KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN INVESTASI RIIL
A.
PERDAGANGAN LUAR NEGERI
Dalam era perdagangan global kebijakan
perdagangan luar negeri menjadi sangat penting. Di dalam menyusunan kebijakan
perdagangan luar negeri, pemerintah Indonesia mempunyai komitmen terhadap
sejumlah blok perdagangan, khususnya berikut ini :
1.
WTO (World
Trade Organisation).
Indonesia sebagai salah satu negara anggota WTO, kebijakan yang diterapkan
harus sejalan dengan ketentuan-ketentuan di bidang perdagangan internasional
yang telah disepakati bersama dalam WTO yang menuju perdagangan bebas dunia
sepenuhnya.
2.
APEC. Kebijakan perdagangan luar negeri Indonesia
harus juga sejalan dengan kesepakatan dalam APEC yang menerapkan perdagangan
bebas oleh negara-negara maju anggota APEC tahun 2010 dan diikuti oleh
negara-negara berkembang anggota APEC tahun 2020.
3.
ASEAN. Kebijakan perdagangan luar negeri Indonesia
juga harus sejalan dengan kebijakan AFTA
menuju perdagangan bebas yang telah dimulai sejak tahun 2003, termasuk sejumlah
ASEAN plus seperti dengan Korea, China, Jepang, India, New Zealand, dan Amerika
Serikat. Juga kebijakan perdagangan luar negeri Indonesia harus sejalan dengan
kesepakatan untuk mempercepat integrasi Ekonomi ASEAN dari 2020 menjadi 2015.
4.
EPA/FTA (Free
Trade Areas).
Indonesia telah menandatangani Economic
Partnership Agreement dengan Jepang pada awal tahun 2006. Oleh karena itu
kebijakan perdagangan luar negeri Indonesia harus disesuaikan dengan
kesepakatan tersebut.
5.
KEK. Indonesia juga telah membuat kesepakatan
untuk membentuk Kawasan Ekonomi Khusus dengan Singapura dan ini berarti
Indonesia punya suatu komitmen yang harus dicerminkan dalan kebijakan
perdagangan luar negerinya.
Era perdagangan bebas adalah era persaingan,
oleh sebab itu Indonesia harus meningkatkan efisiensi, produktivitas, kapasitas
produksi, dan inovasi di setiap sektor untuk secara bersama menunjang
peningkatan daya saing produk Indonesia di pasar dunia maupun di pasar domestik
dalam menghadapi persaingan dari produk-produk impor. Oleh karena itu
efektivitas dari kebijakan perdagangan luar negeri, selain ditentukan oleh baik
tidaknya kebijakan itu sendiri dan pelaksanaannya, juga ditentukan oleh
kebijakan-kebijakan lainnya.
Tujuan utama dari kebijakan ekspor adalah
meningkatkan ekspor dengan prasyarat bahwa kebutuhan pasar domestik telah
dipenuhi. Sedangkan tujuan utama dari kebijakan impor adalah (1) mengurangi
impor dengan prasyarat bahwa produksi dalam negeri bisa memenuhi kebutuhan
pasar dalam negeri dengan tingkat efisiensi yang paling tidak sama dengan
produk impor; (2) menambah impor jika produksi dalam negeri tidak bisa memenuhi
kebutuhan dalam negeri. Dalam kata lain, kebijakan perdagangan luar negeri
harus tetap berlandaskan pemikiran bahwa sebuah negara akan melakukan ekspor
jika negara itu memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif atas negara lain
dan mengimpor jika sebaliknya.
Beberapa isu besar terkait dengan kebijakan
perdagangan luar negeri yaitu :
a)
Kesepakatan perdagangan global dan regional
(WTO, FTA/multilateral atau bilateral, EPA, ASEAN-AFTA, termasuk ASEAN “Plus”
dan Integrasi Ekonomi ASEAN).
Indonesia sebenarnya menghadapi 2 pilihan
yakni lebih memilih mengikuti WTO atau lebih fokus terhadap
kesepakatan-kesepakatan regional dan bilateral dengan sejumlah negara. Sebagai
salah satu negara anggota WTO jelas Indonesia harus taat WTO artinya kebijakan
perdagangan luar negeri Indonesia harus sejalan dengan ketentuan di bidang
perdagangan internasional yang disepakai bersama di dalam WTO yang menuju
perdagangan bebas dunia sepenuhnya. Sebenarnya, sesuai dengan arah dari WTO
dapat dikatakan bahwa rezim perdagangan luar negeri Indonesia termasuk paling
liberal, terutama di kawasan Asia Tenggara khususnya setelah krisis ekonomi.
Namun terbukti bahwa keikutsertaan Indonesia
dalam WTO tidak menjamin daya saing global dari produk-produk Indonesia karena
selama ini kebijakan perdagangan luar negeri Indonesia cenderung semakin
liberal tidak didukung oleh langkah-langkah konkret lainnya, seperti
peningkatan anggaran inovasi dan daya saing, pendidikan khususnya di sektor
industri manufaktur. Sehingga Indonesia tidak termasuk dalam 10 besar
berdasarkan WTO 2007, karena Indonesia masih terpusatkan di industri yang
pertumbuhannya relatif rendah misalnya pengolahan makanan, alas kaki dan
tekstil.
