yaitu PLN, Bulog, PPI, PELNI, PANN, Indofarma, KKA,
Industri Sandang, PTPN II dan BBI.
PLN
termasuk BUMN yang selalu merugi. Bahkan menurut berita PT PLN tidak sanggup
membayar tagihan PT Pertamina yang mencapai RP 40 triliun.
Tagihan ini untuk penggunaan bahan bakar minyak (BBM) untuk pembangkit listrik yang
hingga Agustus 2008 sudah mencapai 82% dari rencana kerja dan anggaran PLN. Menurut pengakuan PT
PLN perusahaan tersebut mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajibannya
terhadap PT Pertamina karena kekurangan dana yang sebagian dana operasinya
digunakan untuk menalangi proyek percepatan kelistrikan.
Sebenarnya
isu privatisasi BUMN sudah mulai muncul secara bertahap sejak era orde baru.
Waktu itu privatisasi sebagian bagian dari kebujakan liberalisasi ekonomi.
Akibat krisis ekonomi tahun 1997/1998 dan keharusan pemerintah menanggung
utang-utang dari bank-bank swasta yang selanjutnya menyebabkan defisit APBN,
maka pemerintah diminta oleh IMF melalui
letter of intent memberlakukan
UU No. 22 Tahun 2001 mengenai privatisasi BUMN sebagai perusahaan publik
(Persero). UU ini kemudian diikuti oleh Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2003.
BUMN yang termasuk awal diprivatisasi adalah PN Pertamina yang diubah menjadi
PT Pertamina (Persero) pada tahun 2003. Keberhasilan privatisasi ini segera
dilanjutkan dengan penjualan saham milik pemerintah misalnya PT Indosat. Kasus
PT Indosat ini mengundang kontroversial terutama karena dijual kepada pihak
asing yakni Singapore Telcom & Telemedia (Anggoro, 2008).
Privatisasi
BUMN
telah menimbulkan pro dan kontra di
kalangan masyarakat Indonesia. Sebagian
masyarakat Indonesia berpendapat bahwa BUMN adalah aset negara yang harus tetap
dipertahankan kepemilikannya oleh pemerintah, walaupun tidak mendatangkan
manfaat karena terus merugi. Misalnya kasus penjualan PT Semen Gresik Group
kepada Cemex. Kebijakan ini ditolak oleh serikat pekerja Semen Gresik (SPSG)
dengan melakukan mogok kerja. Sementara
itu ada masyarakat yang setuju dengan privatisasi sepanjang dapat memberikan
manfaat yang lebih baik. Mereka berpendapat bahwa pemerintah tidak perlu
sepenuhnya memiliki BUMN, yang penting perusahaan tersebut dapat mendatangkan
manfaat yang lebih baik bagi negara dan masyarakat Indonesia (Purwoko,
2002).
Pihak
yang setuju dengan privatisasi BUMN
berargumentasi bahwa privatisasi perlu dilakukan untuk meningkatkan kinerja
BUMN serta menutup devisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) .
Dengan adanya diharapkan BUMN akan mampu beroperasi secara lebih profesional
lagi. Logikanya, dengan privatisasi di atas 50%, maka kendali dan pelaksana
kebijakan BUMN akan bergeser dari pemerintah ke investor baru. Sebagai pemegang
saham terbesar, investor baru tentu akan berupaya untuk bekerja secara efisien
sehingga mampu menciptakan laba yang optimal, mampu menyerap tenaga kerja yang
lebih baik, serta mampu memberikan kontribusi yang lebih baik kepada pemerintah
melalui pembayaran pajak dan pembagian deviden.
Sedangkan pihak yang tidak setuju dengan privatisasi
berargumen bahwa apabila privatisasi tidak dilaksanakan, maka kepemilikan
BUMN tetap di tangan pemerintah. Dengan
demikian segala keuntungan maupun kerugian sepenuhnya ditanggung pemerintah.
Mereka berargumentasi bahwa devisit anggaran harus tutup dengan sumber lain,
bukan dari hasil penjualan BUMN. Mereka memprediksi bahwa defisit APBN juka
akan terjadi pada tahun-tahun mendatang. Apabila BUMN dijual setiap tahun untuk
menutup defisit APBN, suatu ketika BUMN akan habis terjual dan defisit APBN
pada tahun-tahun mendatang tetap akan terjadi (Purwoko, 2002).
