Resensi Buku Dahlan Iskan - Dua Tangis dan Ribuan Tawa


Resensi kali ini sebenarnya untuk tugas mata kuliah Kepemimpinan, yang tugasnya mencari tokoh kepemimpian melalui resensi buku. tanpa pikir panjang lagi saya langsung mengajukan tokoh Dahlan Iskan, yang padahal saya belum tau apakah ada buku mengenai kepemimpinannya. saya mulai tertarik dengan sosok beliau saat beliau banyak diberitakan berani mengambil keputusan yang berani saat masih menjadi CEO PLN. kemudian saat baru-baru dilantiknya beliau sebagi menteri BUMN, Dosen Ekonomi saya sampai bilang "mulai ada harapan nih kita akan kementrian BUMN, karena Pak Dis yang mimpin sekarang". ditambah lagi kala sudah menjadi Mentri BUMN beliau menunjukan kepemimpinan yang luar biasa, karena berani mengambil sikap saat terdapat antrian panjang di Tol Semanggi yang lebih dari 30 mobil, beliau langsung turun dari mobilnya melupakan jabatan birokratnya, melihat Loket Tol kosong/tanpa petugas, beliau langsung berinisiatif membuka palang pintu Tol dan membebaskan lebih dari 100 mobil yang melintas. Peristiwa ini bukan tanpa sebab, karena sebelumnaya beliau sudah memberi waktu 3 bulan kepada pihak Jasa Marga untuk mengurangi kemacetan di pintu Tol, Max. mobil yang antri hanya 10 mobil. Ada pepatah bilang "Untung menjadi pemimpin tidak perlu berteriak, cukup menggulung lengan baju dan bertindak" .Itulah salah satu gambaran kepemimpinan Dahlan Iskan.



                                       Judul              : Dua Tangis dan Ribuan Tawa
                                       Penulis          : Dahlan Iskan
                                       Penerbit         : Elex Media Komputindo
                                       Tahun             : 2011
                                       Halaman        : 350 lembar
                                       ISBN               : 978-602-00-1181-3

            PLN yang byarpet (pemadaman listrik bergilir). Namun semenjak kedatangan seorang Dahlan Iskan sebagai Jenderal yang memegang komando tertinggi di PLN, maka perusahaan BUMN yang satu ini ternyata mampu berubah. Seorang Pak Dis (sapaan khas Dahlan Iskan) mampu memanfaatkan secara optimal potensi-potensi SDM. Yang dimaksud beliau luar biasa adalah untuk bekerja lebih giat, keras hingga ke titik limit yang mereka punya dan ternyata bisa. Bayangkan kurang dari dua tahun, musuh-musuh besar PLN mampu dihadapi.
            Sebulan sekali, CEO PLN menulis surat kepada seluruh kar¬yawan PLN. Inilah cara Dahlan Iskan untuk memotivasi dan berkomunikasi langsung dengan seluruh karyawannya. Surat itu diberi nama CEO’s Note. Tujuannya, seluruh karyawan PLN yang lebih dari 50.000 orang itu bisa langsung membaca jalan pikiran dan keinginan pimpinan puncak perusahaan. Setiap kali CEO’s Note terbit, banyak tanggapan dari karyawan melalui forum e-mail perusahaan.
            Buku “Dua Tangis dan Ribuan Tawa” ini jenis bacaan yang mengalir. Itulah kepiawaian dan kekuatan seorang Pak Dis dalam menulis, yang memiliki riwayat kewartawanan yang panjang. Beliau menyatakan, dalam setiap tulisannya, ia hindari gaya khotbah atau pidato. “Saya lebih banyak menggunakan gaya bercerita sebagaimana wartawan menulis reportase,” katanya. Dalam tulisan itu ia menuangkan pikiran-pikiran dan pengalaman hariannya. Kadang bernada curhat, namun bukan berkeluh kesah. Kadang ia terlihat jengkel, tapi bukan berarti ia marah. Seringkali terlihat banyak keinginannya yang ia lontarkan namun bukan perintah. Dan di tulisan ini, banyak berserak pandangannya tentang suatu hal, walau ia enggan menyebutnya sebagai pengarahan.Dalam berbagai tulisan, berbagai isu ia sodorkan dengan gamblang.
