KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN INVESTASI RIIL


A.  PERDAGANGAN LUAR NEGERI
Dalam era perdagangan global kebijakan perdagangan luar negeri menjadi sangat penting. Di dalam menyusunan kebijakan perdagangan luar negeri, pemerintah Indonesia mempunyai komitmen terhadap sejumlah blok perdagangan, khususnya berikut ini :
        1.    WTO (World Trade Organisation). Indonesia sebagai salah satu negara anggota WTO, kebijakan yang diterapkan harus sejalan dengan ketentuan-ketentuan di bidang perdagangan internasional yang telah disepakati bersama dalam WTO yang menuju perdagangan bebas dunia sepenuhnya.
      2.    APEC. Kebijakan perdagangan luar negeri Indonesia harus juga sejalan dengan kesepakatan dalam APEC yang menerapkan perdagangan bebas oleh negara-negara maju anggota APEC tahun 2010 dan diikuti oleh negara-negara berkembang anggota APEC tahun 2020.
       3.    ASEAN. Kebijakan perdagangan luar negeri Indonesia juga harus sejalan dengan kebijakan  AFTA menuju perdagangan bebas yang telah dimulai sejak tahun 2003, termasuk sejumlah ASEAN plus seperti dengan Korea, China, Jepang, India, New Zealand, dan Amerika Serikat. Juga kebijakan perdagangan luar negeri Indonesia harus sejalan dengan kesepakatan untuk mempercepat integrasi Ekonomi ASEAN dari 2020 menjadi 2015.
       4.    EPA/FTA (Free Trade Areas). Indonesia telah menandatangani Economic Partnership Agreement dengan Jepang pada awal tahun 2006. Oleh karena itu kebijakan perdagangan luar negeri Indonesia harus disesuaikan dengan kesepakatan tersebut.
         5.    KEK. Indonesia juga telah membuat kesepakatan untuk membentuk Kawasan Ekonomi Khusus dengan Singapura dan ini berarti Indonesia punya suatu komitmen yang harus dicerminkan dalan kebijakan perdagangan luar negerinya.