Sampai saat
ini pelaksanaan privatisasi yang dicanangkan oleh pemerintah Indonesia ternyata
tidak berjalan mulus sebagaimana yang diharapkan. Misalnya tahun 2001 hanya
mampu mencapai 50% dari target. Berikut ini beberapa metode analisis Purwoko
(2002) mengenai privatisasi BUMN secara garis besar yakni :
1.
Strategi
privatisasi melalui pasar modal.
Pemerintah
menjual kepada publik semua atau sebagian saham yang dimiliki atas BUMN
tertentu kepada publik melalui pasar modal. Strategi ini akan menghasilkan
suatu perusahaan yang dimiliki bersama atara pemerintah dan swasta. Sehingga
melalui pasar modal akan menghasilkan dana yang bisa dipakai untuk menutup
defisit APBN, namun tidak menubah pengelolaannya. Privatisasi BUMN melalui
pasar modal akan mendatangkan investor dalam jumlah banyak dengan rasio
penyertaan yang relatif kecil, juga belum tentu memacu pertumbuhan
perekonomian. Apabila sebagian besar penyertaan modal dilakukan oleh investor
LN maka akan menyebabkan peningkatan uang beredar, yang pada akhirnya akan
mempu meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
2.
Privatisasi melalui
penempatan swasta oleh investor DN dengan penyertaan di bawah 50%.
Pemerintah
menjual sebagian kecil (kurang dari 50%) dari saham yang dimiliki BUMN tertentu
kepada satu atau sekelompok investor DN, dimana pemerintah dapat memilih
investor yang paling cocok untuk dijadikan partner usahanya. Cara seperti ini
akan menghasilkan dana bagi pemerintah yang dapat dipakai untuk menutup devisit
APBN. Namun dengan penyertaan modal di bawah 50%, investor baru tidak memiliki
kekuatan yang dominan untuk ikut menentukan kebijakan perusahaan, sehingga
peran pemerintah masih tetap dominan dalam BUMN.
3.
Privatisasi melalui
penempatan swasta oleh investor DN dengan penyertaan di atas 50%.
Seperti
alternatif sebelumnya privatisasi dengan cara ini akan menghasilkan dana bagi
pemerintah untuk menutup devisit anggaran. Namun tidak mendongkrak perekonomian
nasional karena dana yang ditanamkan di BUMN berasal dari DN sektor swasta. Penyertaan
investor di atas 50% akan menyebabkan investor baru memiliki kekuatan untuk
ikut menentukan kebijakan dalam operasional BUMN, sehingga akan terjadi
pergeseran peran pemerintah dari pemilik dan pelaksana menjadi regulator dan
promotor.
4.
Penempatan
swasta oleh investor LN dengan penyertaan di bawah 50%.
Cara
ini akan menyebabkan adanya aliran dana masuk ke Indonesia, yang sangat berarti
untum mempercepat perputaran perekonomian dan penyerapan tenaga kerja. Namun,
dengan penyertaan kurang dari 50% investor baru tidak memiliki kekuatan untuk
memaksakan kehendak, hanya untuk menstranfer ilmu pengetahuan dan teknologi
baru. Harapan masih bergantung kepada pemerintah Indonesia yang memegang
mayoritas saham BUMN tersebut.
5.
Penempatan
swasta oleh investor LN dengan penyertaan di atas 50%.
Strategi
privatisasi ini akan membawa dampak yang signifikan bagi BUMN dan pemerintah
Indonesia, dimana dana yang diperlukan untuk menutup devifit APBN. Penyertaan
modal dari LN akan menyebabkan bertambahnya uang beredar di Indonesia, yang
diharapkan dapat mendongkrak percepatan perputaran perekonomian dan penyediaan
lapangan kerja. Dengan penyertaan yang lebih besar investor asing memiliki
kekuatan untuk menentukan kebijakan dalam BUMN, sehingga akan terjadi
pergeseran peran pemerintah dari pemilik dan pelaksana usaha menjadi regulator
dan promoter kebijakan.
