Suku Baduy
A.
Latar Belakang Suku Baduy
Suku Baduy merupakan
suku asli yang mendiami tanah Banten.
Suku ini mendiami daerah yang masih jauh dan keramaian disekitar
pegunungan Kendeng di Lebak, Propinsi Banten. Kehidupan
suku baduy masih mempertahankan adat istiadat dan budaya leluhur mereka hingga
saat ini. Suku Baduy termasuk dalam kelompok suku Sunda yang berbahasa Sunda dengan dialek khas Banten.
Ada
dua kelompok suku Baduy yang dibedakan berdasarkan cara hidup dan tempat
tinggal. Hal ini disebabkan banyaknya generasi penerus suku baduy yang ingin
mengikuti perkembangan jaman dan Teknologi.
Kehidupan
suku baduy berdasarkan pembagiannya :
1. Suku Baduy Dalam.
Disebut
suku baduy dalam karena masyarakatnya masih memegang teguh adat istiadat dan
budaya yang telah diwariskan dari leluhur mereka. kehidupan suku baduy dalam
ini masih alami, tidak diperbolehkan mengikuti perkembangan jaman dan
teknologi.
wilayah
suku Baduy dalam masuk kedalam wilayah Kanekes, Lebak Banten. Pakaian yang
dikenakan semuanya berwarna Putih atau biru tua dengan menggunakan ikat
kepalanya yang juga berwarna putih dan pakaian yg dipakai harus merupakan hasil
tenunan buatan sendiri juga dijahit sendiri.
Suku
Baduy dalam ini tidak menggunakan alat-alat elektronik seperti televise dll,
juga tidak boleh menggunakan alas kaki semuanya serba alami dan tidak mengikuti
perkembangan jaman. Kehidupan suku Baduy dalam ini memang masih tradisional dan
mempertahankan tradisi.
2. Suku Baduy Luar.
Kehidupan
suku Baduy luar berbeda jauh dengan kehidupan suku Baduy dalam. Sebab mereka
disebut Baduy luar karena telah keluar dari wilayah asal di Kanekes dan
membentuk kelompok sendiri. Kehidupan suku Baduy luar ini lebih mengikuti
perkembangan jaman dan teknologi.
Masyarakat
baduy luar telah mengenal alat elektronik. Juga telah menggunakan alat
transportasi umum atau kendaraan. Cirri-ciri Baduy luar adalah pakaian yang
dikenakannya berwarna hitam dengan ikat kepala berwarna hitam juga. Pakaian
yang dipakai juga bisa dibeli atau ditenun sendiri. Tidak ada larangan untuk
memakai pakaian model yang lain.
B.
Asal
Usul Suku
Baduy
1. Berasal dari Kerajaan Pajajaran
/ Bogor
Konon
pada sekitar abad ke XI dan XII Kerajaan Pajajaran menguasai seluruh tanah
Pasundan yakni dari Banten, Bogor, priangan samapai ke wilayah Cirebon, pada
waktu itu yang menjadi Rajanya adalah PRABU BRAMAIYA MAISATANDRAMAN dengan
gelar PRABU SILIWANGI.
Kemudian
pada sekitar abad ke XV dengan masuknya ajaran Agama Islam yang dikembangkan
oleh saudagar-saudagar Gujarat dari Saudi Arabia dan Wali Songo dalam hal ini
adalah SUNAN GUNUNG JATI dari Cirebon, dari mulai Pantai Utara sampai ke
selatan daerah Banten, sehingga kekuasaan Raja semakin terjepit dan rapuh
dikarenakan rakyatnya banyak yang memasuki agama Islam. Akhirnya raja beserta
senopati dan para ponggawa yang masih setia meninggalkan keraan masuk hutan
belantara kearah selatan dan mengikuti Hulu sungai, mereka meninggalkan tempat
asalnya dengan tekad seperti yang diucapkan pada pantun upacara Suku Baduy “
Jauh teu puguh nu dijugjug, leumpang teu puguhnu diteang , malipir dina gawir,
nyalindung dina gunung, mending keneh lara jeung wiring tibatan kudu ngayonan
perang jeung paduduluran nu saturunan atawa jeung baraya nu masih keneh sa
wangatua”
2. Berasal dari Banten
Girang/Serang
Menurut
cerita yang menjadi senopati di Banten pada waktu itu adalah putra dari Prabu
Siliwangi yang bernama Prabu Seda dengan gelar Prabu Pucuk Umun setelah Cirebon
dan sekitarnya dikuasai oleh Sunan Gunung Jati, maka beliau mengutus putranya
yang bernama Sultan Hasanudin bersama para prajuritnya untuk mengembangkan
agama Islam di wilayah Banten dan sekitarnya. Sehingga situasi di Banten Prabu
Pucuk Umun bersama para ponggawa dan prajurutnya meninggalkan tahta di Banten
memasuki hutan belantara dan menyelusuri sungai Ciujung sampai ke Hulu sungai ,
maka tempat ini mereka sebut Lembur Singkur Mandala Singkah yang maksudnya
tempat yang sunyi untuk meninggalkan perang dan akhirnya tempat ini disebut
GOA/ Panembahan Arca Domas yang sangat di keramatkan .
