Sistem Komunikasi Indonesia (6)
Komunikasi di Pedesaan
A.
Desa
Masyarakat pedesaan ditandai dengan
pemilikan ikatan perasaan batin yang kuat sesama warga desa, yaitu perasaan setiap
warga atau anggota masyarakat yang amat kuat yang hakikatnya, bahwa seseorang
merasa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat dimana ia
hidup dicintainya serta mempunyai perasaan bersedia untuk berkorban setiap
waktu demi masyarakatnya atau anggota-anggota masyarakat, karena beranggapan
sama-sama sebagai anggota masyarakat yang saling mencintai saling menghormati,
mempunyai hak tanggungjawab yang sama terhadap keselamatan dan kebahagiaan
bersama didalam masyarakat.
Ciri-ciri masyarakat
pedesaan antara lain adalah sebagai berikut :
1.
Di dalam masyarakat pedesaan diantara warganya
mempunyai hubungan yang lebih mendalam dan erat bila dibandingkan dengan
masyarakat pedesaan lainnya di luar batas-batas wilayahnya.
2.
Sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar
kekeluargaan ( Gemeinschaft atau paguyuban )
3.
Sebagian besar warga masyarakat pedesaan hidup dari
pertanian. Pekerjaan-pekerjaan yang bukan pertanian merupakan pekerjaan
sambilan ( part time ) yang biasanya sebagai pengisi waktu luang.
4.
Masyarakat tersebut homogen, seperti dalam hal mata
pencaharian, agama, adapt istiadat dan sebagainya.
Bentuk komunikasi di pedesaan lebih
cenderung kepada komunikasi antar personal. Yaitu proses pertukaran informasi
di antara seseorang dengan paling kurang seorang lainnya atau biasanya diantara
dua orang yang dapat langsung diketahui balikannya. Dengan bertambahnya orang
yang terlibat dalam komunikasi, menjadi bertambahlah persepsi orang dalam
kejadian komunikasi sehingga bertambah komplekslah komunikasi tersebut. Contoh:
ketika di suatu desa akan diadakan kerjabakti atau gotong royong maka informasi
itu akan cepat tersebar luas melalui satu orang kepada orang yang lainnya
sehingga masyarakat akan turut dalam acara gotong royong tersebut.
Indonesia dengan ciri khasnya
sebagai negara multietnis akan memiliki sistem komunikasi yang beraneka ragam
dalam heterogenitas suku. Sekalipun teknologi komunikasi sudah berembang pesat,
tetapi dengan mayoritas masyarakat Indonesia yang masih tinggal di pedesaan, maka
peran opinion leader masih sangat besar. Jika dihubungkan dengan bahsan
sebelumnya maka opinion leader termasuk sebagai golongan senior. Tidak hanya
terbatas berdasarkan sekup wilayah tetapi dapat berada dalam lingkungan
pergaulan, agama, dsb.
Komunikasi yang terbagi menjadi
empat level jika diamati akan melibatkan peran opinion leader. Pada level
interpersonal, sekalipun sangat terbatas pasti tetap ada yang lebih dominan.
Begitu juga dalam komunikasi kelompok, komunikasi organisasi dan komunikasi massa.
Pada komunikasi massa, opinion
leader secara langsung akan diduduki oleh pelaku komunikasi oganisasi, demikian
juga komunikasi organisasi memiliki opinion leader dari level- level
dibawahnya. Hal yang mendasar yaitu bahwa opinion leader memiliki posisi yang
cukup kuat untuk mempengaruhi khalayak. Kekuatan itu dapat berasal dari factor
budaya, agama atau pengalaman.
B. Orde Lama
Di masa orde lama, peran media
tradisional khususnya seni tradisional memiliki peran penting dalam penyampaian
pesan.