Menurut
Santoso (2005) konsep privatisasi seharusnya diarahkan terutama untuk
kepentingan perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya, tidak semata-mata
untuk menutup APBN. Untuk pengembangan usaha, perusahaan memerlukan tambahan
modal dan salah satunya berasal dari penerbitan saham yang dijual ke publik.
Dengan tambahan modal tersebut perusahaan mempunyai kapasitas untuk meminjam
sehingga dimungkinkan untuk memperoleh dana pinjaman dari kreditor. Oleh sebab
itu privatisasi BUMN hendaknya diarahkan dengan cara menjual saham negara
(divestasi) dan sekaligus menjual saham baru (dilusi). Dengan cara ini negara
dan perusahaan mendapatkan uang kas yang bermanfaat untuk menggerakkan ekonomi.
Dengan asumsi kekuatan penyerapan pasar yang sama, investor dapat memperoleh
jumlah saham yang sama, tetapi dari dua sumber saham yaitu saham yang sudah ada
dan saham baru diterbitkan. Sebagai akibatnya jumlah saham negara menjadi lebih
kecil dan modal perusahaan menjadi lebih besar.
C.
KOPERASI
1.
Sejarah
Koperasi
Kegiatan
berkoperasi dan organisasi koperasi pada
mulanya diperkenalkan di Inggris sekitar abad pertengahan. Pada waktu itu misi
utama berkoperasi adalah untuk menolong kaum buruh dan petani yang menghadapi
problem-problem ekonomi dengan menggalang kekuatan mereka sendiri.
Kemudian di Prancis yang didorong oleh gerakan kaum buruh yang tertindas oleh
kekuatan kapitalis sepanjang abad ke-19 dengan tujuan utamanya membangun suatu
ekonomi alternatif dari asosiasi-asosiasi koperasi menggantikan
perusahaan-perusahaan milik kapitalis (Moene dan Wallerstein, 1993). Ide
koperasi ini kemudian menjalar ke AS dan negara-negara lainnya di dunia. Di
Indonesia, baru koperasi diperkenalkan pada awal abad 20.
Sejarah
kelahiran dan berkembangan koperasi di
negara maju sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar, oleh karena itu
tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar. Bahkan dengan
kekuatannya itu koperasi meraih posisi tawar dan kedudukan penting dalam
konstelasi kebijakan ekonomi, termasuk dalam perundingan internasional. Sedangkan
di NSB koperasi dihadirkan dalam
kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan
pembangunan utnuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu
kesadaran antara kesamaan dan kemulian tujuan negara dan gerakan koperasi dalam
memperjuangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat ditonjolkan di NSB, baik
oleh pemerintah kolonial maupun pemerintahan bangsa sendiri setelah kemerdekaan
(Soetrisno, 2001). Dalam kasus Indonesia, hal ini ditegaskan di dalam UUD 1945
pasal 33 mengenai sistem perekonomian nasional. Berbagai peraturan perundangan
yang mengatur koperasi dilahirkan dan juga dibentuk departemen atau kementrian
khusus, yakni Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah dengan
maksud mendukung perkembangan ekonomi di dalam negeri.
Pada
tahun 1995 gerakan koperasi menyelenggarakan kongres koperasi di Manchester,
Inggris dan melahirkan suatu landasan baru yang dinamakan International
Cooperative Identity Statement (ICIS) yang menjadi dasar tentang pengertian
prinsip dan nilai dasar koperasi untuk menjawab tantangan globalisasi dan
liberalisasi ekonomi dan perdagangan,
maka disepakati koperasi harus bersikap seperti layaknya “perusahaan
swasta”.
2.
Perkembangan
Koperasi di Negara Maju
Menurut
data di dunia saat ini sekitar 800 juta orang adalah anggota koperasi dan
diestimasi bahwa koperasi-koperasi secara total mempekerjakan lebih dari 100
juta orang, 20% lebih dari jumlah yang diciptakan oleh perusahaan
multinasional.