Indonesia juga berupaya membentuk Kawasan
Ekonomi Khusus dengan negara berbatasan, yang sudah terbentuk adalah dengan
Singapura. Tujuan dari pembentukan ini adalah untuk meningkatkan perdagangan
antara kedua Negara dan sekaligus merealisasikan pertumbuhan KEK di Indonesia,
khususnya KEK di Batam, Bintan, dan Karimun.
Selain itu Indonesia juga gencar membentuk
bilateral FTA atau EPA dalam rangka meningkatkan daya saing Indonesia secara
global dengan banyak Negara potensial. Misalnya bilateral FTA dengan Korea
Selatan yang ditandatangi bulan Juni 2006 dan EPA dengan Jepang (IJ-EPA) yang
ditandatangani tanggal 25 Januari 2006 lalu di Tokyo. Tujuan IJ-EPA adalah
untuk meningkatkan perdagangan antar kedua negara dan untuk mewujudkannya ada 3
pilar penting, yakni kerja sama peningkatan kapasitas produksi antara kedua
pemerintah yang dilakukan melalui pusat pengembangan industri manufaktur yang
akan difasilitasi Jepang, fasilitas perdagangan, serta liberalisasi yang
menghapus sebagian besar tarif bea masuk ke kedua negara akan menfokuskan pada
peningkatan kapasitas di 13 sektor penunjang investasi Jepang di Indonesia
yaitu pengerjaan logam, percetakan alat mesin, promosi ekspor dan investasi,
UKM, komponen otomotif, baja, tekstil, elektronik, dan makanan dan minuman.
Dalam ASEAN pemerintah Indonesia juga sangat
mendukung percepatan integrasi ekonomi ASEAN dari 2020 menjadi 2015. Ada
sejumlah studi telah dilakukan untuk menganalisa prestasi atau kemampuan
Indonesia dalam menghadapi peluang yang muncul dari integrasi ASEAN, yaitu dari
Bank Indonesia (BI, 2008) yang menemukan bahwa Indonesia tertinggal
dibandingkan beberapa negara anggota lainnya terutama Singapura, Malaysia dan
Thailand dalam hal khususnya kualitas sumber daya manusia (SDM), teknologi, dan
stok kapital. Kekurangan faktor produksi yang terakhir ini disebabkan terutama
oleh buruknya kondisi infrastruktur, kelembagaan, dan SDM di Indonesia.
Pertanyaan yang sering muncul selama ini APAKAH INDONESIA SUDAH BENAR-BENAR SIAP
MELAKUKAN LIBERALISASI BAIK DALAM KONTEKS GLOBAL MAUPUN REGIONAL?
Pertanyaan ini muncul karena alasan klasik sbb :
1)
Kualitas
SDM masih rendah sehingga tidak mampu menyerap transfer teknologi.
2)
Penguasaan
atau pengembangan teknologi di dalam negeri masih lemah.
3)
Birokrasi
masih tetap tidak efisien.
4)
Infrastruktur
masih buruk.
5)
Pungutan
masih merajalela.
6)
Penjabaran
kebijakan pemerintah lintas sektoral maupun lintas wilayah (kebijakan
perdagangan, kebijakan industri, kebijakan pertanian, kebijakan fiskal, dll)
7)
Prosedur
pabean yang kurang terprediksi (dari sudut pandang pengusaha asing).
8)
Langkah-langkah
yang diambil instansi pemerintah masih kebanyakan bersifat ad hoc yang tidak
memberi kepastian jangka menengah apalagi jangka panjang, kepada pelaku usaha
atau calon investor.
9)
Implementasi
kebijakan di lapangan yang sering tidak efektif (tidak ada kepemimpinan yang
kuat dan fokus untuk get things done
dari pelaksana, misalnya pemerintah daerah atau menteri).
10)
Sistem
perburuhan dan perpajakan yang dirasakan merugikan dunia usaha, tidak
harmonisnya tariff, ekonomi biaya tinggi yang masih marak.
11)
Ketidaksanggupan
pemerintah mencegah penyelundupan dan pemalsuan sejumlah produk, termasuk
produksi elektronik, yang semua ini ditambah lagi dengan masalah kepastian
hokum, keamanan, dll membuat iklim investasi di tanah air tidak kondusif.
b)
Standarisasi.
Indonesia sudah punya aturan mengenai
standarisasi, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No. 102/2000. Di dalam pasal 3
dinyatakan bahwa standarisasi nasional bertujuan untuk : (1) meningkatkan
perlindungan kepada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja, dan masyarakat
lainnya, baik untuk keselamatan, keamanan, kesehatan maupun pelestarian fungsi
lingkungan hidup; (2) membantu kelancaran perdagangan; dan (3) mewujudkan
persaingan usaha yang sehat dalam perdagangan.