            Beliau yang berlatar belakang wartawan membuatnya selalu berpikir logis, mampu menyimplikasikan persoalan yang penting dan kurang penting. Dan setelah berhenti menjadi wartawan beliau menjadi orang bisnis yang juga mengajarkannya banyak hal seprti: kecepatan mengambil keputusasn, menghitung resiko, memperhitungkan hilangnya kesempatan, dan menepati janji yang telah diucapkan.
            Dalam setiap tulisan, Beliau selalu suntikkan sebuah “nilai”. Seperti ketika ia nyatakan akan membawa seorang teman ketika memimpin PLN. Teman itu ternyata bernama “antusias”. Ia bilang, hanya orang yang hidupnya penuh antusias yang bisa membawa kemajuan. Virus antusias itu yang ingin ia sebarkan ke seluruh PLN.
            Keberhasilannya meraih gelar ‘Merketer of the Year 2010 Indonesia’, yang membuat para karyawan PLN bersorak kegirangan sekaligus terharu. Sudah lama tim PLN hanya jadi pecundang. Ini semua karena kerja keras PLN telah diakui masyarakat..
            Dalam acara-acara besar peran orang PLN biasanya hanya dimarah-marahi, disuruh jaga genset cadangan dan ditempatkan di bawah pohon di pojok halaman belakang. Walau menurutnya penghargaan ini masih terlalu awal bagi PLN, namun prestasi PLN adalah prestasi seluruh karyawannya.
            Daftar tunggu pelanggan baru yang mencapai angka fantastis 2 juta lebih dengan gerakan sambungan sejuta sehari dalam dua kali pelaksanaannya ternyata mampu dihapus dari daftar tunggu. Bayangkan, sampai ada yang menunggu sambungan PLN hingga tujuh tahun. Dan memang benar, sesungguhnya PLN mampu untuk menghadapi krisis listrik dan saatnya untuk menelikung Malaysia di tikungan. Seperti target Pak Dis untuk mengalahkan Malaysia dalam kelistrikan. Karena rakyat Indonesia bila sudah dapat melewati Malaysia saja sudah merasa bangga dan aman. Memang keinginan yang tidak terlalu muluk.
            Banyak diantara karyawan PLN yang hamper 50.000 orang itu mempersoalkan pengadaan baju seragam. Ada yang bilang telah terjadi KKN di situ. Juga permainan komisi. Ada yang menghendaki  agar baju seragam diatur per provinsi. Jangan dipusatkan. Bahkan ada yang minta agar baju seragam diberikan bentuk uang. Masing-masing karyawan dapat membuatnya sendiri. Bisa-bisa pembicaraan ini megalahkan pemikiran mengatasi krisis listrik.
            Permintaan mana yang terpenuhi? Bukankah kalau dipenuhi salah satunya akan menimbulkan ketidak puasan yang lain? Maka, beliau memutusksn: baju seragam dihapus!
            Karyawan wanita yang sedikit jumlahnya mempersoalkan banyaknya karyawan pria yang merokok seenaknya. Termasuk di ruangan yang full-AC, ditambah lagi tamu-tamu juga ikut merokok seenaknya. Keluhan itu tidak pernah bermuara, laki-laki yang terlalu dominan di PLN membuat para wanitanya tak mampu berkutik. Banyak yang mengira aturan tentang rokok akan menimbulkan pro-kontra. Ada yang menggunakan pasal hak asasi, dan ada pula yang mengusulkan smoking area. Saking ramainya pembicaraan ini bisa-bisa mengalahkan pembicaraan bagaimana mengatasi jutaan daftar tunggu untuk  mendapatkan listrik.
            Beliau memutuskan : dilarang merokok. Bukan saja di dalam ruangan tapi juga di luar ruangan. Di seluruh kawasan kantor PLN.
            Tiap tanggal 17, ada upacara di PLN. Banyak perdebatan mengenai memakai kopiah atau tidak. Yang tidak ikut upacara kena sanksi atau tidak. Bagi yang kantor cabangnya di dekat kantor wilayah upacaranya jadi satu atau sendiri-sendiri. Bisa-bisa pembicaraan ini dapat mengalahkan pemikiran mengatasi seringnya mati lampu.
            Beliau memutuskan : upacara setiap tanggal 17 dihapus!