Era perdagangan bebas adalah era persaingan, oleh sebab itu Indonesia harus meningkatkan efisiensi, produktivitas, kapasitas produksi, dan inovasi di setiap sektor untuk secara bersama menunjang peningkatan daya saing produk Indonesia di pasar dunia maupun di pasar domestik dalam menghadapi persaingan dari produk-produk impor. Oleh karena itu efektivitas dari kebijakan perdagangan luar negeri, selain ditentukan oleh baik tidaknya kebijakan itu sendiri dan pelaksanaannya, juga ditentukan oleh kebijakan-kebijakan lainnya.
Tujuan utama dari kebijakan ekspor adalah meningkatkan ekspor dengan prasyarat bahwa kebutuhan pasar domestik telah dipenuhi. Sedangkan tujuan utama dari kebijakan impor adalah (1) mengurangi impor dengan prasyarat bahwa produksi dalam negeri bisa memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri dengan tingkat efisiensi yang paling tidak sama dengan produk impor; (2) menambah impor jika produksi dalam negeri tidak bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dalam kata lain, kebijakan perdagangan luar negeri harus tetap berlandaskan pemikiran bahwa sebuah negara akan melakukan ekspor jika negara itu memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif atas negara lain dan mengimpor jika sebaliknya.
Beberapa isu besar terkait dengan kebijakan perdagangan luar negeri yaitu :
   a)   Kesepakatan perdagangan global dan regional (WTO,  FTA/multilateral atau bilateral, EPA, ASEAN-AFTA, termasuk ASEAN “Plus” dan Integrasi Ekonomi ASEAN).
Indonesia sebenarnya menghadapi 2 pilihan yakni lebih memilih mengikuti WTO atau lebih fokus terhadap kesepakatan-kesepakatan regional dan bilateral dengan sejumlah negara. Sebagai salah satu negara anggota WTO jelas Indonesia harus taat WTO artinya kebijakan perdagangan luar negeri Indonesia harus sejalan dengan ketentuan di bidang perdagangan internasional yang disepakai bersama di dalam WTO yang menuju perdagangan bebas dunia sepenuhnya. Sebenarnya, sesuai dengan arah dari WTO dapat dikatakan bahwa rezim perdagangan luar negeri Indonesia termasuk paling liberal, terutama di kawasan Asia Tenggara khususnya setelah krisis ekonomi.
Namun terbukti bahwa keikutsertaan Indonesia dalam WTO tidak menjamin daya saing global dari produk-produk Indonesia karena selama ini kebijakan perdagangan luar negeri Indonesia cenderung semakin liberal tidak didukung oleh langkah-langkah konkret lainnya, seperti peningkatan anggaran inovasi dan daya saing, pendidikan khususnya di sektor industri manufaktur. Sehingga Indonesia tidak termasuk dalam 10 besar berdasarkan WTO 2007, karena Indonesia masih terpusatkan di industri yang pertumbuhannya relatif rendah misalnya pengolahan makanan, alas kaki dan tekstil.
Indonesia juga berupaya membentuk Kawasan Ekonomi Khusus dengan negara berbatasan, yang sudah terbentuk adalah dengan Singapura. Tujuan dari pembentukan ini adalah untuk meningkatkan perdagangan antara kedua Negara dan sekaligus merealisasikan pertumbuhan KEK di Indonesia, khususnya KEK di Batam, Bintan, dan Karimun. 
Selain itu Indonesia juga gencar membentuk bilateral FTA atau EPA dalam rangka meningkatkan daya saing Indonesia secara global dengan banyak Negara potensial. Misalnya bilateral FTA dengan Korea Selatan yang ditandatangi bulan Juni 2006 dan EPA dengan Jepang (IJ-EPA) yang ditandatangani tanggal 25 Januari 2006 lalu di Tokyo. Tujuan IJ-EPA adalah untuk meningkatkan perdagangan antar kedua negara dan untuk mewujudkannya ada 3 pilar penting, yakni kerja sama peningkatan kapasitas produksi antara kedua pemerintah yang dilakukan melalui pusat pengembangan industri manufaktur yang akan difasilitasi Jepang, fasilitas perdagangan, serta liberalisasi yang menghapus sebagian besar tarif bea masuk ke kedua negara akan menfokuskan pada peningkatan kapasitas di 13 sektor penunjang investasi Jepang di Indonesia yaitu pengerjaan logam, percetakan alat mesin, promosi ekspor dan investasi, UKM, komponen otomotif, baja, tekstil, elektronik, dan makanan dan minuman.
Dalam ASEAN pemerintah Indonesia juga sangat mendukung percepatan integrasi ekonomi ASEAN dari 2020 menjadi 2015. Ada sejumlah studi telah dilakukan untuk menganalisa prestasi atau kemampuan Indonesia dalam menghadapi peluang yang muncul dari integrasi ASEAN, yaitu dari Bank Indonesia (BI, 2008) yang menemukan bahwa Indonesia tertinggal dibandingkan beberapa negara anggota lainnya terutama Singapura, Malaysia dan Thailand dalam hal khususnya kualitas sumber daya manusia (SDM), teknologi, dan stok kapital. Kekurangan faktor produksi yang terakhir ini disebabkan terutama oleh buruknya kondisi infrastruktur, kelembagaan, dan SDM di Indonesia.
Pertanyaan yang sering muncul selama ini APAKAH INDONESIA SUDAH BENAR-BENAR SIAP MELAKUKAN LIBERALISASI BAIK DALAM KONTEKS GLOBAL MAUPUN REGIONAL? Pertanyaan ini muncul karena alasan klasik sbb :
1)    Kualitas SDM masih rendah sehingga tidak mampu menyerap transfer teknologi.
2)    Penguasaan atau pengembangan teknologi di dalam negeri masih lemah.
3)    Birokrasi masih tetap tidak efisien.
4)    Infrastruktur masih buruk.
5)    Pungutan masih merajalela.
6)    Penjabaran kebijakan pemerintah lintas sektoral maupun lintas wilayah (kebijakan perdagangan, kebijakan industri, kebijakan pertanian, kebijakan fiskal, dll)
7)    Prosedur pabean yang kurang terprediksi (dari sudut pandang pengusaha asing).
8)    Langkah-langkah yang diambil instansi pemerintah masih kebanyakan bersifat ad hoc yang tidak memberi kepastian jangka menengah apalagi jangka panjang, kepada pelaku usaha atau calon investor.
9)    Implementasi kebijakan di lapangan yang sering tidak efektif (tidak ada kepemimpinan yang kuat dan fokus untuk get things done dari pelaksana, misalnya pemerintah daerah atau menteri).
10)          Sistem perburuhan dan perpajakan yang dirasakan merugikan dunia usaha, tidak harmonisnya tariff, ekonomi biaya tinggi yang masih marak.
11)          Ketidaksanggupan pemerintah mencegah penyelundupan dan pemalsuan sejumlah produk, termasuk produksi elektronik, yang semua ini ditambah lagi dengan masalah kepastian hokum, keamanan, dll membuat iklim investasi di tanah air tidak kondusif.  