Namun di lapangan implementasinya masih sangat
lamban. Hingga Agustus 2007 pemerintah Indonesia telah menetapkan 3.200 standar
nasional industri (SNI), tetapi 215 SNI produk yang diwajibkan. SNI yang
diwajibkan itu pun baru 34 SNI produk yang dinotifikasi ke WTO. Tanpa
notifikasi tersebut tidak ada mekanisme pengawasan dan sanksi yang diterapkan.
Memang ironis sekali bahwa di satu sisi
disadari bahwa kualitas sangat penting untuk bisa unggul di pasar dunia, tetapi
saat ini produk Indonesia masih mempunyai masalah serius untuk memenuhi standar
kualitas. Sedangkan di tingkat ASEAN hingga tahun 2007 sudah 140 jenis standar
produk yang diharmonisasi dan ditargetkan 189 produk pada tahun 2011. Sementara
Indonesia hingga saat ini baru mengikuti 19 standar produk dalam harmonisasi
ASEAN.
c) Penentuan
sektor-sektor unggulan (picking the winners).
Selama ini dalam upaya meningkatkan kinerja
ekspor atau industri nasional, pemerintah Indonesia menetapkan sektor-sektor
atau industri unggulan, atau prioritas atau strategis, yang umum dikenal dengan
sebutan strategi picking the winners. Misalnya, dalam visi Indonesia 2030,
pemerintah menyiapkan 10 produk nonmigas unggulan Indonesia berdasarkan kriteria
potensi ekspor, kandungan impor, dan sumber daya alam, seperti industri minyak
goreng dan minyak kelapa sawit, industri bubuk coklat, dan industri konsentrat
makanan ternak, dan 10 produk nonmigas unggulan Indonesia berdasarkan criteria
potensi ekspor, kandungan impor, dan padat karya seperti industri alat
pertanian, alat pertukangan dan alat dapur lainnya, dsb.
Sebenarnya pemilihan industri-industri
tertentu sebagai suatu strategi tidak ada salahnya. Namun, pengalaman selama
ini menunjukkan bahwa kebijakan yang ada tidak selalu konsisten dengan apa yang
ingin dicapai. Seperti yang dinyatakan oleh Samhadi (2007) berdasarkan
pengamatannya selam ini terhadap kebijakan industri nasional sbb : ….kebijakan industri sejak tahun 2000 dapat
dikatakan hanya TambaL sulam. Tidak ada implementasi kebijakan yang fokus dan
komprehensif mengenai industri mana yang akan didorong, prasarana dan fasilitas
apa yang akan diberikan, keterkaitan industri apa yang akan dibangun atau
daerah mana yang akan dijadikan basis industri apa. Kebijakan industri yang ada
hanya bersifat responsif. Para menteri hanya membuat kebijakan berdasarkan
surat permohonan dari pelaku industri tertentu, sebagaimana halnya dengan
insentif perpajakan.”
Satu contoh konkret, industri elektronik
Indonesia hingga saat ini masih sangat tergantung pada impor komponen dan bahan
baku utama. Ironisnya bea masuk (BMM) impor bahan baku dan komponen ke Indonesia
selama ini berkisar 5% hingga 20%, sedangkan impor produk jadi elektronik dikenal
BMM 0%. Selain itu industri elektronik nasional juga dihadapi oleh pemberlakuan
pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk sejumlah klasifikasi pendingin
udara (AC), televisi, lemari es dan mesin cuci. Untuk klasifikasi produk yang
sama, Malaysia, Singapura, Filiphina dan Thailand tidak memberlakukan PPnBM.
Masih buruknya infrastuktur dan mahalnya serta
kelangkaan energy (seperti pemadaman listrik bergilir) dan masih buruknya
kinerja pelabuhan adalah 3 contoh lainnya yang mencerminkan tidak seriusnya
pemerintah dalam mengembangkan industri nasional yang berdaya saing tinggi.
d) Kebijakan
pemerintah mengenai kenaikan harga komoditas di pasar dunia.
Perubahan harga dari suatu komoditas di pasar
dunia bisa berpengaruh negatif atau positif terhadap Indonesia, terutama dalam
bentuk perubahan biaya produksi atau inflasi. Demi menjaga stabilitas harga
pasar domestik akibat perubahan harga suatu komoditas di pasar dunia, pemerintah
memiliki sejumlah strategi atau instrumen untuk digunakan. Misalnya dalam kasus
minyak goreng sejak 1 Februari 2008 pemerintah menanggung Pajak Penambahan
Nilai (PPN) 10% untuk minyak goreng yang dijual di dalam negeri, baik curah
maupun kemasan. Kebijakan ini sudah berjalan cukup baik, yakni berhasil meredam
kenaikan harga minyak goreng karena harga CPO di pasar internasional naik.
Sedangkan untuk komoditas-komoditas impor yang
merupakan bahan baku utama bagi sejumlah industri dalam negeri, pemerintah
menggunakan tarif bea masuk (BM) sebagai instrumennya. Misalnya, pada bulan
Januari 2008 Departemen PLN RI menurunkan tariff BM kedelai dari 10% menjadi
0%. Kebijakan ini dilakukan untuk mengurangi biaya produksi makanan berbasis
kedelai (seperti kecap, tauco, susu kedelai, keripik kedelai, dll) akibat
lonjakan harga kedelai di pasar dunia. Kebijakan ini bersifat sementara hingga
harga kedelai di pasar dunia kembali normal.