Di berbagai daerah di Indonesia,
media komunikasi tradisional tampil dalam berbagai bentuk dan sifat, sejalan
dengan variasi kebudayaan yang ada di daerah-daerah itu. Misalnya, tudung
sipulung (duduk bersama), ma’bulo sibatang (kumpul bersama dalam sebuah pondok
bambu) di Sulawesi Selatan (Abdul Muis, 1984) dan selapanan (peringatan pada
hari ke-35 kelahiran) di Jawa Tengah, boleh dikemukan sebagai beberapa contoh
media tradisional di kedua daerah ini. Di samping itu, boleh juga ditunjukkan
sebuah instrumen tradisional seperti kentongan yang masih banyak digunakan di
Jawa. Instrumen ini dapat digunakan untuk mengkomunikasikan pesan-pesan yang
mengandung makna yang berbeda, seperti adanya kematian, kecelakaan, kebakaran,
pencurian dan sebagainya, kepada seluruh warga masyarakat desa, jika ia
dibunyikan dengan irama-irama tertentu.
Media tradisional dikenal juga
sebagai media rakyat. Dalam pengertian yang lebih sempit, media ini sering juga
disebut sebagai kesenian rakyat. Dalam hubungan ini Coseteng dan Nemenzo (dalam
Jahi, 1988) mendefinisikan media tradisional sebagai bentuk-bentuk verbal,
gerakan, lisan dan visual yang dikenal atau diakrabi rakyat, diterima oleh
mereka, dan diperdengarkan atau dipertunjukkan oleh dan/atau untuk mereka
dengan maksud menghibur, memaklumkan, menjelaskan, mengajar, dan mendidik.
Sejalan dengan definisi ini, maka
media rakyat tampil dalam bentuk nyayian rakyat, tarian rakyat, musik
instrumental rakyat, drama rakyat, pidato rakyat- yaitu semua kesenian rakyat
apakah berupa produk sastra, visual ataupun pertunjukkan- yang diteruskan dari
generasi ke generasi (Clavel dalam Jahi, 1988).
Nurudin (2004) mengatakan bahwa
membicarakan media tradisional tidak bisa dipisahkan dari seni tradisional,
yakni suatu bentuk kesenian yang digali dari cerita-cerita rakyat dengan
memakai media tradisional. Media tradisional sering disebut sebagai bentuk
folklor. Bentuk-bentuk folklor tersebut antara lain:
1.
Cerita prosa rakyat (mite, legenda, dongeng);
2.
Ungkapan rakyat (peribahasa, pemeo, pepatah);
3.
Puisi rakyat;
4.
Nyayian rakyat;
5.
Teater rakyat;
6.
Gerak isyarat (memicingkan mata tanda cinta);
7.
Alat pengingat (mengirim sisrih berarti meminang); dan
8.
Alat bunyi-bunyian (kentongan, gong, bedug dan
lain-lain).
C. Orde baru
Saat ini media tradisional telah
mengalami transformasi dengan media massa modern. Dengan kata lain, ia tidak
lagi dimunculkan secra apa adanya, melainkan sudah masuk ke media televisi
(transformasi) dengan segala penyesuaiannya. Misal acara seni tradisional
wayang kulit yang disiarkan oleh oleh suatu televisi swasta.
Pada masa silam, media tradisional
pernah menjadi perangkat komunikasi sosial yang penting. Kinipenampilannya
dalam masyarakat telah surut. Di Filipina, Coseteng dan Nemenzo (dalam Jahi,
1988) melaporkan bahwa surutnya penampilan media ini antara lain karena:
1. Diperkenalkannya
media massa dan media hiburan modern seperti media cetak, bioskop, radio, dan
televisi.
2. Penggunaan bahasa
Inggris di sekolah-sekolah, yang mengakibatkan berkurangnya penggunaan dan
penguasaan bahasa pribumi, khususnya Tagalog.
3. Semakin
berkurangnya jumlah orang-orang dari generasi terdahulu yang menaruh minat pada
pengembangan media tradisional ini, dan
4. Berubahnya selera
generasi muda.
Di Indonesia, situasinya kurang
lebih sama. Misalnya, beberapa perkumpulan sandiwara rakyat yang masih hidup di
Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang biasanya mengadakan pertunjukkan keliling di
desa-desa, ternyata kurang mendapat penonton, setelah televisi masuk ke desa.