             b)   Standarisasi.
Indonesia sudah punya aturan mengenai standarisasi, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No. 102/2000. Di dalam pasal 3 dinyatakan bahwa standarisasi nasional bertujuan untuk : (1) meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja, dan masyarakat lainnya, baik untuk keselamatan, keamanan, kesehatan maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup; (2) membantu kelancaran perdagangan; dan (3) mewujudkan persaingan usaha yang sehat dalam perdagangan.
Namun di lapangan implementasinya masih sangat lamban. Hingga Agustus 2007 pemerintah Indonesia telah menetapkan 3.200 standar nasional industri (SNI), tetapi 215 SNI produk yang diwajibkan. SNI yang diwajibkan itu pun baru 34 SNI produk yang dinotifikasi ke WTO. Tanpa notifikasi tersebut tidak ada mekanisme pengawasan dan sanksi yang diterapkan.
Memang ironis sekali bahwa di satu sisi disadari bahwa kualitas sangat penting untuk bisa unggul di pasar dunia, tetapi saat ini produk Indonesia masih mempunyai masalah serius untuk memenuhi standar kualitas. Sedangkan di tingkat ASEAN hingga tahun 2007 sudah 140 jenis standar produk yang diharmonisasi dan ditargetkan 189 produk pada tahun 2011. Sementara Indonesia hingga saat ini baru mengikuti 19 standar produk dalam harmonisasi ASEAN.

               c)  Penentuan sektor-sektor unggulan (picking the winners).
Selama ini dalam upaya meningkatkan kinerja ekspor atau industri nasional, pemerintah Indonesia menetapkan sektor-sektor atau industri unggulan, atau prioritas atau strategis, yang umum dikenal dengan sebutan strategi picking the winners. Misalnya, dalam visi Indonesia 2030, pemerintah menyiapkan 10 produk nonmigas unggulan Indonesia berdasarkan kriteria potensi ekspor, kandungan impor, dan sumber daya alam, seperti industri minyak goreng dan minyak kelapa sawit, industri bubuk coklat, dan industri konsentrat makanan ternak, dan 10 produk nonmigas unggulan Indonesia berdasarkan criteria potensi ekspor, kandungan impor, dan padat karya seperti industri alat pertanian, alat pertukangan dan alat dapur lainnya, dsb.
Sebenarnya pemilihan industri-industri tertentu sebagai suatu strategi tidak ada salahnya. Namun, pengalaman selama ini menunjukkan bahwa kebijakan yang ada tidak selalu konsisten dengan apa yang ingin dicapai. Seperti yang dinyatakan oleh Samhadi (2007) berdasarkan pengamatannya selam ini terhadap kebijakan industri nasional sbb : ….kebijakan industri sejak tahun 2000 dapat dikatakan hanya TambaL sulam. Tidak ada implementasi kebijakan yang fokus dan komprehensif mengenai industri mana yang akan didorong, prasarana dan fasilitas apa yang akan diberikan, keterkaitan industri apa yang akan dibangun atau daerah mana yang akan dijadikan basis industri apa. Kebijakan industri yang ada hanya bersifat responsif. Para menteri hanya membuat kebijakan berdasarkan surat permohonan dari pelaku industri tertentu, sebagaimana halnya dengan insentif perpajakan.”
Satu contoh konkret, industri elektronik Indonesia hingga saat ini masih sangat tergantung pada impor komponen dan bahan baku utama. Ironisnya bea masuk (BMM) impor bahan baku dan komponen ke Indonesia selama ini berkisar 5% hingga 20%, sedangkan impor produk jadi elektronik dikenal BMM 0%. Selain itu industri elektronik nasional juga dihadapi oleh pemberlakuan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk sejumlah klasifikasi pendingin udara (AC), televisi, lemari es dan mesin cuci. Untuk klasifikasi produk yang sama, Malaysia, Singapura, Filiphina dan Thailand tidak memberlakukan PPnBM.
Masih buruknya infrastuktur dan mahalnya serta kelangkaan energy (seperti pemadaman listrik bergilir) dan masih buruknya kinerja pelabuhan adalah 3 contoh lainnya yang mencerminkan tidak seriusnya pemerintah dalam mengembangkan industri nasional yang berdaya saing tinggi.

             d)  Kebijakan pemerintah mengenai kenaikan harga komoditas di pasar dunia.
Perubahan harga dari suatu komoditas di pasar dunia bisa berpengaruh negatif atau positif terhadap Indonesia, terutama dalam bentuk perubahan biaya produksi atau inflasi. Demi menjaga stabilitas harga pasar domestik akibat perubahan harga suatu komoditas di pasar dunia, pemerintah memiliki sejumlah strategi atau instrumen untuk digunakan. Misalnya dalam kasus minyak goreng sejak 1 Februari 2008 pemerintah menanggung Pajak Penambahan Nilai (PPN) 10% untuk minyak goreng yang dijual di dalam negeri, baik curah maupun kemasan. Kebijakan ini sudah berjalan cukup baik, yakni berhasil meredam kenaikan harga minyak goreng karena harga CPO di pasar internasional naik.
Sedangkan untuk komoditas-komoditas impor yang merupakan bahan baku utama bagi sejumlah industri dalam negeri, pemerintah menggunakan tarif bea masuk (BM) sebagai instrumennya. Misalnya, pada bulan Januari 2008 Departemen PLN RI menurunkan tariff BM kedelai dari 10% menjadi 0%. Kebijakan ini dilakukan untuk mengurangi biaya produksi makanan berbasis kedelai (seperti kecap, tauco, susu kedelai, keripik kedelai, dll) akibat lonjakan harga kedelai di pasar dunia. Kebijakan ini bersifat sementara hingga harga kedelai di pasar dunia kembali normal.
Kebijakan pemerintah yang terakhir pemerintah mengenai pengaturan harga ekspor adalah Peraturan Menteri Perdagangan RI No.26/M-DAG/Per/7/2008 tentang penetapan harga patokan ekspor (HPE) atas barang ekspor tertentu, yakni kelapa sawit dan produk-produknya (seperti CPO dan produk-produk turunannya) kayu, rotan dan kulit.



             e)   Anti Dumping.