Kebijakan pemerintah yang terakhir pemerintah
mengenai pengaturan harga ekspor adalah Peraturan Menteri Perdagangan RI
No.26/M-DAG/Per/7/2008 tentang penetapan harga patokan ekspor (HPE) atas barang
ekspor tertentu, yakni kelapa sawit dan produk-produknya (seperti CPO dan
produk-produk turunannya) kayu, rotan dan kulit.
e)
Anti Dumping.
Pengertian dumping dalam konteks
hukum perdagangan internasional adalah suatu
bentuk diskriminasi harga internasional yang dilakukan oleh sebuah perusahaan
atau negara pengekspor, yang menjual barangnya dengan harga lebih rendah di
pasar luar negeri dibandingkan pasar
dalam negeri sendiri, dengan tujuan memperoleh keuntungan atas produk ekspor
tersebut.
Sedangkan menurut kamus hukum ekonomi dumping
adalah praktek dagang yang dilakukan
eksportir dengan menjual komoditi di pasaran internasional dengan harga kurang
dari nilai yang wajar atau lebih rendah daripada harga barang tersebut di
negaranya sendiri atau daripada harga jual kepada negara lain, pada umumnya
praktek ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasar dan merugikan
produsen pesaing di negara pengimport.
Anti dumping
diatur oleh Artikel VI GATT tahun 1994, yang merupakan salah satu instrument
penting bagi pengamanan industri dalam negeri suatu negara anggota WTO dari
praktek perdagangan tidak adil yang dilakukan dalam bentuk tindakan dumping. Tarif yang diikat (binding tariff) dan pemberlakuannya
secara sama kepada semua mitra dagang anggota WTO merupakan kunci pokok
kelancaran arus perdagangan barang.
Indonesia sudah sering berurusan dengan
masalah anti-dumping, misalnya dalam kasus
sengketa dengan Korea Selatan untuk produk kertas tertentu dari Indonesia.
Indonesia sebagai Penggugat dan Korea Selatan sebagai Tergugat, menggugat
Korsel karena bea masuk anti dumping (BMAD) terhadap produk kertas asal
Indonesia.
Tuduhan dumping
dan pemberian subsidi pun kerap menjadi jurus AS untuk menghalangi serbuan
produk negala lain termausk Indonesia. Indonesia juga kerap jadi tumbal
kebijakan anti-dumping AS. Sedikitnya
20 kebijakan anti-dumping dan anti
pemberian subsidi yang diterapkan AS terhadap sejumlah produk Indonesia. AS
pernah menyerang Indonesia lewat tuduhan dumping
kertas. Akibatnya, Indonesia pernah dikenai bea masuk anti dumping sebesar 8% dan bea masuk antisubsidi sebesar 22%. Namun
lantaran tuduhan itu tidak terbukti, sanksi yang dijatuhkan harus dicabut.
f)
Diplomasi ekonomi.
Diplomasi perdagangan luar negeri yang
merupakan bagian dari diplomasi ekonomi, juga merupakan salah saru langkah
pengting yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam upaya meningkatkan ekspor
Indonesia. Dengan semakin kuatnya persaingan yang dihadapi Indonesia dalam
perdagangan luar negeri, diplomasi perdagangan luar negeri harus menjadi ujung
tombak sekaligus prioritas utama politik luar negeri Indonesia.
Menurut Perwita (2008) diplomasi ekonomi
paling tidak menghadapi 3 isu penting: (1) hubungan antara ekonomi dan politik;
(2) hubungan antara lingkungan serta aneka tekanan domestik dan internasional;
dan (3) hubungan antara aktor negara dan nonnegara (faktor swasta). Kombinasi
ketiga hubungan itulah yang akhirnya menjadi salah satu warna utama dinamika
hubungan internasional kontemporer.
Memang, Presiden SBY secara aktif telah
memimpin upaya diplomasi ekonomi antara lain melalui berbagai lawatannya ke
berbagai negara untuk memperkuat kerja sama ekonomi, terutama dalam PLN dan
menarik investasi asing ke Indonesia.
Namun saru hal yang harus diperhatikan adalah
bahwa sehebat apapun juga diplomasi ekonomi, itu tidak akan efektif jika tidak
didukung oleh konsidi ekonomi, sosial, dan politik yang kondusif di dalam
negeri. Stabilitas politik, sosial, dan ekonomi domestik ditambah dengan
perkembangan demokrasi yang semakin baik di Indonesia merupakan hal penting yang
dapat menjadi modal positif dalam mendukung kiprah diplomasi ekonomi Indonesia.
B.
PERDAGANGAN DALAM NEGERI
1. Infrastruktur
dan logistik.