            Banyak sekali yang memersoalkan perjalanan dinas. Berikan uangnya saja, terserah mau naik pesawat apa. Berikan uang saja, terserah mau tidur di hotel bintang lima, hotel melati atau rumah family. Berikan uang saja, terserah mau diselesaikan 3 hari atau satu hari. Pembicaraan ini bisa-bisa mengalahkan persoalan banyaknya proyek yang terlambat diselesaikan.
            Beliau memutuskan : perjalanan dinas dihapus! Meskipun ini hanya terjadi satu bulan, tapi tidak ada perjalan dinas sebulan penuh sangat pengejutkan di PLN. Berarti ada 28.000 perjalan dinas harus dihapuskan.
            Keputusan-keputusan itu diambilnya untuk menghentikan semua keinginan yang tidak fokus pada upaya “mengurus konsumen”. Beliau berpandangan, jangan sampai karyawan terlihat sibuk dan bekerja keras, tapi ternyata untuk kepentingan diri sendiri. “Itu bencana,” simpulnya
            Saat itu genap enam bulan beliau menjadi CEO PLN. Ada yang bilang ”baru” enam bulan. Ada yang bilang ”sudah” enam bulan.
            Betapa relatifnya waktu…
            Selama enam bulan itu, beliau dua kali sakit perut serius. Setengah hari beliau tidak bisa bekerja, kecuali hanya tidur lemas di bilik di belakang ruang kerja Dirut PLN.
            Sebenarnya, beliau harus mewaspadai sakit perut seperti itu melebihi sakit lainnya. Sebab, kata dokter, sakit perut merupakan tanda awal mulai bermasalahnya transplantasi hati yang beliau lakukan tiga tahun lalu. Mungkin saja itu merupakan tanda awal bahwa hatinya orang lain yang sekarang beliau pakai ini mulai ditolak oleh sistem tubuh beliau. Begitulah kata dokter
            Selama enam bulan itu, seingat beliau, belum pernah beliau absen. Beliau memang sudah berjanji kepada diri sendiri: Selama enam bulan pertama sebagai Dirut PLN, beliau tidak akan mengurus apa pun kecuali listrik
            Tidak akan pergi ke mana pun kecuali urusan listrik. Tidak akan bicara apa pun kecuali soal listrik. Karena itu, kalau biasanya dulu setiap bulan beliau bisa dua-tiga kali ke luar negeri, selama enam bulan di PLN ini, beliau tidak ke mana-mana.
            Untuk itu, beliau harus minta maaf kepada family, teman dekat, dan pengurus berbagai organisasi yang beliau ketuai. Selama enam bulan tersebut, beliau tidak bisa menghadiri acara keluarga, pesta perkawinan teman-teman dekat, dan bahkan selamatan boyongan rumah anak sendiri. Apalagi rapat-rapat organisasi atau permintaan ceramah. Semua beliau hindari.
            Beliau memang masih tercatat sebagai ketua umum persatuan perusahaan surat kabar se-Indonesia, ketua umum persatuan barongsai Indonesia, persatuan olahraga bridge Indonesia, dan banyak lagi. Selama enam bulan itu, tidak ada rapat yang bisa beliau hadiri.
            Menjelang enam bulan di PLN, berat badan beliau naik 3 kg! Oh, rupanya beliau kurang gerak. Hanya dari mobil ke ruang rapat. Dan dari ruang rapat ke mobil. Siang dan malam. Itu tentu tidak baik. Dokter yang tiga tahun lalu mentransplantasi hati beliau melarang badan beliau terlalu gemuk. Dokter selalu mengingatkan, meski kelihatannya sehat, status beliau tetap saja sebagai orang sakit. Di samping harus terus minum obat, juga harus tetap hati-hati. Karena itu, menginjak bulan keenam, beliau putuskan ini: berangkat kerja berjalan kaki saja.
            Maka, setiap hari pukul 05.45 beliau sudah berangkat kerja. Jalan kaki dari rumah beliau di dekat Pacific Place Semanggi, Jakarta, ke Kantor Pusat PLN di Jalan Trunojoyo, seberang Mabes Polri. Berangkat sepagi itu bukan supaya beliau dianggap sok rajin, tapi ingin menghindari asap knalpot. Tidak ada gunanya berolahraga sambil menghirup CO2.