Pengertian dumping dalam konteks hukum perdagangan internasional adalah suatu bentuk diskriminasi harga internasional yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau negara pengekspor, yang menjual barangnya dengan harga lebih rendah di pasar luar negeri  dibandingkan pasar dalam negeri sendiri, dengan tujuan memperoleh keuntungan atas produk ekspor tersebut.
Sedangkan menurut kamus hukum ekonomi dumping adalah praktek dagang yang dilakukan eksportir dengan menjual komoditi di pasaran internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah daripada harga barang tersebut di negaranya sendiri atau daripada harga jual kepada negara lain, pada umumnya praktek ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasar dan merugikan produsen pesaing di negara pengimport.
Anti dumping diatur oleh Artikel VI GATT tahun 1994, yang merupakan salah satu instrument penting bagi pengamanan industri dalam negeri suatu negara anggota WTO dari praktek perdagangan tidak adil yang dilakukan dalam bentuk tindakan dumping. Tarif yang diikat (binding tariff) dan pemberlakuannya secara sama kepada semua mitra dagang anggota WTO merupakan kunci pokok kelancaran arus perdagangan barang.
Indonesia sudah sering berurusan dengan masalah anti-dumping, misalnya dalam kasus sengketa dengan Korea Selatan untuk produk kertas tertentu dari Indonesia. Indonesia sebagai Penggugat dan Korea Selatan sebagai Tergugat, menggugat Korsel karena bea masuk anti dumping (BMAD) terhadap produk kertas asal Indonesia.
Tuduhan dumping dan pemberian subsidi pun kerap menjadi jurus AS untuk menghalangi serbuan produk negala lain termausk Indonesia. Indonesia juga kerap jadi tumbal kebijakan anti-dumping AS. Sedikitnya 20 kebijakan anti-dumping dan anti pemberian subsidi yang diterapkan AS terhadap sejumlah produk Indonesia. AS pernah menyerang Indonesia lewat tuduhan dumping kertas. Akibatnya, Indonesia pernah dikenai bea masuk anti dumping sebesar 8% dan bea masuk antisubsidi sebesar 22%. Namun lantaran tuduhan itu tidak terbukti, sanksi yang dijatuhkan harus dicabut.

              f)   Diplomasi ekonomi.
Diplomasi perdagangan luar negeri yang merupakan bagian dari diplomasi ekonomi, juga merupakan salah saru langkah pengting yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam upaya meningkatkan ekspor Indonesia. Dengan semakin kuatnya persaingan yang dihadapi Indonesia dalam perdagangan luar negeri, diplomasi perdagangan luar negeri harus menjadi ujung tombak sekaligus prioritas utama politik luar negeri Indonesia.
Menurut Perwita (2008) diplomasi ekonomi paling tidak menghadapi 3 isu penting: (1) hubungan antara ekonomi dan politik; (2) hubungan antara lingkungan serta aneka tekanan domestik dan internasional; dan (3) hubungan antara aktor negara dan nonnegara (faktor swasta). Kombinasi ketiga hubungan itulah yang akhirnya menjadi salah satu warna utama dinamika hubungan internasional kontemporer.
Memang, Presiden SBY secara aktif telah memimpin upaya diplomasi ekonomi antara lain melalui berbagai lawatannya ke berbagai negara untuk memperkuat kerja sama ekonomi, terutama dalam PLN dan menarik investasi asing ke Indonesia.
Namun saru hal yang harus diperhatikan adalah bahwa sehebat apapun juga diplomasi ekonomi, itu tidak akan efektif jika tidak didukung oleh konsidi ekonomi, sosial, dan politik yang kondusif di dalam negeri. Stabilitas politik, sosial, dan ekonomi domestik ditambah dengan perkembangan demokrasi yang semakin baik di Indonesia merupakan hal penting yang dapat menjadi modal positif dalam mendukung kiprah diplomasi ekonomi Indonesia.