Bukan rahasia umum bahwa infrastruktur di
dalam negeri sangat buruk, terutama sejak krisis ekonomi 1997/1998. Laporan tahunan
dari WEF menunjukkan bahwa Indonesia selalu berada di peringkat rendah, bahkan
terendah di dalam kelompok ASEAN. Padahal, salah satu penentu utama
keberhasilan suatu negara untuk dapat bersaing di dalam era globalisasi dan
perdagangan bebas adalah jumlah infrastuktur yang mencukupi dengan kualitas
yang baik. Buruknya infrastuktur dengan sendirinya meningkatkan biaya produksi
yang pada akhirnya menurunkan daya saing harga dengan konsekuensi ekspor
menurun.
Tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini dalam
infrastuktur adalah antara lain sebagai berikut :
v Memperbaiki semua infrastruktur yang rusak,
seperti jalan-jalan raya yang berlubang dan bergelombang dan yang sebagian
hancur karena tanah longsor dalam waktu singkat.
v Membangun jalan tol atau jalan kereta api ke
pelabuhan, dan memperluas kapasitas dan memperbaiki manajemen pelabuhan,
seperti Tanjung Priok dan lainnya, yang selama ini menjadi pintu keluar masuk
barang dalam beberapa tahun ke depan.
v Meningkatkan akselerasi listrik dalam 2 tahun
ke depan, dan banyak lagi.
Logistik merupakan bagian terpenting dari
infrastuktur dalam kaitannya dengan kepentingan ekonomi atau urat nadi
perdagangan pada khususnya. Tanpa kelancaran logistik, proses produksi dan
perdagangan dapat terganggu. Yang jelas daya saing juga sangat ditentukan oleh
kecepatan barang masuk dan keluar. Oleh karena itu tantangan yang dihadapi
Indonesia sekarang adalah kesiapan sektor logistik Indonesia dalam menghadapi
upaya integrasi ASEAN tersebut.
Pengadaan listrik juga merupakan komponen yang
sangt krusial dari infrastuktur bagi kelancaran kegiatan listrik, belakangan
ini kelangkaan energi (gas maupun listrik) atau biayanya yang cenderung
meningkat terus. Sehingga pelaku industri-industri sangat terpukul dengan
masalah pasokan energi seperti tekstil, sepatu, dan makanan.
2. Barang
selundupan/impor illegal
Dalam beberapa tahun belakang ini, perdagangan
dalam negeri dilanda oleh semaraknya barang-barang selundupan atau impor
ilegal, temasuk China. Karena melemahnya perekonomian global, terutama di AS
dan UE, menambah semakin banyaknya produk-produk selundupan/impor ilegal dari
China membanjiri pasar dalam negeri. Indonesia memang sangat rawan terhadap
penyelundupan atau impor ilegal karena secara geografis Indonesia adalah negara
kepulauan yang memiliki banyak pintu masuk tanpa pengawasan yang ketat. Seperti
tekstil dan produk tekstil (TPT)dan elektronika.
Salah satu pintu masuk bagi barang-barang
selundupan adalah Batam, hingga saat ini belum bisa ditanggulangi oleh
pemerintah karena berbagai kendala, termasuk keterbatasan kapal patrol, SDM,
dan dana operasional. Dengan pelaksanaan Batam sebagai salah satu Kawasan
Ekonomi Khusus (KEK) di Indonesia, dapat diperkirakan bahwa jumlah barang yang
masuk ilegal lewat Batam akan semakin besar jika sikap pemerintah dalam
memberantasnya tetap tidak tambah baik.
3. Persaingan.
Persaingan sehat di Indonesia diatur oleh UU RI No. 5 Tahun 1999 tentang
larangan praktek monopoli dan persaingan tidak sehat dan pelaksanaan UU
tersebut diawasi oleh komisi khusus, Komisi Pengawasan Persaingan Usahan (KPPU)
yang langsung bertanggungjawab kepada Presiden.
Di pasal 3 dikatakan bahwa tujuan pembentukan
UU ini adalah untuk :
Menjaga
kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu
upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Mewujudkan
iklim usaha kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga
menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar,
menengah, dan kecil.
Mencegah
praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
Terciptanya
efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
Salah satu ketentuan penting di dalam UU
tersebut adalah mengenai penguasaan pasar. Di pasal 19 dinyatakan bahwa pelaku
usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun
bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa :
a.
Menolak
dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang
sama pada pasar bersangkutan.
b.
Atau
mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
4. Distribusi.
Hingga kini jaringan koleksi dan distribusi
barang dan jasa perdagangan dalam negeri banyak mengalami hambatan kerena belum
terintegrasinya sistem perdagangan di 3 tingkatan pasar (pengumpul, eceran, dan
grosir) serta maraknya berbagai pungutan dan peraturan di tingkat daerah akibat
penyelelenggaraan otonomi. Malah ini tidak hanya menghambat kelancaran
perdagangan antarwilayah, khususnya antar pulau tetapi juga menyababkab
berkurangnya daya saing produk dalam negeri untuk dimanfaatkan sebagai bahan
antara karena kalah bersaing dengan produk impor sejenis dan berkurangnya daya
saing produk untuk ekspor.