            Beruntung, rute menuju kantor tersebut bisa ditempuh dengan menghantas jalan-jalan kecil yang sepi yang kiri-kanannya penuh pohon-pohon nan merimbun. Pukul 06.30, ketika baru ada satu-dua mikrolet mengasapi jalanan, beliau (biasanya ditemani istri) tiba di kantor dengan keringat yang bercucuran.
            Hasilnya: selama satu bulan itu, berat badan sudah turun 2 kg. Masih punya utang 1 kg lagi. Mula-mula, berjalan cepat selama 35 menit itu terasa berat. Jarak rumah-kantor tersebut juga terasa sangat jauh. Tapi, kian lama menjadi kian biasa. Bahkan, belakangan jarak itu terasa sedikit kurang jauh.
            Betapa relatifnya jarak…
            Enak juga sudah di kantor pagi-pagi. Kini, menjadi pemandangan biasa pada pukul 07.00 sudah banyak orang Jepang yang antre di ruang tamu. Demikian juga beberapa relasi PLN lainnya. Bahkan, seorang perempuan yang merasa diperlakukan kejam oleh suaminya juga tahu jadwal beliau ini: Sebelum pukul 07.00, perempuan itu sudah menangis di lobi untuk mengadukan kelakuan suaminya. Lalu, minta sangu untuk pulang karena uangnya tinggal pas-pasan untuk datang ke PLN itu tanpa tahu harus bagaimana pulangnya. Suaminya, katanya, sangat-amat pelitnya.
            Betapa relatifnya uang…
            Selama enam bulan itu, beliau dua kali menangis. Sekali di ruang rapat dan sekali di Komisi VII DPR RI. Kadang memang begitu sulit mencari jalan cepat untuk mengatasi persoalan. Kadang sebuah batu terlalu sulit untuk dipecahkan.
            Tapi, tidak berarti hari-hari beliau di PLN adalah hari-hari yang sedih. Ribuan kali beliau bisa tertawa lepas. Ruang rapat sering menjadi tempat hiburan yang menyenangkan. Terutama ketika begitu banyak ide datang dari para peserta rapat. Apalagi, sering juga ide tersebut dikemukakan dengan jenakanya.
            Di mana-mana, di berbagai forum, beliau selalu membanggakan kualitas personal PLN. Orang PLN itu rata-rata cerdas-cerdas: tahu semua persoalan yang dihadapi perusahaan dan bahkan tahu juga bagaimana cara menyelesaikannya. Yang tidak ada pada mereka adalah muara.
            Begitu banyak ide yang mengalir, tapi sedikit yang bisa mencapai muara. Kalau toh ada, muara itu dangkal dan sempit. Ide-ide brilian macet dan kandas. Kini, di ruang rapat tersebut, semua ide bisa mulai bermuara. Bahkan, meminjam lagunya almarhum Gesang, bisa mengalir sampai jauh.
            Memang, ruang rapat sebaiknya jangan penuh ketegangan. Orang-orang PLN itu siang-malam sudah mengurus tegangan listrik. Jangan pula harus tegang di ruang rapat. Ruang rapat harus jadi tempat apa saja: debat, baku ide, berbagi kue, dan saling ejek dengan jenaka. Beliau bangga ruang rapat PLN bukan lagi sebuah tempat biasa, tapi bisa menjadi katalisator yang menyenangkan. Sebuah tempat memang bisa jadi apa saja bergantung yang mengisinya.
            Betapa relatifnya tempat…
            Sedih, senang, ketawa, menangis, semua bergantung suasana kejiwaan. Pemilik jiwa sendirilah yang mampu menyetel suasana kejiwaan masing-masing. Mau dibuat sedih atau mau dibuat gembira. Mau menangis atau tertawa. Semua bisa.
            Betapa relatifnya jiwa…
            Rasanya, selama enam bulan di PLN, beliau juga belum pernah duduk di kursi direktur utama. Beliau sudah terbiasa bekerja tanpa meja. Puluhan tahun, sejak sebelum di PLN. Setengah liar. Sebab, sebelum di PLN, beliau hampir tidak pernah membaca surat masuk.