B.  PERDAGANGAN DALAM NEGERI
1.  Infrastruktur dan logistik.
Bukan rahasia umum bahwa infrastruktur di dalam negeri sangat buruk, terutama sejak krisis ekonomi 1997/1998. Laporan tahunan dari WEF menunjukkan bahwa Indonesia selalu berada di peringkat rendah, bahkan terendah di dalam kelompok ASEAN. Padahal, salah satu penentu utama keberhasilan suatu negara untuk dapat bersaing di dalam era globalisasi dan perdagangan bebas adalah jumlah infrastuktur yang mencukupi dengan kualitas yang baik. Buruknya infrastuktur dengan sendirinya meningkatkan biaya produksi yang pada akhirnya menurunkan daya saing harga dengan konsekuensi ekspor menurun.
Tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini dalam infrastuktur adalah antara lain sebagai berikut :
v  Memperbaiki semua infrastruktur yang rusak, seperti jalan-jalan raya yang berlubang dan bergelombang dan yang sebagian hancur karena tanah longsor dalam waktu singkat.
v  Membangun jalan tol atau jalan kereta api ke pelabuhan, dan memperluas kapasitas dan memperbaiki manajemen pelabuhan, seperti Tanjung Priok dan lainnya, yang selama ini menjadi pintu keluar masuk barang dalam beberapa tahun ke depan.
v  Meningkatkan akselerasi listrik dalam 2 tahun ke depan, dan banyak lagi.
Logistik merupakan bagian terpenting dari infrastuktur dalam kaitannya dengan kepentingan ekonomi atau urat nadi perdagangan pada khususnya. Tanpa kelancaran logistik, proses produksi dan perdagangan dapat terganggu. Yang jelas daya saing juga sangat ditentukan oleh kecepatan barang masuk dan keluar. Oleh karena itu tantangan yang dihadapi Indonesia sekarang adalah kesiapan sektor logistik Indonesia dalam menghadapi upaya integrasi ASEAN tersebut.
Pengadaan listrik juga merupakan komponen yang sangt krusial dari infrastuktur bagi kelancaran kegiatan listrik, belakangan ini kelangkaan energi (gas maupun listrik) atau biayanya yang cenderung meningkat terus. Sehingga pelaku industri-industri sangat terpukul dengan masalah pasokan energi seperti tekstil, sepatu, dan makanan. 

              2.  Barang selundupan/impor illegal
Dalam beberapa tahun belakang ini, perdagangan dalam negeri dilanda oleh semaraknya barang-barang selundupan atau impor ilegal, temasuk China. Karena melemahnya perekonomian global, terutama di AS dan UE, menambah semakin banyaknya produk-produk selundupan/impor ilegal dari China membanjiri pasar dalam negeri. Indonesia memang sangat rawan terhadap penyelundupan atau impor ilegal karena secara geografis Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki banyak pintu masuk tanpa pengawasan yang ketat. Seperti tekstil dan produk tekstil (TPT)dan elektronika.
Salah satu pintu masuk bagi barang-barang selundupan adalah Batam, hingga saat ini belum bisa ditanggulangi oleh pemerintah karena berbagai kendala, termasuk keterbatasan kapal patrol, SDM, dan dana operasional. Dengan pelaksanaan Batam sebagai salah satu Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Indonesia, dapat diperkirakan bahwa jumlah barang yang masuk ilegal lewat Batam akan semakin besar jika sikap pemerintah dalam memberantasnya tetap tidak tambah baik.  

               3.  Persaingan.
Persaingan sehat di Indonesia  diatur oleh UU RI No. 5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan tidak sehat dan pelaksanaan UU tersebut diawasi oleh komisi khusus, Komisi Pengawasan Persaingan Usahan (KPPU) yang langsung bertanggungjawab kepada Presiden.
Di pasal 3 dikatakan bahwa tujuan pembentukan UU ini adalah untuk :
*      Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
*      Mewujudkan iklim usaha kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, menengah, dan kecil.
*      Mencegah praktek monopoli  dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
*      Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
Salah satu ketentuan penting di dalam UU tersebut adalah mengenai penguasaan pasar. Di pasal 19 dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa :
a.     Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama  pada pasar bersangkutan.
b.     Atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

               4.  Distribusi.
Hingga kini jaringan koleksi dan distribusi barang dan jasa perdagangan dalam negeri banyak mengalami hambatan kerena belum terintegrasinya sistem perdagangan di 3 tingkatan pasar (pengumpul, eceran, dan grosir) serta maraknya berbagai pungutan dan peraturan di tingkat daerah akibat penyelelenggaraan otonomi. Malah ini tidak hanya menghambat kelancaran perdagangan antarwilayah, khususnya antar pulau tetapi juga menyababkab berkurangnya daya saing produk dalam negeri untuk dimanfaatkan sebagai bahan antara karena kalah bersaing dengan produk impor sejenis dan berkurangnya daya saing produk untuk ekspor.
Ketidaklancaran distribusi barang dan jasa antarwilayah di dalam negeri selama ini juga disebabkan oleh buruknya infrastuktur, termasuk kurangnya jalan raya dan jalur kereta api yang menghubungkan sentra-sentra produksi dengan pusat-pusat pengadaan bahan baku dan pusat-pusat pasar, dan buruknya pelabuhan-pelabuhan di banyak daerah di Indonesia. Memang ironisnya, bahwa di satu pihak pemerintah Indonesia sudah lama menggemborkan perlunya peningkatan daya saing dan menghilangkan ekonomi biaya tinggi, tetapi di pihak lain hingga saat ini jalan pantura tetap saja kondisinya buruk dan belum ada jalur kereta api yang menghubungkan lapangan terbang besar.

