Esai Politik : PILKADA Banten 2012 Dinilai Terburuk Se-Indonesia
Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan. Sehingga demokrasi dapat diartikan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi di negara Indonesia bersumberkan dari Pancasila dan UUD ’45 sehingga sering disebut dengan demokrasi pancasila. Demokrasi Pancasila berintikan musyawarah untuk mencapai mufakat, dengan berpangkal tolak pada faham kekeluargaan dan kegotongroyongan. Namun bila dilihat dari pesta demokrasi untuk pemilihan Gubernur dan wakil gubernur Banten 2012-2017 kemarin tampaknya tak sejalan dengan paham demokrasi itu sendiri. Pada Pilkada Gubernur Banten 2012-2017 kemarin, sarat akan diwarnai kecurangan dan praktik politik uang secara sistematis, terstruktur dan masif. Bahkan menurut Pengamat politik asal Tangerang Selatan, Burhanudin Muhtadi, menilai pemilihan kepala daerah Banten paling buruk di Indonesia.
I. Kekuatan incumbent
“Teruskan Pembangunan, Bersatu Membangun Banten”, itulah slogan kampaye Ratu Atut Chosiyah dan Rano Karno yang saat ini sudah resmi menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Banten peroide 2012-2017. Namun dibalik kemenangannya ini, banyak temuan bukti kecurangannya saat PILKADA Gubernur kemarin. Ratu Atut Chosiyah yang sebelumnya juga Gubernur Provinsi Banten incumbent, kemudian pasangannya Rano Karno masih sebagai Wakil Bupati Tangerang incumbent. Disebut-sebut menyalah gunakan jabatannya terutama menjelang dan disaat pelaksanaan Pilkada. Selain pasangan tersebut masih ada lawan politiknya di Pilkada, Calon Gubernur Banten Wahidin Halim yang merupakan Walikota Tangerang incumbent.
Adanya incumbent dalam PILKADA dinilai sebuah titik rawan yang bisa disalahgunakan. Berbagai kampanye gelap dan money politic kerap terjadi. Bahkan, terkadang kunjungan ke daerah-daerah tertentu dimanfaatkan sebagai ajang pengenalan kepada masyarakat bahwa mereka akan kembali mencalonkan diri sebagai pemimpin.
Ketentuan dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menegaskan bahwa kepala daerah yang mencalonkan kembali harus mengambil cuti ketika melakukan kampanye. Sebagaimana diketahui, waktu kampanye pilkada adalah empat belas hari. Lazimnya, kepala daerah hanya mengambil cuti pada hari-hari tertentu saja untuk kegiatan kampanye. Dengan waktu cuti yang relatif pendek, maka calon incumbent mempunyai kedudukan yang sama dengan kandidat lain pada umumnya.
Karena incumbent masih memiliki pengaruh kuat dalam pemerintahan daerah, maka aparat pemerintah daerah pun memberikan dukungan secara terselubung. Dengan mengerahkan kekuatan untuk memengaruhi rakyat, melalui imbauan partisipasi maupun mobilisasi, bukan hal yang aneh jika di berbagai pilkada, incumbent mampu mempertahankan kekuasaannya.
Bukan hanya uang. Terkadang ada yang mengubahnya menjadi sembako atau barang. Jadi saat kunjungan tiba-tiba adanya pembagian, seperti makanan, kipas ataupun alat tulis yang dicantumkan ama dan foto pejabat tersebut.
kekuatan pengusung incumbent kerap menebar pesan tentang kehati-hatian dalam melakukan perubahan. Bahwa mencegah kerugian harus lebih diutamakan ketimbang mengejar keuntungan. Maksudnya jelas, daripada memilih pemimpin yang belum pasti kapasitasnya, mempertahankan pemimpin yang sudah jelas rekam jejak pengalamannya harus lebih diutamakan, meski prestasinya terbilang biasa-biasa saja.
II. Runtuhnya Birokrasi
Birokrasi terdiri dari orang-orang yang diangkat oleh eksekutif, dan posisi mereka ini 'datang dan pergi. mungkin karena hal tersebut membuat banyak orang melakukan segala cara agar disukai oleh atasannya sehingga dapat menempati posisi strategis. Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai unsur aparatur negara yang seharusnya netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik, kini tak jarang ada dibalik tim sukses suatu calon kekuasaan incabent yang kembali mencalonkan diri dalam Pilkada dengan janji yang menggiurkan.
Salah satu faktor yang membuat PNS menjadi kekuatan dan harapan bala bantuan pelaksanaan Pilkada adalah karena jumlahnya yang banyak, Tingkat pendidikan dan pengetahuan mereka memadai serta jaringan yang tersebar di seluruh pelosok desa, maka patut diperhitungkan untuk memanfaatkan sumber daya PNS dalam menyukseskan Pilkada.