Di
Eropa koperasi tumbuh terutama melalui koperasi kredit dan koperasi konsumen
yang kuat hingga disegani oleh berbagai kekuatan. Di perdagangan eceran,
koperasi-koperasi konsumsi merupakan pionir dari penciptaan rantai perdagangan
eceran modern (Furlough dan Strikwerda, 1999). Di sektor perbankan di
negara-negara seperti Prancis, Austria, Finlandia dan Siprus, pangsa pasar dari
bank-bank koperasi mencapai 1/3 dari total bank yang ada. Bahkan 2 bank
terbesar di Eropa milik koperasi yakni “Credit Agricole” di Prancis dan RABO
Bank di Belanda.
Di
negara Skandinavia koperasi menjadi soko guru perekonomian dan mempunyai suatu
sejarah yang sangat panjang. Di Norwegia 1 dari 3 orang (atau 1,5 juta dari
jumlah populasi 4,5 juta orang) adalah anggota koperasi. Koperasi susu
bertanggungjawab untuk 99% dari produksi susu; koperasi konsumen memegang 25%
dari pasar; koperasi perikanan bertanggungjawab untuk 8,7% dari jumlah ekspor
ikan; dan koperasi kehutanan bertanggungjawab untuk 76% dari produksi kayu.
Di
Finlandia koperasi S-Group punya 1.468.572 anggota yang mewakili 62% dari
jumlah rumah tangga di negara tersebut. Group koperasi dari Pellervo
bertanggungjawab untuk 74% dari produk daging, 96% dari produk susu, 50% dari
produksi telor, 34 % dari produk kehutanan dan menangani sekitar 34,2% dari
jumlah deposito di bank-bank di negara tersebut.
Di
Denmark pada tahun 2004 koperasi konsumen menguasai pasar 37% dan 2 koperasi
pertaniannya, yakni MD Foods (Produk-produk susu) dan Danish Crown (daging)
masuk 20 koperasi pertanian terbesar di Uni Eropa berdasarkan nilai omset pada
tahun 1995.
Di
Sweden, koperasi-koperasi konsumen memegang 17,5% dari pasar pada tahun 2004,
dan pada tahun 19951 koperasi pertaniannya dari subsektor susu masuk 20 besar
di Uni Eropa, yakni Arla dengan omset 1,369 milyar ecu dengan anggota 10365
orang dan mempekerjakan 6020 orang.
Di
Jerman sekitar 20 juta orang (atau 1 dari 4 orang) adalah anggota koperasi dan
koperasi yang jumlahnya mencapai 8106 unit telah memberikan kontribusi nyata
bagi perekonomian negara tersebut, di antaranya menciptakan kesempatan kerja
untuk 440 ribu orang. Salah satu sektor di mana koperasi sangat besar perannya adalah
perbankan. Misalnya, bank koperasi Raifaissen sangat maju dan penting
peranannya dengan kantor-kantor cabangnya di kota maupun desa.
Di
Inggris diperkirakan sekitar 9,8 juta orang adalah anggota koperasi dan
pertanian merupakan sector di mana peran koperasi sangat besar, seperti biro
perjalanan swasta dan Milk Marque koperasi produk susu.
Di
Amerika Serikat lebih dari 30 koperasi yang mempunyai penghasilan tahunan lebih
dari 1 milyar dollar AS. Salah satu koperasi yang sangat besar adalah koperasi
kredit (credit union) yang jumlah anggotanya mencapai sekitar 80 juta dengan
rata-rata jumlah simpanannya 3000 dolar.
Selain di sektor kredit koperasi di AS juga kuat di sektor lainnya seperti
termasuk industri, pertanian, dan energi. Sekitar 90% lebih distribusi listrik
desa di AS dikuasai oleh koperasi. Koperasi Sunkis di California menyuplai
bahan dasar untuk pabrik Coca Cola, sehingga pabrik tersebut tidak perlu
membuat kebun sendiri. Dengan demikian, pabrik Coca Cola cukup membeli sunkis
dari koperasi sunkis yang dimiliki oleh para petani sunkis.
3.
Perkembangan
Koperasi di Indonesia.