C. INVESTASI RIIL
Dalam kawasan ASEAN, Indonesia masih tertinggal dengan negara-negara utama ASEAN lainnya seperti Malaysia, Thailand dan Singapura khususnya dalam menarik PMA dari luar ASEAN. Ini merupakan masalah serius bagi Indonesia, karena dalam penerapan AFTA Indonesia juga sekarang ini menghadapi tantangan sebagai negara tujuan investasi ASEAN.
Dalam kajian kebijakan investasi riil dibahas 4 isu besar, yakni :
            1)  Kebijakan perbaikan iklim investasi dan UU Penanaman Modal No.25/2007.
Sebenarnya pemerintah telah banyak berupaya meningkatkan investasi riil di Indonesia. Terakhir adalah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi 2008-2009 tertuang dalam Inpres No. 5 2008 tentang Fokus Program Ekonomi 2008-2009. Paket ini memuat berbagai kebijakan ekonomi yang dikelompokkan dalam 8 bidang, yakni kebijakan perbaikan iklim investasi, kebijakan ekonomi makro dan keuangan, kebijakan ketahanan energy, dan kebijakan sumber daya alam, lingkungan, dan pertanian.
Dari program dalam paket kebijakan investasi tersebut, salah satu yang menjadi program adalah pembentukan perusahaan dan izin usaha. Masalah pelayanan perizinan selama beberapa tahun belakang ini sering dikeluhkan oleh pengusaha, karena sebelum dan sesudah otonomi daerah membawa implikasi pada pungutan yang lebih besar dari biaya resmi, sehingga menimbulkan biaya ekonomi tinggi. Untuk menggairahkan kegiatan investasi dan pelayanan investasi, pemerintah menawarkan konsep pelayanan satu atap, dengan dikeluarkannya Keppres No. 29 Tahun 2003. Lahirnya Keppres ini dilatarbelakangi UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
Upaya pemerintah dalam meningkatkan investasi riil di dalam negeri mencapai klimaksnya pada saat UU Penanaman Modal No. 25/2007. Dalam pasal 4-nya pemerintah menetapkan kebijakan dasar penanaman modal untuk :
-           Mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi penanaman modal untuk penguatan daya saing perekonomian nasional.
-           Mempercepat peningkatan penanaman modal.
dalam mengindentifikasi kendala perizinan penanaman modal di Indonesia, ada 3 hal yang perlu dipahami yakni :
a)     izin investasi tidak dapat dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi harus menjadi satu paket dengan izin-izin yang lain secara langsung maupun tidak langsung.
b)     Koordinasi.
c)    ada baiknya pemerintah pusat membantu sungguh-sungguh upaya pemerintah daerah dalam menyederhanakan proses perizinan penanaman modal di daerah.
Semua ini tergantung dari implementasi di lapangan, karena hanya sedikit UU di bidang ekonomi yang dilaksanakan secara sungguh-sungguh. Pada akhirnya ada yang merasa dirugikan ketika UU dilaksanakan.
   
             2)  Daftar negatif investasi (DNI)
Dalam pasal 12 UU PM No.25/2007 disebutkan bahwa :
1.    Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal,kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan.
2.    Bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal asing adalah
*      produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang.
*      Bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang.
3.    Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden menetapkan bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri, dengan berdasarkan kriteria kesehatan, moral, kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan, dan keamanan nasional, serta kepentingan nasional lainnya.
4.    Kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing diatur dengan PP.
5.    Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan Kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan usaha mikro dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha pemerintah.

Aspirasi dari dunia usaha (diwakili oleh KAdin) agar DNI saat ini dapat direvisi dan diharapkan dapat memberikan kejelasan perihal apa saja yang diperbolehkan/diizinkan dan apa saja yang tidak diperbolehkan, termasuk persyaratan-persyaratannya.
Ada 3 persoalan utama yang menjadi keprihatinan dunia usaha yakni :
a)     Adanya gray areas yang sangat membutuhkan kejelasan informasi yang lebih tegas dan jernih. Contohnya dalam DNI terdapat kasus di mana industri yang sama memiliki tingkatan kepemilikan modal asing yang berbeda.
b)     Dunia usaha masih diliputi berbagai pertanyaan berkenaan dengan dasar pemikiran rasional atau filosofi yang melatarbelakangi keputusan penentuan kriteria pada daftar negatif ini.
c)    Ketidakpastian mengenai proses perubahan dan transisi serta bagaimana perubahan DNI ini dapat diaplikasikan di masa depan. Sebagai contoh apa yang terjadi bila perusahaan akan melakukan ekspansi, apakah harus mengikuti peraturan DN yang baru atau mengikuti yang berlaku pada saat perusahaan berdiri?
Memang ironis bahwa di satu sisi pemerintah berusaha meningkatkan investasi termasuk PMA, tapi di satu sisi pemerintah menerapkan DNI, misalnya di sektor pelabuhan. Hingga kini pelabuhan di Indonesia kondisinya masih buruk, namun investor asing tidak bisa masuk karena DNI ini dimana pemerintah membatasi kepemilikan asing hingga 49%.