Contoh kasus kecurangan pada birokrasi saat Pilkada Banten kemarin dari kelompok calon Ratu Atut Chosiah dan Rano Karno yaitu beredarnya Video disebuah situs yang memperlihatkan seorang Kepala Badan Pertahanan Pangan Pemprov. Banten yakni Ibu Eneng Nurcahyati. Didalam video tersebut beliau menghimbau bawahannya didalam rapat untuk mendukung bahkan memenangkan Ratu Atut Chosiyah sebagai tugas yang mulia. Dari video tersebut dapat dipastikan sistem tersebut dilakukan secara sistematis didalam tubuh pemerinthan Pemrov. Banten. Masih didalam video tersebut Eneng Nurcahyati menghimbau para bawahannya untuk meneruskan pesannya kepada pegawai-pegawai lain yang ada di badan pimpinannya seperti perkumpulan petani-petani di desa-desa.
Bila dilihat dari kasus tersebut, itu sangatlah melanggar ketentuan netralisasi PNS. Bahkan Eneng Nurcahyati yang wajahnya sudah tersebar bersamaan dengan video tersebut, kini masih menduduki posisinya yang sama yaitu, kepala Badan Pertahanan Pangan Pemprov. Banten, tanpa menerima hukuman apapun. Hal ini sangat tidak sesuai dengan Sebagaimana diketahui dalam Pasal ayat (1) Undang-Undang No.43 Tahun 1999 bahwa Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan pada masyarakat secaraprofesional,jujur,adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara,pemerintahan dan pembangunan.Kemudian di Pasal 3 ayat (2) dijelaskan bahwa dalam kedudukan dan tugas yang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pegawai Negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan pada masyarakat. Kemudian Pasal 3 ayat (3) menegaskan bahwa untuk menjamin netralitas Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud ayat (2), Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.
Untuk menjaga netralitas birokrasi dalam pilkada mendatang, tampaknya diperlukan satu UU/PP Etika Pemerintahan yang secara rinci mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh PNS dan birokrasi dalam pemilu dan pilkada. Di samping itu harus tertera secara jelas hukumannya apa bagi si pelanggar dan lembaga mana yang akan menegakkan sanksi/hukuman pelanggaran netralitas birokrasi. Begitu juga wewenang mutasi jabatan, rekruitmen PNS pasca Pilkada, sebaiknya harus menlalui Dewan Pertimbangan Karir dan Jabatan bukan lagi wewenang kandidat terpilih. Kepala daerah fungsinya menentukan formulasi dan arah kebijakan. Sedangkan proses pelaksananya dilakukan oleh birokrat karir yang profesional dan terdidik di bidangnya. Agar ada kepastian karir dalam tubuh birokrasi, tidak jatuh bangun seirama naik-turunnya pejabat politik dari satu pilkada ke pilkada berikutnya.
III. Pilkada Terburuk Seindonesia
Pilkada Gubernur yang seharusnya sesuai prinsip-prinsip Pilkada secara langsung, umum, bebas, rahasia dan jujur adil. Di Provinsi Banten diwarnai dengan banyak kecurangan. KPU Banten menetapkan Atut Chosiyah dan Rano Karno sebagai pasangan terpilih gubernur dan wakil gubernur Banten periode 2012 sampai 2017 Dengan Rekapitulasi. R Ratu Atut Chosiyah dan Rano Karno meraih 2.136.035 suara atau 49,64 persen, Minggu, 30 Oktober 2011.
Calon kepala daerah yang kalah merasa ada keganjilan dalam rekapitulasi suara dan penetapan calon terpilih oleh karena mereka melakukan gugatan kepada Makamah Konstitusi, diantaranya pasangan Wahidin Halim dan Irna Narulita dan Jazuli Juwaini dan Makmun Muzakki serta calon yang sempat maju namun tak lolos verifikasi Dwi Jatmiko dan Tjejep Mulyadinata juga ikut melakukan gugatan. Namun hasil Sidang memutuskan gugatan ditolak. Dan Atut Chosiyah dan Rano Karno sah memenangkan PilkadaGubernur Banten.
Walaupun gugatan resmi ditolak, namun masih ada tanda tanya besar mengenai kecurangan yang telah terjadi dilapangan, seperti terampasnya hak pilih warga, manipulasi formulir C1 dengan tidak ada kolom tanda tangan saksi, softwere penggelembungan suara sampai mobilisasi PNS.
Menurut Burhanudin Muhtadi, Pengamat politik asal Tangerang Selatan, Pilkada Banten ini sebagai potret paling buruk penyelenggaraan pilkada se-Indonesia, sarat money politic, baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Tempo.co (27/10/2011).