            Jadi, memang tidak diperlukan sebuah meja. Semua surat masuk langsung didistribusikan ke staf yang bertugas di bidangnya. Sebab, kalaupun surat itu ditujukan kepada beliau, belum tentu beliau bisa menyelesaikannya. Maka, untuk apa harus mampir ke meja beliau kalau bisa langsung tertuju kepada yang lebih pas menjawabnya?
            Kini, sebagai Dirut PLN, beliau tidak boleh begitu. Beliau harus menerima surat-surat yang setumpuk itu untuk dibuatkan disposisinya. Inilah untuk kali pertama dalam hidup beliau harus membuat corat-coret di lembar disposisi. Apa yang harus beliau tulis di situ? Saran? Pendapat? Instruksi? Larangan? Harapan? Atau, beberapa kata yang hanya bersifat basa-basi sekadar untuk menunjukkan bahwa beliau atasan mereka?
            Akhirnya, beliau putuskan tidak menuliskan apa-apa. Kecuali beberapa hal yang sangat jarang saja. Mengapa beliau harus memberikan arahan seolah-olah hanya beliau yang tahu persoalan itu? Mengapa beliau harus memberikan instruksi seolah-olah tanpa instruksi itu mereka tidak tahu apa yang harus diperbuat? Mengapa beliau harus memberikan petunjuk seolah-olah beliau itu pabrik petunjuk?
            Maka, jangan heran kalau mayoritas lembar disposisi tersebut tidak ada tulisannya. Paling hanya berisi paraf beliau dan nama orang yang harus membaca surat itu. Beliau sangat yakin, tanpa disposisi satu kata pun, mereka tahu apa yang terbaik yang harus dilakukan.
            Bukankah karyawan PLN itu umumnya lulusan terbaik ranking 1 sampai 10 dari universitas-universitas terbaik negeri ini? Bukankah karyawan PLN itu, doktornya saja sudah 20 orang dan masternya sudah 600 orang? Bukankah mereka sudah sangat berpengalaman melebihi beliau? Maka, beliau tidak ragu memberikan kebebasan yang lebih kepada mereka.
            Inilah sebuah proses lahirnya kemerdekaan ide. Orang yang terlalu sering diberi arahan akan jadi bebek. Orang yang terlalu sering diberi instruksi akan jadi besi. Orang yang terlalu sering diberi peringatan akan jadi ketakutan. Orang yang terlalu sering diberi pidato kelak hanya bisa minta petunjuk.
            Beliau sadar bahwa mayoritas warga PLN adalah lulusan terbaik dari universitas-universitas terbaik. Mereka sudah memiliki semuanya: kecuali kemerdekaan ide itu. Kini saatnya barang yang mahal tersebut diberikan kepada mereka. Beliau sangat memercayai, jika seseorang diberi kepercayaan, rasa tanggung jawabnya akan muncul. Kalau toh ada yang tidak seperti itu, hanyalah pengecualian.
            Semua itu beliau lakukan di meja rapat. Bukan di meja kerja direktur utama. Karena itu, beliau juga tidak pernah memanggil staf, misalnya, untuk menghadap duduk di kursi di depan direktur utama. Kalau beliau lakukan itu, perasaan beliau tidak enak. Mungkin hanya perasaan saja sebenarnya.
            Beliau tidak tahu dari mana lahirnya perasaan tidak enak tersebut. Mungkin karena dulu terlalu sering melihat Pak Harto di televisi dengan adegan seperti itu. Beliau takut merasa menjadi terlalu berkuasa di kantor ini.
            Kedudukan tentu tidak sama dengan tempat duduk. Yang merasa berkuasa pun belum tentu bisa menguasainya. Yang punya kedudukan belum tentu bisa duduk semestinya.
            Betapa relatifnya sebuah kekuasaan…
            Lalu, apa yang sudah kita capai selama enam bulan ini?
            Ada yang bilang sudah sangat banyak : menanggulangi pemadaman bergilir di seluruh Indonesia, menyelesaikan IPP terkendala yang sudah begitu lama, mengatasi kacaunya tegangan listrik di berbagai wilayah (orang Aceh, Cianjur Selatan, Tangerang, dan banyak lagi kini sudah bisa mengucapkan selamat tinggal tegangan 14. Sudah bertahun-tahun tegangan listrik di Aceh hanya 14, sehingga sering redup dan merusak barang-barang elektronik. Kini, di Aceh dan banyak wilayah itu, tegangan listriknya sudah normal, sudah bisa 20).