              3)  Koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
Masalah buruknya koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah terasa semakin parah setelah adanya otonomi daerah. Banyak peraturan pemerintah atau keputusan presiden yang tidak bisa berjalan efektif karena adanya tarik menarik kepentingan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang semuanya merasa paling berkepentingan atas penanaman modal di daerah.
Dalam kebijakan otonomi daerah pemerintah daerah baik tingkat propinsi, kabupaten dan kota diberikan kewenangan dalam bidang penanaman modal. Namun, sejak pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah pusat terpaksa mengeluarkan keppres khusus mengenai penanaman modal karena banyaknya kendala yang dihadapi investor yang ingin membuka usaha di daerah. Khususnya yang berkaitan dengan proses pengurusan izin usaha yang terlalu berbelit-belit yang membutuhkan waktu yang lama dengan biaya yang tidak sedikit.
Buruknya koordinasi daerah antara pusat dan pemerintah daerah berdasarkan pengamatan Astuti dan Astono (2007), pemerintah daerah kerap membuat kebijakan yang menabrak aturan yang telah dibuat. Mereka pula yang memersepsikan setiap kebijakan menjadi berbeda-beda ketika dilaksanakan oleh pengusaha di lapangan.

           4)  Kawasan perdagangan bebas (KPB) dan kawasan ekonomi khusus (KEK)
Dalam era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, membentuk suatu kawasan perdagangan bebas (FTZ) atau kawasan ekonomi khusus (KEK) merupakan salah satu cara untuk meningkatkan ekspor dan investasi. Salah satu FTZ yang sedang dikembangkan oleh pemerintah adalah di kawasan Batam, Bintan dan Karimun yang ditargetkan akan menarik investasi asing 5x lipat dalam 5 tahun ke depan dari 1 miliar dollar AS menjadi minimal 5 miliar dollar AS. Untuk rencana ini 3 keppres telah diterbitkan sekaligus yakni Keppres No.9/2008 tentang Dewan Kawasan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Keppres no.10/2008 tentang Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan, dan Keppres No.11/2008 tentang Dewan Kawasan dan Pelabuhan Bebas Karimun.
Tentunya FTZ tidak hanya merupakan wilayah kebijakan investasi, tetapi wilayah kebijakan PLN. Oleh karena itu dari sisi kebijakan PLN untuk mendukung FTZ tersebut insentif yang akan diberikan antara lain kemudahan transaksi ekspor impor dan mekanisme keluar masuknya barang. Salah satu keunggulan yang dikembangkan KEK adalah adanya 7 zona ekslusif yang dapat dibangun dengan klarifikasinya yakni pengolahan ekspor, techno park, logistik, industri, pariwisata, jasa keuangan, dan olahraga.
Tentu KEK atau FTZ hanya akan berhasil dikembangkan apabila memiliki keunggulan dalam jaringan distribusi global, yang bergantung pada faktor-faktor seperti kualitas SDM, kebijakan makro, kebijakan sektoral dan kebijakan pemerintah.

D.  ARAH KEBIJAKAN
Isu penting terkait dengan PLN, PDN, dan investasi riil sudah tercakup di dalam arah kebijakan yang akan dilakukan pemerintah di 3 bidang tersebut. Namun demikian perlu dipahami bahwa efisiensi dan daya saing yang tinggi saja tidak cukup untuk menjamin kemampuan Indonesia bersaing di pasar domestik maupun pasar global, dalam perdagangan maupun investasi. Upaya serius pemerintah untuk meningkatkan kapasitas produksi nasional belum kelihatan, dan ini merupakan pekerjaan paling penting dari Departemen Perindustrian, Departemen Pertanian, dan Departemen yang menangani kegiatan produksi di sektor-sektor lainnya.
Langkah yang diambil pemerintah tentu saja implementasinya belum tentu bisa dilaksanakan dengan baik, terutama karena 2 hal :
1.    Tidak ada pemahaman yang sama mengenai pentingnya suatu kebijakan antara pembuat kebijakan di tingkat pusat dan pelaksana kebijakan tersebut di lapangan.
2.    Sulit sekali membentuk keharmonisan antardepartemen atau instansi pemerintah terkait dalam implementasi suatu kebijakan.
Berbagai contoh seperti :
*      soal standarisasi dimana aturannya yakni PP No.102/2000 menetapkan aturan standarisasi yang sampai saat ini masih sangat lambat.
*      Soal barang-barang illegal, yang belum bisa diperangi oleh pemerintah.
*      Soal distribusi barang dan jasa di dalam negeri, di mana pemerintah sudah mengambil sejumlah kebijakan untuk menghilangkan distorsi dalam sistem distribusi. Namun hingga saat ini muncul di media massa soal mahalnya biaya distribusi.
*      Soal DNI, dimana di satu sisi pemerintah berusaha meningkatkan investasi PMA tapi di sisi lain pemerintah menerapkan DNI.