3. Berasal dari Suku Pangawinan (
campuran )
Yang
dimaksud suku Pengawinan adalah dari percampuran suku-suku yang pada waktu itu
ada yang berasal dari daerah Sumedang, priangan, Bogor, Cirebon juga dari
Banten. Jadi kebanyakanmereka itu terdiri dari orang-orang yang melangggar adat
sehingga oleh Prabu Siliwangi dan Prabu Pucuk Umun dibuang ke suatu daerah
tertentu. Golongan inipun ikut terdesak oleh perkembangan agama Islam sehingga
kabur terpencar kebeberapa daerah perkampungan tapi ada juga yang kabur kehutan
belantara, sehingga ada yang tinggal di Guradog kecamatan Maja, ada yang terus
menetap di kampong Cisungsang kecamatan Bayah, serta ada yang menetap di
kampung Sobang dan kampong Citujah kecamatan Muncang, maka ditempat-tempat
tersebut di atas masih ada kesamaan cirikhas tersendiri. Adapun sisanya
sebagian lagi mereka terpencar mengikuti/menyusuri sungai Ciberang, Ciujung dan
sungai Cisimeut yang masing-masing menuju ke hulu sungai, dan akhirnya golongan
inilah yang menetap di 27 perkampungan di Baduy Panamping ( Baduy Luar ) desa
Kanekes kecamatan Leuwidamar kabupaten Lebak dengan ciri-cirinya; berpakaian
serba hitam, ikat kepala batik biru tua, boleh bepergian dengan naik kendaraan,
berladang berpindah-pindah, menjadi buruh tani, mudah diajak berbicara tapi
masih tetap terpengaruh adanya hukum adat karena merekan masih harus patuh dan
taat terhadap Hukum adat.
Adapun
sebutan suku Baduy menurut cerita adalah asalnya dari kata Badui, yakni sebutan
dari golongan/ kaum Islam yang maksudnya karena suku itu tidak mau mengikuti
dan taat kepada ajaran agama Islam, sedangkan disaudi Arabia golongan yang
seperti itu disebut Badui maksudnya golongan yang membangkang tidak mau tunduk
dan sulit di atur sehingga dari sebutan Badui inilah menjadi sebutan Suku
Baduy.
C. Kepercayaan
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang
disebut sebagai Sunda Wiwitan, berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang
(animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama
Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya
pikukuhatau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang
Kanekes. Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah
konsep "tanpa perubahan apapun", atau perubahan sesedikit mungkin:
·
Sebagaimana
yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat
Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan
penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan
seperti durian dan asam keranji, serta maduhutan.
·
Masyarakat
Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan merupakan
masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari
perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Bantenyang secara otomatis
memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran
mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes
secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten (Garna, 1993). Sampai
sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa
menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten
(sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang
pertanian, penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar,
misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh.
D. Opinion
Leader Masyarakat Baduy
Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan,
yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya
masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa
sehingga tidak terjadi perbenturan. Secara nasional penduduk Kanekes dipimpin
oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat,
sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu
"puun".
Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah
"puun" yang ada di tigakampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung
turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga
kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan puun tidak ditentukan, hanya berdasarkan
pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.
Pelaksana
sehari-hari pemerintahan adat kapuunan (kepuunan) dilaksanakan oleh jaro, yang
dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan,
dan jaro pamarentah.
·
Jaro
tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan
berbagai macam urusan lainnya.
·
Jaro
dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang
ada di dalam dan di luar Kanekes.
·
Jaro
dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu
disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro dua belas ini disebut sebagai
jaro tanggungan
·
Adapun
jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat
Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa,
carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung (Makmur, 2001).