Adapun dalam masalah Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang mengatur akan tata Pemerintahan Daerah (PEMDA) dalam mengatur pemerintahan sendiri terutama dalam hal Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA). Undang-undang ini sesuai dengan UUD 1945 yang ada pada UUD 1945 perubahan pertama yaitu Pasal 22E UUD 1945. Yaitu bahwa Pemilihan Kepala Daerah baik untuk tingkatan Gubernur, Bupati, Walikota serta para wakilnya di tentukan oleh adanya pemilihan secara langsung oleh rakyat yang berasaskan pada langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (Jimlie Ashshiqie, 2006, hal:792).
Bukti kegagalan Pilkada adalah lemah dan tidak demokratisnya para pemimpin politik maupun pemerintahan yang dihasilkan melalui berbagai mekanisme demokrasi. Kegagalan merupakan akumulasi dari rumitnya masalah masyarakat, bangsa, dan negara.
IV. Belajar Menerima Keputusan
Masyarakat Banten harus bisa menunjukan kedewasaan berdemokrasi dengan menerima dan mendukung apapun keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait yang memutuskan Pasangan Ratu Atut Chosiah dan Rano Karno tidak terbukti melakukan kecurangan dan sah memenangkan Pilkada Gubernur dan wakil gubernur Banten 2012-2017.
Banyak kalangan, apalagi pendukung yang bukan memilih pasangan Atut dan Rano merasa kecewa. Bila Lihat dari kepemimpinannya diperiode sebelumnya Ratu Atut Chosiah tidak memiliki kenerja yang luar bisa. Bahkan sarat akan adanya isu korupsi yang mengalir kepada kantong pribadinya serta keluarga besarnya dan nepotisme yang membuat keluarga besarnya memiliki kedudukan penting di pemerintahan. Seperti adik kandungnya Ratu Tatu Chasanah, Wakil Bupati Serang Incumben, adik tirinya Tb. Hairul Jaman, Walikota Serang Incumbent, adik iparnya Airin Rachmi Diani, Walikota Tangerang selatan Incumbent, ibu tirinya Heryani, Wakil Bupati Pandeglang Incumbent dan masih banyak lagi. Inilah yang disebut-sebut sebagai politik dinasti, kekuasaan yang dipimpin oleh satu keluarga.
Politik dinasti menjadi gejala umum dalam pemilihan kepala daerah di berbagai wilayah. Para kandidat pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah memiliki hubungan keluarga dan mereka pun bersaing untuk meraih dukungan masyarakat.
Memang, dalam aspek prosedural tidak ada yang salah. Namun, jika dicermati, ada persoalan serius menyangkut kegagalan kaderisasi partai politik, yang dipicu oleh keterlibatan incumbent dalam pilkada. Pasalnya, partai politik sebagai pemegang kendali utama dalam penetapan kepala daerah, ternyata tidak mampu menghasilkan regenerasi kepemimpinan secara profesional.
Partisipasi politik masyarakat sangatlah penting guna keberlangsungan demokrasi di Negara ini. Serta juga memberikan sebuah pencerahan bagi masyarakat umum bagaimana partisipasi tersebut jangan salah digunakan dalam pemilihan umum. Dalam hal ini yaitu dengan adanya sistem yang bernama politik uang yang (Money Politics) yang memberikan gambaran buruk bagi kesejahteraan demokrasi di Indonesia. Dan juga bagi masyarakat umum sepatutnyalah untuk lebih cerdas dalam menanggapi semua iming-iming dan janji-janji yang diberikan oleh para calon kandidat Pilkada dalam kampanye-nya. Dan juga lebih selektif dalam memilih apa yang sesuai dengan hati nurani.
Namun terlepas dari adanya masalah tersebut masyarakat harus tetap membantu pemerintah untuk menjalankan roda demokrasi dan sebagai alat pemantau pekerjaan pemerintah. Sikap masyarakat tersebut untuk membuktikan bahwa, masyarakat Banten adalah masyarakat demokratis yang taat asas dan konstitusional.
Daftar Pustaka
Rozi, Syafuan. Netralitas Birokrasi dalam Pilkada Langsung di Indonesia 2005 (Studi kasus Malang, Gowa dan Kutai Kartanegara). Jakarta: LIPI Press, 2006.
Harry Susanto, Eko. http://fikomuntar.blogspot.com/2010/06/memangkas-politik-dinasti-pilkada.html, Diakses tanggal 22 Januari 2012, pukul 17.00 WIB.
Cipta, Ayu. Tempo.co: Pilkada Banten Dinilai Terburuk Se-indonesia. Edisi Kamis, 27 Oktober 2011, pukul 17.37 WIB.
Budiarjo, Prof. Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Komentar
Posting Komentar