Hal ini, mencerminkan bahwa persaingan media tradisional dan media modern
menjadi semakin tidak berimbang, terlebih lagi setelah masyarakat desa mulai
mengenal media hiburan modern seperti kaset video.
Pertunjukkan rakyat yang kebanyakan
menggunakan bahasa daerah mulai ditinggalkan orang, terutama setelah banyak warga
masyarakat menguasai bahasa Indonesia. Di pihak lain, jumlah para seniman yang
menciptakan dan memerankan pertunjukkan-pertunjukkan tradisional itupun semakin
berkurang. Generasi baru nampaknya kurang berminat untuk melibatkan diri dalam
pengembangan pertunjukkan tradisional yang semakin kurang mendapat sambutan
khalayak ini.
Surutnya media tradisional ini
dicerminkan pula oleh surutnya perhatian para peneliti komunikasi pada media
tersebut. Schramm dan Robert (dalam Ragnarath, 1976) melaporkan bahwa antara
tahun 1954 dan 1970 lebih banyak hasil penelitian komunikasi yang diterbitkan
dari masa sebelumnya. Akan tetapi dalam laporan-laporan penelitian itu tidak
terdapat media tradisional. Berkurangnya minat masyarakat pada media
tradisional ini ada hubungannya dengan pola pembangunan yang dianut oleh negara
dunia ketiga pada waktu itu. Ideologi modernisasi yang populer saat itu,
mendorong negara-negara tersebut untuk mengikuti juga pola komunikasi yang
dianjurkan. Dalam periode itu kita menyaksikan bahwa tradisi lisan mulai
digantikan oleh media yang berdasarkan teknologi. Sebagai akibatnya, komunikasi
menjadi linear dan satu arah.
Sempat muncul pula Koran masuk Desa
(KMD, Berdasarkan klasifikasi, isi KMD lebih menitikberatkan padainformasi atau
pemberitaan, kemudian menyusul, penerangan,penyuluhan, pendapat umum (public
opinion) dan artikel-artikelyang punya makna sosial budaya dan sosial ekonomi
pedesaan. Pemimpin opini masih memegang peran untuk proses diterimanya pesan
D. Reformasi
Pertunjukkan rakyat yang kebanyakan
menggunakan bahasa daerah mulai ditinggalkan orang, terutama setelah banyak
warga masyarakat menguasai bahasa Indonesia. Di pihak lain, jumlah para seniman
yang menciptakan dan memerankan pertunjukkan-pertunjukkan tradisional itupun
semakin berkurang. Generasi baru nampaknya kurang berminat untuk melibatkan
diri dalam pengembangan pertunjukkan tradisional yang semakin kurang mendapat
sambutan khalayak ini.
Didalam pengembangan sistem
komunikasi yang ada di pedesaan dapat dicontohkan pada usaha penerapan
teknologi Informasi telepon di ribuan Pedesaan di Indonesia. Pemasangan telepon
pedesaan merupakan permintaan dari pemerintah daerah melalui Direktorat
Jenderal Pos dan Telekomunikasi Departemen Kominfo guna memperlancar saluran
komunikasi dengan desa-desa tertinggal.
Skema pembangunan merupakan
penyediaan fasilitas telekomunikasi pedesaan dalam bentuk telepon kumunal
(Wartel). Bagi masyarakat yang menggunakan juga dikenakan biaya, namun tarifnya
tidak sama dengan Wartel pada umumnya. Tarifnya relatif murah, atau disamakan
dengan telepon rumah. Pembangunan telepon pedesaan sebenarnya telah dilakukan
sejak 2003, dengan jumlah jaringan yang dipasang 3.010 unit pada 3.010 desa
yang berada di peloksok dan belum terjangkau askes telepon. Pada 2004,
pemerintah juga membangun jaringan telepon pedesaan sebanyak 2.620 SST pada
2.341 desa. Secara nasional infrastruktur atau jaringan telepon yang telah
terbasang baru 13 juta untuk fixed line atau sekitar enam persen, dan 53 juta
telepon seluler (18 persen).