E. Sistem
Komunikasi dan Hambatannya
Untuk kepentingan
hubungan dengan luar, termasuk hubungan dengan urusan pemerintahan formal, maka
orang Baduy Luar lah yang ditunjuk untuk dijadikan Kepala desa. Kepala Desa
yang disebut Jaro (“Jaro Pamerantah”) ditunjuk dan ditentukan oleh Puun (“Ketua
Adat”). Kepala Desa (“Jaro Pamarentah”) bertugas untuk menampung dan
menyampaikan segala perintah yang diperintahkan pemerintah sejauh tidak
bertentangan dengan adat.
Hubungan diantara sesama masyarakat Baduy itu sendiri
berparas pada adat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka dan dipatuhi baik
oleh masyarakat Baduy Dalam maupun oleh masyarakat Baduy Luar. Didalam Adat
istiadat masyarakat Baduy terdapat beberapa pantangan/tabu (“Buyut”) untuk
berbuat atau melakukan sesuatu Keseluruhan pantangan/tabu (“buyut”) itu
mengatur hubungan-hubungan perilaku orang Baduy baik secara perorangan,
hubungan dengan kelompok masyarakatnya maupun dengan lingkungan alamnya yang
dianggap sebagai tanah titipan dari nenek moyangnya.
Pusat pemerintahan adat terletak di Baduy Dalam, dengan
Puun sebagai pimpinan adatnya. Ada tiga Puun yang memimpin pemerintahan adat di
Desa Kanekes atau Masyarakat Baduy. Ketiga Puun ini tinggal di kampung yang
berbeda. Puun dibantu oleh Girang Seurat yang membidangi masalah keamanan, dan
Jaro Tangtu yang mewakili Puun setiap kampun dan juga berperanan sebagai juru
bicara untuk hubungan-hubungan luar.
Masyarakat Baduy dalam berkomunikasi antar mereka
menggunakan bahasa sunda. Namun demikian sebagian dari mereka sudah mampu berbahasa
Indonesia, terutama ketika berkomunikasi dengan orang luar. Mereka masih
konsisten melestarikan seni dan budaya lokal seperti : musik tradisional,
upacara adat (seba dan seren taon) dalam siklus kehidupan masih dijalankan, dan
dilestarikan secara turun temurun.
Kendati ada banyak hal yang berbeda, kehidupan orang
Badui sangat harmonis dan penuh dengan kedamaian. Pola hidup gotong royong yang
mereka terapkan membuat mereka hidup rukun. Mereka tampaknya sangat ramah,
berbudaya, beradab, bahkan terhadap para wisatawan pun mereka memperlihatkan
sikap ramah. Dalam sejarahnya belum ada orang Badui yang saling perang atau
melakukan tindakan kriminal. Kenyataannya memang demikian, sesama orang Badui
belum pernah terjadi saling membunuh, saling menipu, apalagi dengan orang luar
Badui. Kebersamaan mereka sangatlah kuat. Mereka mengadakan upacara adat secara
bersamaan, menanam padi dan panen bersamaan, serta banyak kegiatan lain yang
memang sudah terjadwal untuk dilaksanakan secara serempak.
F. Interaksi
dengan masyarakat luar
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes
semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, namun
demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa
wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk. Relasi
sosial mereka masih sangat dipengaruhi oleh tradisi yang bersendi nilai-nilai
lama. Kondisi yang sangat berbeda akan kita jumpai dalam masyarakat Sunda yang
telah berada di Kota Bandung yang sudah banyak menerima terpaan media. Relasi
sosial mereka, terutama dengan keluarga dan tetangga, pasti lebih longgar
dibandingkan dengan masyarakat Badui. Bisa jadi mereka tidak akan mengenal
tetangga yang berada di sebelah rumah.Kondisi ini dapat dengan mudah kita jumpai
di berbagai perumahan mewah yang saling teralienasi satu dengan yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Http://pskmp.site88.net/tugas/ep_nini_m1.pdf.
Diakses Selasa 05 Juni 2012, Jam 15.40 WIB
Hhtp://.sukubaduy.wordpress.com/
- 18kmacsman. Diakses Selasa Juni 2012, 15.45 WIB
Hhtp;//wikipedia.org/wiki/Orang_Kanekes
- 37kongserang.Selasa 05 Juni 2012, 15.50 WIB
Hhtp;//.wordpress.com/2008/10/16/suku-baduy-banten/d.
Selasa, 05 Juni 2012, 16.00 WIB
Htp;//wordpress.com/2007/06/20/baduy-buka.
Diakses Minggu, 10 Juni 2012, jam 16.00 WIB
Http://www.bappenas.go.id/pesisir/document/Perda%20Kab.%20Lebak%20No.%2013%20Tahun%201990.pdf. Diakses Minggu, 10 Juni2012,
16.10. WIB
Komentar
Posting Komentar