Ketidaklancaran distribusi barang dan jasa
antarwilayah di dalam negeri selama ini juga disebabkan oleh buruknya
infrastuktur, termasuk kurangnya jalan raya dan jalur kereta api yang
menghubungkan sentra-sentra produksi dengan pusat-pusat pengadaan bahan baku
dan pusat-pusat pasar, dan buruknya pelabuhan-pelabuhan di banyak daerah di
Indonesia. Memang ironisnya, bahwa di satu pihak pemerintah Indonesia sudah
lama menggemborkan perlunya peningkatan daya saing dan menghilangkan ekonomi
biaya tinggi, tetapi di pihak lain hingga saat ini jalan pantura tetap saja
kondisinya buruk dan belum ada jalur kereta api yang menghubungkan lapangan terbang
besar.
C.
INVESTASI RIIL
Dalam kawasan ASEAN, Indonesia masih
tertinggal dengan negara-negara utama ASEAN lainnya seperti Malaysia, Thailand
dan Singapura khususnya dalam menarik PMA dari luar ASEAN. Ini merupakan
masalah serius bagi Indonesia, karena dalam penerapan AFTA Indonesia juga
sekarang ini menghadapi tantangan sebagai negara tujuan investasi ASEAN.
Dalam kajian kebijakan investasi riil dibahas
4 isu besar, yakni :
1) Kebijakan
perbaikan iklim investasi dan UU Penanaman Modal No.25/2007.
Sebenarnya pemerintah telah banyak berupaya
meningkatkan investasi riil di Indonesia. Terakhir adalah mengeluarkan paket
kebijakan ekonomi 2008-2009 tertuang dalam Inpres No. 5 2008 tentang Fokus
Program Ekonomi 2008-2009. Paket ini memuat berbagai kebijakan ekonomi yang dikelompokkan
dalam 8 bidang, yakni kebijakan perbaikan iklim investasi, kebijakan ekonomi
makro dan keuangan, kebijakan ketahanan energy, dan kebijakan sumber daya alam,
lingkungan, dan pertanian.
Dari program dalam paket kebijakan investasi
tersebut, salah satu yang menjadi program adalah pembentukan perusahaan dan
izin usaha. Masalah pelayanan perizinan selama beberapa tahun belakang ini
sering dikeluhkan oleh pengusaha, karena sebelum dan sesudah otonomi daerah
membawa implikasi pada pungutan yang lebih besar dari biaya resmi, sehingga
menimbulkan biaya ekonomi tinggi. Untuk menggairahkan kegiatan investasi dan
pelayanan investasi, pemerintah menawarkan konsep pelayanan satu atap, dengan
dikeluarkannya Keppres No. 29 Tahun 2003. Lahirnya Keppres ini dilatarbelakangi
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
Upaya pemerintah dalam meningkatkan investasi
riil di dalam negeri mencapai klimaksnya pada saat UU Penanaman Modal No.
25/2007. Dalam pasal 4-nya pemerintah menetapkan kebijakan dasar penanaman
modal untuk :
-
Mendorong
terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi penanaman modal untuk
penguatan daya saing perekonomian nasional.
-
Mempercepat
peningkatan penanaman modal.
dalam mengindentifikasi kendala perizinan
penanaman modal di Indonesia, ada 3 hal yang perlu dipahami yakni :
a)
izin
investasi tidak dapat dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi
harus menjadi satu paket dengan izin-izin yang lain secara langsung maupun
tidak langsung.
b)
Koordinasi.
c)
ada
baiknya pemerintah pusat membantu sungguh-sungguh upaya pemerintah daerah dalam
menyederhanakan proses perizinan penanaman modal di daerah.
Semua ini tergantung dari implementasi di
lapangan, karena hanya sedikit UU di bidang ekonomi yang dilaksanakan secara
sungguh-sungguh. Pada akhirnya ada yang merasa dirugikan ketika UU
dilaksanakan.
2) Daftar
negatif investasi (DNI)
Dalam pasal 12 UU PM No.25/2007 disebutkan
bahwa :
1.
Semua
bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal,kecuali
bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan
persyaratan.
2.
Bidang
usaha yang tertutup bagi penanaman modal asing adalah
produksi
senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang.
Bidang
usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang.
3.
Pemerintah
berdasarkan Peraturan Presiden menetapkan bidang usaha yang tertutup untuk
penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri, dengan berdasarkan kriteria
kesehatan, moral, kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan, dan keamanan
nasional, serta kepentingan nasional lainnya.
4.
Kriteria
dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan
masing-masing diatur dengan PP.
5.
Pemerintah
menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan Kriteria
kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan,
pengembangan usaha mikro dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi,
peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja
sama dengan badan usaha pemerintah.
Aspirasi dari dunia usaha (diwakili oleh
KAdin) agar DNI saat ini dapat direvisi dan diharapkan dapat memberikan
kejelasan perihal apa saja yang diperbolehkan/diizinkan dan apa saja yang tidak
diperbolehkan, termasuk persyaratan-persyaratannya.