Guna memperluas jaringan informasi
di tanah air, Departemen Kominfo juga telah merencanakan untuk membangun media
center pedesaan yang akan ditemptkan di daerah-daerah perbatasan, terpencil dan
rawan konflik. Menurut Kepala Biro Perencanaan Departemen Kominfo, Yappi
Manafe, pembangunan media center pedesaan akan dilaksanakan mulai 2008. Untuk
tahap awal akan dibangun pada 20 titik sebagai percontohan. Media center akan dilengkapi dengan
fasilitas internet. Ini sangat penting sebagai wahana untuk berkomunkasi antara
masyarakat di pedesaan dengan pemerintah. Lewat media center itu, masyarakat
juga bisa mengetahui perkembangan yang terjadi di negara ini, bahkan
internaional dengan membuka situs internet yang disediakan. Karena sifatnya
baru percontohan, untuk tahap awal media center hanya akan dibangun pada 20
lokasi, dan lebih diprioritaskan di wilayah perbatasan dan daerah rawan
konflik. Pembangunan telepon pedesaan dan media center itu, sangat dibutuhkan
untuk memperlancar komunikasi. Di zaman modern saat ini peranan komunikasi
dalam kehidupan sangat dibutuhkan.
Mayoritas masyarakat hingga tingkat
pedesaan sudah banyak yang melek media bahkan internet, program kemenkominfo,
internet masuk kecamatan.
Peran Pemimpin opini lebih pada
penterjemahan pesan.dan Kalangan muda lebih banyak memiliki akses untuk
mendapatkan informasi
E. Kampung Dunia
Pertumbuhan pemakaian internet di
Indonesia cukup tinggi. Hal serupa juga terjadi pertumbuhan pesat pada pemakian
HP (hand phone) yang semakin memberikan layanan lebih (smart phone)tidak hanya
pada fungsi telepon dan penyampaian pesan pendek.
Akses internet tidak lagi hanya dari
komputer di rumah atau internet, namun sudah mulai di berbagai tempat seiring
dengan ketersediaan jaringan komunikasi. Bahkan sebentar lagi muncul smart
televisi di era siaran digital.
A.
Desa
Masyarakat pedesaan ditandai dengan
pemilikan ikatan perasaan batin yang kuat sesama warga desa, yaitu perasaan setiap
warga atau anggota masyarakat yang amat kuat yang hakikatnya, bahwa seseorang
merasa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat dimana ia
hidup dicintainya serta mempunyai perasaan bersedia untuk berkorban setiap
waktu demi masyarakatnya atau anggota-anggota masyarakat, karena beranggapan
sama-sama sebagai anggota masyarakat yang saling mencintai saling menghormati,
mempunyai hak tanggungjawab yang sama terhadap keselamatan dan kebahagiaan
bersama didalam masyarakat.
Ciri-ciri masyarakat
pedesaan antara lain adalah sebagai berikut :
1.
Di dalam masyarakat pedesaan diantara warganya
mempunyai hubungan yang lebih mendalam dan erat bila dibandingkan dengan
masyarakat pedesaan lainnya di luar batas-batas wilayahnya.
2.
Sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar
kekeluargaan ( Gemeinschaft atau paguyuban )
3.
Sebagian besar warga masyarakat pedesaan hidup dari
pertanian. Pekerjaan-pekerjaan yang bukan pertanian merupakan pekerjaan
sambilan ( part time ) yang biasanya sebagai pengisi waktu luang.
4.
Masyarakat tersebut homogen, seperti dalam hal mata
pencaharian, agama, adapt istiadat dan sebagainya.
Bentuk komunikasi di pedesaan lebih
cenderung kepada komunikasi antar personal. Yaitu proses pertukaran informasi
di antara seseorang dengan paling kurang seorang lainnya atau biasanya diantara
dua orang yang dapat langsung diketahui balikannya. Dengan bertambahnya orang
yang terlibat dalam komunikasi, menjadi bertambahlah persepsi orang dalam
kejadian komunikasi sehingga bertambah komplekslah komunikasi tersebut. Contoh:
ketika di suatu desa akan diadakan kerjabakti atau gotong royong maka informasi
itu akan cepat tersebar luas melalui satu orang kepada orang yang lainnya
sehingga masyarakat akan turut dalam acara gotong royong tersebut.