Menurut
Widiyanto (1998) dari ketiga pilar ekonomi, koperasi walau sering disebut
sebagai soko guru perekonomian secara umum merupakan pilar ekonomi yang
‘jalannya paling terseok’dibandingkan dengan BUMN dan apalagi BUMS. Padahal
koperasi selama ini sudah didukung oleh pemerintah sesuai kedudukan istimewa dari koperasi di
dalam sistem perekonomian Indonesia.
Untuk
lebih menata organisasi koperasi pada tahun 1967 pemerintah Indonesia (presiden
dan DPR) mengeluarkan UU No.12 dan pada tahun 1992, UU tersebut direvisi
menjadi UU No. 25, yang lebih komprehensif tetapi juga berorientasi ke
pemahaman kapitalis. Ini disebabkan
UU baru itu sesungguhnya member peluang koperasi untuk bertindak sebagai sebuah
perusahaan yang memaksimalisasikan keuntungan.
PERKEMBANGAN
USAHA KOPERASI TAHUN 1998 - 2007
Periode
|
Jumlah unit
|
Jumlah anggota
(juta orang)
|
Koperasi aktif
|
RAT
(% dari koperasi aktif)
|
|
Jumlah
|
%
|
||||
Des. 1998
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Mei. 2007
|
52.000
103.077
110.766
117.906
123.181
130.730
132.965
141.738
138.000
|
…
27,3
23,7
24,001
27,3
27,5
27,4
28,1
…
|
…
…
96180
…
93800
93402
94818
94708
96600
|
…
86,3
81,0
78,9
76,2
71,5
71,0
70,1
70,0
|
…
40,8
41,9
46,3
47,6
49,6
47,4
46,7
…
|
Mengenai
jumlah koperasi yang meningkat cukup pesat sejak krisis ekonomi 1997/1998
menurut Sutrisno pada dasarnya sebagai tanggapan terhadap dibukanya secara luas
pendirian koperasi dengan pencabutan Inpres 4/1984 dan lahirnya inpres 18/1998.
Sehingga orang bebas mendirikan koperasi pada basis pengembangan dan hingga
2001 sudah lebih dari 35 basis pengorganisasian koperasi.
Salah
satu indikator yang umum digunakan untuk mengukur kinerja koperasi adalah
perkembangan volume usaha dan sisa hasil usaha (SHU).
PERKEMBANGAN
SHU KOPERASI TAHUN 2000 - 2006
Periode
|
Rasio
modal sendiri & modal luar
|
Volume
usaha (Rp milliar)
|
SHU
(Rp miliar)
|
SHU
terhadap volume usaha (%)
|
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
|
0,55
0,72
0,58
0,63
0,71
0,71
0,77
|
23.122
38.730
26.583
31.684
37.649
34.851
54.761
|
695
3.134
1.090
1.872
2.164
2.279
3.131
|
3,00
8,09
4,1
5,91
5,75
6,54
5,72
|
Tahun
2000 koperasi Indonesia didominasi oleh koperasi kredit yang menguasai antara
55%-60% dari keseluruhan asset koperasi.
Sementara itu dilihat dari populasi koperasi yang terkait dengan program
pemerintah hanya sekitar 25% dari populasi koperasi atau sekitar 35% dari
populasi koperasi aktif. Hingga akhir 2002, posisi koperasi dalam pasar perkreditan
mikro menempati tempat kedua setelah BPR unit desa sebesar 46% dari KSP
(Koperasi Simpan Pinjam) dengan pangsa pasar sekitar 31%.
Salah
satu koperasi yang sangat aktif dan menunjukkan suatu kinerja yang baik adalah
Koperasi Peternak Susu Bandung Utara (KPSBU), yang betul-betul mempersiapkan
diri menghadapi globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan dunia yang
berarti meningkatnya ancaman persaingan dari susu impor. Baik langsung ke
konsumen maupun sebagai bahan baku bagi industri pengolahan susu di dalam
negeri.
4.
Apakah
Koperasi Indonesia Mempunyai Prospek Baik?
Menurut
Rahardjo (2002) gagasan tentang koperasi telah dikenal di Indonesia sejak akhir
abad 19, dengan dibentuknya organisasi swadaya (self help organization) untuk
menanggulangi kemiskinan di kalangan pegawai dan petani, oleh Patih Purwokerto
dan Tirto Adisuryo yang kemudian dibantu pengembangannya oleh pejabat Belanda
dan akhirnya menjadi program resmi pemerintah.