            Tapi, banyak juga yang bilang, masih terlalu sedikit yang diperbuat. Bahkan, ada yang bilang, termasuk seorang anggota DPR di komisi VI, bahwa direksi PLN yang baru ternyata bisanya hanya menaikkan TDL. Tudingan tersebut tentu lucu karena bukankah yang bisa menaikkan TDL itu hanya pemerintah bersama DPR? Bukankah direksi PLN itu, sesuai UU, sama sekali tidak punya wewenang menaikkan atau menurunkan TDL?
            Betapa relatifnya kepuasan…
            Yang patut dicatat kembali oleh setiap calon Pemimpin di Indonesia berkaca pada Buku ini adalah tekad Pak Dahlan Iskan untuk membuat satu kemajuan pada institusi yang dipimpinnya dengan memanfaatkan Sumber Daya yang cerdas dan memang benar-benar mampu seperti halnya saat menghantarkan kesuksesan pada Group Jawa Pos terdahulu.
            Gaya kepemimpinan yang beliau terapkan adalah kepemimpinan bebas yaitu keterlibatan kepemimpinanya relative kecil, para bawahan secara aktif menentukan tujuan dan penyelesaian masalahnaya.
            Pak Dis percaya Bukankah karyawan PLN itu, doktornya saja sudah 20 orang dan masternya sudah 600 orang. Mereka sudah sangat berpengalaman melebihi Pak Dis sendiri. Maka, beliau tidak ragu memberikan kebebasan yang lebih kepada mereka.
            Inilah sebuah proses lahirnya kemerdekaan ide. Orang yang terlalu sering diberi arahan akan jadi bebek. Orang yang terlalu sering diberi instruksi akan jadi besi. Orang yang terlalu sering diberi peringatan akan jadi ketakutan. Orang yang terlalu sering diberi pidato kelak hanya bisa minta petunjuk.
            Beliau sadar bahwa mayoritas warga PLN adalah lulusan terbaik dari universitas-universitas terbaik. Mereka sudah memiliki semuanya: kecuali kemerdekaan ide itu. Kini saatnya barang yang mahal tersebut diberikan kepada mereka. Beliau sangat memercayai, jika seseorang diberi kepercayaan, rasa tanggung jawabnya akan muncul. Kalau toh ada yang tidak seperti itu, hanyalah pengecualian.
            Menurut teori munculnya kepemimpinan, Pak Dis ini masuk dalam teori Ekologis dan Sintetis yaitu pemimpin yang lahir secara alami namun tetap mengenyam pendidikan dan didorong kemauan sendiri untuk menjadi pemimpin.
            Dari sosok Pak Dis ini terdapat pula gaya kepemimpinan transformasional, pemimpin yang menginspirasi bawahannya untuk melampaui kepentingan pribadi dan mampu membawa dampak mendalam dan luar biasa pada bawahannya.
            Semenjak beliau bergabung di PLN beliau bergerak cepat untuk memperbaiki pemasalahan baik dari faktor internal dan eksternal. Bahkan kurang dari waktu satu tahun jabatannya, beliau sudah menyambangi semua kantor cabang PLN di Indonesia agar tahu apa yang menjadi permasalahan ditiap-tiap daerah tersebut.
            Jadi tak heran jika kemudian Buku ‘Dua Tangis dan Ribuan Tawa’ karya Pak Dahlan Iskan yang diterbitkan oleh PT. Elex Media Komputindo bersama Kompas Gramedia ini menyabet National Best Seller serta telah dicetak ulang hingga kali ke-7 pada Januari 2012 lalu.

Komentar

  1. klo bisa lagi mba,,,,, cz aq jg ngefans m pak dahlan iskan,,, tp g punya bukuy,,,,, 5ksh,,,,

    BalasHapus
  2. kalau fansnya wajib punya bukunya dong, minimal satu. abis buku beliau ada banyak sekitar 7 buku yang sudah terbit ^_^
    tapi yang aku tulis diatas itu bagian inti buku 'dua tangis dan ribuan tawa'

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah : Media Critical Theory

Teori Komunikasi BAB III Tradisi-tradisi Komunikasi (Semiotika, Fenomenologi, Sibernetika, Sosiopsikologi)

MAKALAH TWITTER