Ada 3 persoalan utama yang menjadi keprihatinan
dunia usaha yakni :
a)
Adanya
gray areas yang sangat membutuhkan kejelasan informasi yang lebih tegas dan
jernih. Contohnya dalam DNI terdapat kasus di mana industri yang sama memiliki
tingkatan kepemilikan modal asing yang berbeda.
b)
Dunia
usaha masih diliputi berbagai pertanyaan berkenaan dengan dasar pemikiran
rasional atau filosofi yang melatarbelakangi keputusan penentuan kriteria pada
daftar negatif ini.
c)
Ketidakpastian
mengenai proses perubahan dan transisi serta bagaimana perubahan DNI ini dapat
diaplikasikan di masa depan. Sebagai contoh apa yang terjadi bila perusahaan
akan melakukan ekspansi, apakah harus mengikuti peraturan DN yang baru atau
mengikuti yang berlaku pada saat perusahaan berdiri?
Memang ironis bahwa di satu sisi pemerintah berusaha
meningkatkan investasi termasuk PMA, tapi di satu sisi pemerintah menerapkan
DNI, misalnya di sektor pelabuhan. Hingga kini pelabuhan di Indonesia
kondisinya masih buruk, namun investor asing tidak bisa masuk karena DNI ini
dimana pemerintah membatasi kepemilikan asing hingga 49%.
3) Koordinasi
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
Masalah buruknya koordinasi antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah terasa semakin parah setelah adanya otonomi daerah.
Banyak peraturan pemerintah atau keputusan presiden yang tidak bisa berjalan
efektif karena adanya tarik menarik kepentingan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah yang semuanya merasa paling berkepentingan atas penanaman
modal di daerah.
Dalam kebijakan otonomi daerah pemerintah
daerah baik tingkat propinsi, kabupaten dan kota diberikan kewenangan dalam
bidang penanaman modal. Namun, sejak pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah
pusat terpaksa mengeluarkan keppres khusus mengenai penanaman modal karena
banyaknya kendala yang dihadapi investor yang ingin membuka usaha di daerah.
Khususnya yang berkaitan dengan proses pengurusan izin usaha yang terlalu
berbelit-belit yang membutuhkan waktu yang lama dengan biaya yang tidak
sedikit.
Buruknya koordinasi daerah antara pusat dan
pemerintah daerah berdasarkan pengamatan Astuti dan Astono (2007), pemerintah daerah kerap membuat kebijakan
yang menabrak aturan yang telah dibuat. Mereka pula yang memersepsikan setiap
kebijakan menjadi berbeda-beda ketika dilaksanakan oleh pengusaha di lapangan.
4) Kawasan
perdagangan bebas (KPB) dan kawasan ekonomi khusus (KEK)
Dalam era globalisasi dan perdagangan bebas
saat ini, membentuk suatu kawasan perdagangan bebas (FTZ) atau kawasan ekonomi
khusus (KEK) merupakan salah satu cara untuk meningkatkan ekspor dan investasi.
Salah satu FTZ yang sedang dikembangkan oleh pemerintah adalah di kawasan
Batam, Bintan dan Karimun yang ditargetkan akan menarik investasi asing 5x
lipat dalam 5 tahun ke depan dari 1 miliar dollar AS menjadi minimal 5 miliar
dollar AS. Untuk rencana ini 3 keppres telah diterbitkan sekaligus yakni
Keppres No.9/2008 tentang Dewan Kawasan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam,
Keppres no.10/2008 tentang Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
Bintan, dan Keppres No.11/2008 tentang Dewan Kawasan dan Pelabuhan Bebas
Karimun.
Tentunya FTZ tidak hanya merupakan wilayah
kebijakan investasi, tetapi wilayah kebijakan PLN. Oleh karena itu dari sisi
kebijakan PLN untuk mendukung FTZ tersebut insentif yang akan diberikan antara
lain kemudahan transaksi ekspor impor dan mekanisme keluar masuknya barang. Salah
satu keunggulan yang dikembangkan KEK adalah adanya 7 zona ekslusif yang dapat
dibangun dengan klarifikasinya yakni pengolahan ekspor, techno park, logistik,
industri, pariwisata, jasa keuangan, dan olahraga.
Tentu KEK atau FTZ hanya akan berhasil
dikembangkan apabila memiliki keunggulan dalam jaringan distribusi global, yang
bergantung pada faktor-faktor seperti kualitas SDM, kebijakan makro, kebijakan
sektoral dan kebijakan pemerintah.
D.
ARAH KEBIJAKAN
Isu penting terkait dengan PLN, PDN, dan
investasi riil sudah tercakup di dalam arah kebijakan yang akan dilakukan
pemerintah di 3 bidang tersebut. Namun demikian perlu dipahami bahwa efisiensi
dan daya saing yang tinggi saja tidak cukup untuk menjamin kemampuan Indonesia
bersaing di pasar domestik maupun pasar global, dalam perdagangan maupun
investasi. Upaya serius pemerintah untuk meningkatkan kapasitas produksi
nasional belum kelihatan, dan ini merupakan pekerjaan paling penting dari
Departemen Perindustrian, Departemen Pertanian, dan Departemen yang menangani
kegiatan produksi di sektor-sektor lainnya.
Langkah yang diambil pemerintah tentu saja
implementasinya belum tentu bisa dilaksanakan dengan baik, terutama karena 2
hal :
1.