Indonesia dengan ciri khasnya
sebagai negara multietnis akan memiliki sistem komunikasi yang beraneka ragam
dalam heterogenitas suku. Sekalipun teknologi komunikasi sudah berembang pesat,
tetapi dengan mayoritas masyarakat Indonesia yang masih tinggal di pedesaan, maka
peran opinion leader masih sangat besar. Jika dihubungkan dengan bahsan
sebelumnya maka opinion leader termasuk sebagai golongan senior. Tidak hanya
terbatas berdasarkan sekup wilayah tetapi dapat berada dalam lingkungan
pergaulan, agama, dsb.
Komunikasi yang terbagi menjadi
empat level jika diamati akan melibatkan peran opinion leader. Pada level
interpersonal, sekalipun sangat terbatas pasti tetap ada yang lebih dominan.
Begitu juga dalam komunikasi kelompok, komunikasi organisasi dan komunikasi massa.
Pada komunikasi massa, opinion
leader secara langsung akan diduduki oleh pelaku komunikasi oganisasi, demikian
juga komunikasi organisasi memiliki opinion leader dari level- level
dibawahnya. Hal yang mendasar yaitu bahwa opinion leader memiliki posisi yang
cukup kuat untuk mempengaruhi khalayak. Kekuatan itu dapat berasal dari factor
budaya, agama atau pengalaman.
B. Orde Lama
Di masa orde lama, peran media
tradisional khususnya seni tradisional memiliki peran penting dalam penyampaian
pesan.
Di berbagai daerah di Indonesia,
media komunikasi tradisional tampil dalam berbagai bentuk dan sifat, sejalan
dengan variasi kebudayaan yang ada di daerah-daerah itu. Misalnya, tudung
sipulung (duduk bersama), ma’bulo sibatang (kumpul bersama dalam sebuah pondok
bambu) di Sulawesi Selatan (Abdul Muis, 1984) dan selapanan (peringatan pada
hari ke-35 kelahiran) di Jawa Tengah, boleh dikemukan sebagai beberapa contoh
media tradisional di kedua daerah ini. Di samping itu, boleh juga ditunjukkan
sebuah instrumen tradisional seperti kentongan yang masih banyak digunakan di
Jawa. Instrumen ini dapat digunakan untuk mengkomunikasikan pesan-pesan yang
mengandung makna yang berbeda, seperti adanya kematian, kecelakaan, kebakaran,
pencurian dan sebagainya, kepada seluruh warga masyarakat desa, jika ia
dibunyikan dengan irama-irama tertentu.
Media tradisional dikenal juga
sebagai media rakyat. Dalam pengertian yang lebih sempit, media ini sering juga
disebut sebagai kesenian rakyat. Dalam hubungan ini Coseteng dan Nemenzo (dalam
Jahi, 1988) mendefinisikan media tradisional sebagai bentuk-bentuk verbal,
gerakan, lisan dan visual yang dikenal atau diakrabi rakyat, diterima oleh
mereka, dan diperdengarkan atau dipertunjukkan oleh dan/atau untuk mereka
dengan maksud menghibur, memaklumkan, menjelaskan, mengajar, dan mendidik.
Sejalan dengan definisi ini, maka
media rakyat tampil dalam bentuk nyayian rakyat, tarian rakyat, musik
instrumental rakyat, drama rakyat, pidato rakyat- yaitu semua kesenian rakyat
apakah berupa produk sastra, visual ataupun pertunjukkan- yang diteruskan dari
generasi ke generasi (Clavel dalam Jahi, 1988).
Nurudin (2004) mengatakan bahwa
membicarakan media tradisional tidak bisa dipisahkan dari seni tradisional,
yakni suatu bentuk kesenian yang digali dari cerita-cerita rakyat dengan
memakai media tradisional. Media tradisional sering disebut sebagai bentuk
folklor. Bentuk-bentuk folklor tersebut antara lain:
1.