Gerakan
koperasi mendeklarasikan sebagai suatu gerakan sudah dimulai sejak tanggal 12
Juli 1947 melalui Kongres Koperasi di Tasikmalaya. Atas dasar itulah kemudian
melahirkan berbagai penafsiran bagaimana mengembangkan koperasi. Paling tidak
dengan dasar yang kuat tersebut sejarah perkembangan koperasi di Indonesia
telah mencatat pola pengembangan koperasi. Secara khusus pemerintah memerankan
fungsi sebagai pengatur dan pengembang sekaligus.
Menurut
Widiyanto (19980 sejak diperkenalkan koperasi di Indonesia pada awal abad 20
dan dalam perkembangannya hingga saat ini koperasi Indonesia mempunyai makna
ganda yang sebenarnya bersifat ambivalent, yakni koperasi sebagai badan usaha
dan sekaligus juga sebagai jiwa dan semangat berusaha. Koperasi sebagai badan
usaha dilihat dari bentuk usaha yang bisa bergerak seperti PT, CV, Firma, dsb.
Di mana koperasi seperti ini diperkenankan meraih keuntungan sebesar-besarnya.
Karena pengertian inilah pusat-pusat koperasi dan induk koperasi dibentuk
dengan tujuan agar dapat memperkuat eksistensi koperasi primer, contohnya
adalah dibentuknya PUSKUD (Pusat Koperasi Unit Desa) dan INKUD (Induk Koperasi
Unit Desa). Sedangkan konteks makna yang kedua tersebut usaha dilakukan
koperasi disusun berdasarkan atas azas kebersamaan. Karena kebersamaannya ini,
bentuk kepemilikan properti pada koperasi sering tidak diwujudkan dalam bentuk
kepemilikan saham melainkan dalam wujud simpanan baik wajib maupun pokok dan
sukarela, iuran, sumbangan dan bentuk lainnya. Konsekuensi dari bentuk
kepemilikan seperti itu adalah sebutan kepemilikannya bukan sebagai pemegang saham
melainkan sebagai anggota. Oleh karenanya koperasi sering dijadikan alat untuk
mencapai tujuan yang ditetapkan para anggotanya atau untuk kesejahteraan
anggota.
Sementara
itu, Soetrisno (2001) berpendapat bahwa ciri utama perkembangan koperasi di
Indonesia adalah dengan pola penitipan kepada program yaitu : (i) program pembangunan secara
sektoral, seperti koperasi pertanian, koperasi desa, KUD; (ii) lembaga-lembaga
pemerintah dalam koperasi pegawai negeri dan koperasi fungsional lainnya; dan
(iii) perusahaan baik milik negara (BUMN) maupun swasta (BUMS) dalam koperasi
karyawan. Menurutnya intervensi pemerintah yang terlalu besar sebagai salah
satu penyebab utama lambatnya perkembangan koperasi di Indonesia. Selama ini
koperasi dikembangan dengan dukungan pemerintah dengan basis sektor-sektor
primer dan distribusi yang memberikan lapangan kerja terbesar bagi penduduk
Indonesia. Sebagai contoh sebagian besar KUD sebagai koperasi program di sektor
pertanian didukung dengan program pembangunan untuk membangun KUD. Di sisi lain
pemerintah memanfaatkan KUD untuk mendukung program pembangunan pertanian untuk
swasembada besar. Bahkan koperasi ditugasi melanjutkan program yang kurang
berhasil ditangani langsung oleh pemerintah seperti penyaluran kredit ke petani
lewat BIMAS.
Pandangan
Soetrisno (2001) didukung oleh Widiyanto (1998) yang mengatakan bahwa
keberhasilan usaha koperasi di Indonesia biasanya tergantung pada 2 hal.
Pertama, program pemerintah karena koperasi sering dijadikan kepanjangan tangan
pemerintah dalam mengatur sendi perekonomian. Kedua keinginan pemenuhan
kebutuhan anggotanya yang berkaitan dengan program yang telah dicanangkan
pemerintah.
Komentar
Posting Komentar