Tidak
ada pemahaman yang sama mengenai pentingnya suatu kebijakan antara pembuat
kebijakan di tingkat pusat dan pelaksana kebijakan tersebut di lapangan.
2.
Sulit
sekali membentuk keharmonisan antardepartemen atau instansi pemerintah terkait
dalam implementasi suatu kebijakan.
Berbagai contoh seperti :
soal
standarisasi dimana aturannya yakni PP No.102/2000 menetapkan aturan
standarisasi yang sampai saat ini masih sangat lambat.
Soal
barang-barang illegal, yang belum bisa diperangi oleh pemerintah.
Soal
distribusi barang dan jasa di dalam negeri, di mana pemerintah sudah mengambil
sejumlah kebijakan untuk menghilangkan distorsi dalam sistem distribusi. Namun
hingga saat ini muncul di media massa soal mahalnya biaya distribusi.
Soal
DNI, dimana di satu sisi pemerintah berusaha meningkatkan investasi PMA tapi di
sisi lain pemerintah menerapkan DNI.
Singkat kata arah kebijakan PDN, PLN dan
investasi riil harus diarahkan pada 3 sasaran, yakni efisiensi, daya saing dan
kemampuan berproduksi.
E.
KEBIJAKAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM KONTEKS
PERDAGANGAN DAN INVESTASI
Masalah lingkungan hidup tidak hanya masalah
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup saja, tetapi sudah merupakan
bagian integral dari masalah pembangunan. Masalah lingkungan hidup menjadi
sesuatu yang lintas sektoral, multi disiplin, dan melibatkan semua lapisan
masyarakat, serta sangat terkait dengan masalah-masalah global lainnya,
termasuk liberalisasi perdagangan dunia.
Beberapa konferensi/pertemuan negara-negara
mengenai lingkungan hidup seperti :
Konferensi
PBB mengenai lingkungan hidup yang dikenal The
United Nations Conference on The Human Environment tahun 1972 di Stockholm
Swedia, yang menghasilkan kesepakatan mengenai keterkaitan antara konsep
pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Di
Nairobi tahun 1982 United Nations
Environment Program (UNEP) dan World
Commission on Environment and Development (WCED), dimana konferensi ini
melahirkan pemikiran bahwa pembangunan industri yang tidak terkendali akan
mempengaruhi kelangsungan dunia usaha. Sebagai upaya pencegahan pencemaran
secara sistematik pada bulan Mei 1989 UNEP memperkenalkan program “Produksi
Bersih” yang diajukan secara resmi bulan September 1990 pada seminar mengenai the Promotion of Cleaner Production di
Cantebury, Inggris.
KTT
Bumi tahun 1992 di Rio de Janeiro, membahas tentang kesepakatan hambatan
nontariff dalam perdagangan sebagai control terhadap produk ekspor yang
menyebabkan kerusakan lingkungan hidup.
Komisi
Uni Eropa (UE) mulai memberlakukan Eco-Management
and Audit Scheme (EMAS) tahun 1993 yang mengembangkan standarisasi
pengelolaan lingkungan.
Khusus
di bidang kehutanan pertemuan ITTO (International
Tropical Timber Organization) di Bali tahun 1990, telah dibuat suatu
komitmen bagi terlaksananya hutan yang lestari yang harus tercapai paling
lambat tahun 2000.
International Standardization Organization (ISO) dan International
Electrotechnical Commission (IEC) membentuk Strategic Advisory Group on the Environment (SAGE) pada bulan
Agustus 1991. SAGE merekomendasikan kepada ISO akan perlunya suatu Technical Committee (TC) yang khusus
bertugas untuk mengembangkan suatu seri standar pengelolaan lingkungan yang
berlaku secara internasional.
Upaya untuk mengurangi pencemaran lingkungan
akibat kegiatan ekonomi, termasuk perdagangan dan investasi, dapat dilakukan
dengan 3 pendekatan yaitu :
- 1) Pendekatan regulasi, yakni perintah dan pengawasan oleh pemerintah. Ini merupakan perangkat yang diterapkan oleh pemerintah melalui baku mutu lingkungan dan program lain.
- 2) Pendekatan masyarakat (termasuk dunia usaha), yakni melakukan peraturan sendiri. Ini merupakan tindakan proaktif dalam pencegahan pencemaran oleh perusahaan yang membawa keuntungan adanya kelenturan pada perusahaan untuk mengembangkan teknologi yang sesuai dengan kondisi perusahaannya.
- 3) Pendekatan ekonomi yang dapat dilakukan melalui pemberian insentif, disinsentif, dan izin memperdagangkan emisi. Untuk yang terakhir ini, industri diberi hak menggunakan jasa lingkungan untuk membuang limbah; hak ini dapat diperjualbelikan.
ga ada sumber?
BalasHapusKira2 prospek koperasi terhadap investasi riil dan kebijakan perdangangan bagaimana ??
BalasHapuskak @desiesy mau tanya, untuk pembahasan tentang investasi riil kaka pake buku dari karangannya siapa ka ? mohon bantuannya
BalasHapusbku karangan siapa ya??mhon bantuannya
BalasHapus