Singkat kata arah kebijakan PDN, PLN dan investasi riil harus diarahkan pada 3 sasaran, yakni efisiensi, daya saing dan kemampuan berproduksi.

E.  KEBIJAKAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM KONTEKS PERDAGANGAN DAN INVESTASI
Masalah lingkungan hidup tidak hanya masalah pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup saja, tetapi sudah merupakan bagian integral dari masalah pembangunan. Masalah lingkungan hidup menjadi sesuatu yang lintas sektoral, multi disiplin, dan melibatkan semua lapisan masyarakat, serta sangat terkait dengan masalah-masalah global lainnya, termasuk liberalisasi perdagangan dunia.
Beberapa konferensi/pertemuan negara-negara mengenai lingkungan hidup seperti :
*      Konferensi PBB mengenai lingkungan hidup yang dikenal The United Nations Conference on The Human Environment tahun 1972 di Stockholm Swedia, yang menghasilkan kesepakatan mengenai keterkaitan antara konsep pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup.
*      Di Nairobi tahun 1982 United Nations Environment Program (UNEP) dan World Commission on Environment and Development (WCED), dimana konferensi ini melahirkan pemikiran bahwa pembangunan industri yang tidak terkendali akan mempengaruhi kelangsungan dunia usaha. Sebagai upaya pencegahan pencemaran secara sistematik pada bulan Mei 1989 UNEP memperkenalkan program “Produksi Bersih” yang diajukan secara resmi bulan September 1990 pada seminar mengenai the Promotion of Cleaner Production di Cantebury, Inggris.
*      KTT Bumi tahun 1992 di Rio de Janeiro, membahas tentang kesepakatan hambatan nontariff dalam perdagangan sebagai control terhadap produk ekspor yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup.
*      Komisi Uni Eropa (UE) mulai memberlakukan Eco-Management and Audit Scheme (EMAS) tahun 1993 yang mengembangkan standarisasi pengelolaan lingkungan.
*      Khusus di bidang kehutanan pertemuan ITTO (International Tropical Timber Organization) di Bali tahun 1990, telah dibuat suatu komitmen bagi terlaksananya hutan yang lestari yang harus tercapai paling lambat tahun 2000.
*      International Standardization Organization (ISO) dan International Electrotechnical Commission (IEC) membentuk Strategic Advisory Group on the Environment (SAGE) pada bulan Agustus 1991. SAGE merekomendasikan kepada ISO akan perlunya suatu Technical Committee (TC) yang khusus bertugas untuk mengembangkan suatu seri standar pengelolaan lingkungan yang berlaku secara internasional.

Upaya untuk mengurangi pencemaran lingkungan akibat kegiatan ekonomi, termasuk perdagangan dan investasi, dapat dilakukan dengan 3 pendekatan yaitu :
  1. 1)   Pendekatan regulasi, yakni perintah dan pengawasan oleh pemerintah. Ini merupakan perangkat yang diterapkan oleh pemerintah melalui baku mutu lingkungan dan program lain.
  2. 2) Pendekatan masyarakat (termasuk dunia usaha), yakni melakukan peraturan sendiri. Ini merupakan tindakan proaktif dalam pencegahan pencemaran oleh perusahaan yang membawa keuntungan adanya kelenturan pada perusahaan untuk mengembangkan teknologi yang sesuai dengan kondisi perusahaannya.
  3. 3)    Pendekatan ekonomi yang dapat dilakukan melalui pemberian insentif, disinsentif, dan izin memperdagangkan emisi. Untuk yang terakhir ini, industri diberi hak menggunakan jasa lingkungan untuk membuang limbah; hak ini dapat diperjualbelikan.
  4.  



Komentar

  1. Kira2 prospek koperasi terhadap investasi riil dan kebijakan perdangangan bagaimana ??

    BalasHapus
  2. kak @desiesy mau tanya, untuk pembahasan tentang investasi riil kaka pake buku dari karangannya siapa ka ? mohon bantuannya

    BalasHapus
  3. bku karangan siapa ya??mhon bantuannya

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah : Media Critical Theory

MAKALAH TWITTER

Teori Komunikasi BAB III Tradisi-tradisi Komunikasi (Semiotika, Fenomenologi, Sibernetika, Sosiopsikologi)