Cerita prosa rakyat (mite, legenda, dongeng);
2.
Ungkapan rakyat (peribahasa, pemeo, pepatah);
3.
Puisi rakyat;
4.
Nyayian rakyat;
5.
Teater rakyat;
6.
Gerak isyarat (memicingkan mata tanda cinta);
7.
Alat pengingat (mengirim sisrih berarti meminang); dan
8.
Alat bunyi-bunyian (kentongan, gong, bedug dan
lain-lain).
C. Orde baru
Saat ini media tradisional telah
mengalami transformasi dengan media massa modern. Dengan kata lain, ia tidak
lagi dimunculkan secra apa adanya, melainkan sudah masuk ke media televisi
(transformasi) dengan segala penyesuaiannya. Misal acara seni tradisional
wayang kulit yang disiarkan oleh oleh suatu televisi swasta.
Pada masa silam, media tradisional
pernah menjadi perangkat komunikasi sosial yang penting. Kinipenampilannya
dalam masyarakat telah surut. Di Filipina, Coseteng dan Nemenzo (dalam Jahi,
1988) melaporkan bahwa surutnya penampilan media ini antara lain karena:
1. Diperkenalkannya
media massa dan media hiburan modern seperti media cetak, bioskop, radio, dan
televisi.
2. Penggunaan bahasa
Inggris di sekolah-sekolah, yang mengakibatkan berkurangnya penggunaan dan
penguasaan bahasa pribumi, khususnya Tagalog.
3. Semakin
berkurangnya jumlah orang-orang dari generasi terdahulu yang menaruh minat pada
pengembangan media tradisional ini, dan
4. Berubahnya selera
generasi muda.
Di Indonesia, situasinya kurang
lebih sama. Misalnya, beberapa perkumpulan sandiwara rakyat yang masih hidup di
Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang biasanya mengadakan pertunjukkan keliling di
desa-desa, ternyata kurang mendapat penonton, setelah televisi masuk ke desa.
Hal ini, mencerminkan bahwa persaingan media tradisional dan media modern
menjadi semakin tidak berimbang, terlebih lagi setelah masyarakat desa mulai
mengenal media hiburan modern seperti kaset video.
Pertunjukkan rakyat yang kebanyakan
menggunakan bahasa daerah mulai ditinggalkan orang, terutama setelah banyak warga
masyarakat menguasai bahasa Indonesia. Di pihak lain, jumlah para seniman yang
menciptakan dan memerankan pertunjukkan-pertunjukkan tradisional itupun semakin
berkurang. Generasi baru nampaknya kurang berminat untuk melibatkan diri dalam
pengembangan pertunjukkan tradisional yang semakin kurang mendapat sambutan
khalayak ini.
Surutnya media tradisional ini
dicerminkan pula oleh surutnya perhatian para peneliti komunikasi pada media
tersebut. Schramm dan Robert (dalam Ragnarath, 1976) melaporkan bahwa antara
tahun 1954 dan 1970 lebih banyak hasil penelitian komunikasi yang diterbitkan
dari masa sebelumnya. Akan tetapi dalam laporan-laporan penelitian itu tidak
terdapat media tradisional. Berkurangnya minat masyarakat pada media
tradisional ini ada hubungannya dengan pola pembangunan yang dianut oleh negara
dunia ketiga pada waktu itu. Ideologi modernisasi yang populer saat itu,
mendorong negara-negara tersebut untuk mengikuti juga pola komunikasi yang
dianjurkan. Dalam periode itu kita menyaksikan bahwa tradisi lisan mulai
digantikan oleh media yang berdasarkan teknologi. Sebagai akibatnya, komunikasi
menjadi linear dan satu arah.
Sempat muncul pula Koran masuk Desa
(KMD, Berdasarkan klasifikasi, isi KMD lebih menitikberatkan padainformasi atau
pemberitaan, kemudian menyusul, penerangan,penyuluhan, pendapat umum (public
opinion) dan artikel-artikelyang punya makna sosial budaya dan sosial ekonomi
pedesaan. Pemimpin opini masih memegang peran untuk proses diterimanya pesan
D. Reformasi
Pertunjukkan rakyat yang kebanyakan
menggunakan bahasa daerah mulai ditinggalkan orang, terutama setelah banyak
warga masyarakat menguasai bahasa Indonesia. Di pihak lain, jumlah para seniman
yang menciptakan dan memerankan pertunjukkan-pertunjukkan tradisional itupun
semakin berkurang. Generasi baru nampaknya kurang berminat untuk melibatkan
diri dalam pengembangan pertunjukkan tradisional yang semakin kurang mendapat
sambutan khalayak ini.
Didalam pengembangan sistem
komunikasi yang ada di pedesaan dapat dicontohkan pada usaha penerapan
teknologi Informasi telepon di ribuan Pedesaan di Indonesia. Pemasangan telepon
pedesaan merupakan permintaan dari pemerintah daerah melalui Direktorat
Jenderal Pos dan Telekomunikasi Departemen Kominfo guna memperlancar saluran
komunikasi dengan desa-desa tertinggal.
Skema pembangunan merupakan
penyediaan fasilitas telekomunikasi pedesaan dalam bentuk telepon kumunal
(Wartel). Bagi masyarakat yang menggunakan juga dikenakan biaya, namun tarifnya
tidak sama dengan Wartel pada umumnya. Tarifnya relatif murah, atau disamakan
dengan telepon rumah. Pembangunan telepon pedesaan sebenarnya telah dilakukan
sejak 2003, dengan jumlah jaringan yang dipasang 3.010 unit pada 3.010 desa
yang berada di peloksok dan belum terjangkau askes telepon. Pada 2004,
pemerintah juga membangun jaringan telepon pedesaan sebanyak 2.620 SST pada
2.341 desa. Secara nasional infrastruktur atau jaringan telepon yang telah
terbasang baru 13 juta untuk fixed line atau sekitar enam persen, dan 53 juta
telepon seluler (18 persen).
Guna memperluas jaringan informasi
di tanah air, Departemen Kominfo juga telah merencanakan untuk membangun media
center pedesaan yang akan ditemptkan di daerah-daerah perbatasan, terpencil dan
rawan konflik. Menurut Kepala Biro Perencanaan Departemen Kominfo, Yappi
Manafe, pembangunan media center pedesaan akan dilaksanakan mulai 2008. Untuk
tahap awal akan dibangun pada 20 titik sebagai percontohan. Media center akan dilengkapi dengan
fasilitas internet. Ini sangat penting sebagai wahana untuk berkomunkasi antara
masyarakat di pedesaan dengan pemerintah. Lewat media center itu, masyarakat
juga bisa mengetahui perkembangan yang terjadi di negara ini, bahkan
internaional dengan membuka situs internet yang disediakan. Karena sifatnya
baru percontohan, untuk tahap awal media center hanya akan dibangun pada 20
lokasi, dan lebih diprioritaskan di wilayah perbatasan dan daerah rawan
konflik. Pembangunan telepon pedesaan dan media center itu, sangat dibutuhkan
untuk memperlancar komunikasi. Di zaman modern saat ini peranan komunikasi
dalam kehidupan sangat dibutuhkan.
Mayoritas masyarakat hingga tingkat
pedesaan sudah banyak yang melek media bahkan internet, program kemenkominfo,
internet masuk kecamatan.
Peran Pemimpin opini lebih pada
penterjemahan pesan.dan Kalangan muda lebih banyak memiliki akses untuk
mendapatkan informasi
E. Kampung Dunia
Pertumbuhan pemakaian internet di
Indonesia cukup tinggi. Hal serupa juga terjadi pertumbuhan pesat pada pemakian
HP (hand phone) yang semakin memberikan layanan lebih (smart phone)tidak hanya
pada fungsi telepon dan penyampaian pesan pendek.
Akses internet tidak lagi hanya dari
komputer di rumah atau internet, namun sudah mulai di berbagai tempat seiring
dengan ketersediaan jaringan komunikasi. Bahkan sebentar lagi muncul smart
televisi di era siaran digital.
Komentar
Posting Komentar