Resensi Buku Dahlan Iskan - Dua Tangis dan Ribuan Tawa
Resensi kali ini sebenarnya untuk tugas mata kuliah Kepemimpinan, yang tugasnya mencari tokoh kepemimpian melalui resensi buku. tanpa pikir panjang lagi saya langsung mengajukan tokoh Dahlan Iskan, yang padahal saya belum tau apakah ada buku mengenai kepemimpinannya. saya mulai tertarik dengan sosok beliau saat beliau banyak diberitakan berani mengambil keputusan yang berani saat masih menjadi CEO PLN. kemudian saat baru-baru dilantiknya beliau sebagi menteri BUMN, Dosen Ekonomi saya sampai bilang "mulai ada harapan nih kita akan kementrian BUMN, karena Pak Dis yang mimpin sekarang". ditambah lagi kala sudah menjadi Mentri BUMN beliau menunjukan kepemimpinan yang luar biasa, karena berani mengambil sikap saat terdapat antrian panjang di Tol Semanggi yang lebih dari 30 mobil, beliau langsung turun dari mobilnya melupakan jabatan birokratnya, melihat Loket Tol kosong/tanpa petugas, beliau langsung berinisiatif membuka palang pintu Tol dan membebaskan lebih dari 100 mobil yang melintas. Peristiwa ini bukan tanpa sebab, karena sebelumnaya beliau sudah memberi waktu 3 bulan kepada pihak Jasa Marga untuk mengurangi kemacetan di pintu Tol, Max. mobil yang antri hanya 10 mobil. Ada pepatah bilang "Untung menjadi pemimpin tidak perlu berteriak, cukup menggulung lengan baju dan bertindak" .Itulah salah satu gambaran kepemimpinan Dahlan Iskan.
Judul :
Dua Tangis dan Ribuan Tawa
Penulis : Dahlan Iskan
Penerbit : Elex Media Komputindo
Tahun : 2011
Halaman : 350 lembar
ISBN :
978-602-00-1181-3
PLN
yang byarpet (pemadaman listrik bergilir). Namun semenjak kedatangan seorang Dahlan
Iskan sebagai Jenderal yang memegang komando tertinggi di PLN, maka perusahaan
BUMN yang satu ini ternyata mampu berubah. Seorang Pak Dis (sapaan khas Dahlan
Iskan) mampu memanfaatkan secara optimal potensi-potensi SDM. Yang dimaksud beliau
luar biasa adalah untuk bekerja lebih giat, keras hingga ke titik limit yang
mereka punya dan ternyata bisa. Bayangkan kurang dari dua tahun, musuh-musuh
besar PLN mampu dihadapi.
Sebulan
sekali, CEO PLN menulis surat kepada seluruh kar¬yawan PLN. Inilah cara Dahlan Iskan
untuk memotivasi dan berkomunikasi langsung dengan seluruh karyawannya. Surat
itu diberi nama CEO’s Note. Tujuannya, seluruh karyawan PLN yang lebih dari 50.000
orang itu bisa langsung membaca jalan pikiran dan keinginan pimpinan puncak
perusahaan. Setiap kali CEO’s Note terbit, banyak tanggapan dari karyawan
melalui forum e-mail perusahaan.
Buku
“Dua Tangis dan Ribuan Tawa” ini jenis bacaan yang mengalir. Itulah kepiawaian
dan kekuatan seorang Pak Dis dalam menulis, yang memiliki riwayat kewartawanan
yang panjang. Beliau menyatakan, dalam setiap tulisannya, ia hindari gaya
khotbah atau pidato. “Saya lebih banyak menggunakan gaya bercerita sebagaimana
wartawan menulis reportase,” katanya. Dalam tulisan itu ia menuangkan pikiran-pikiran
dan pengalaman hariannya. Kadang bernada curhat, namun bukan berkeluh kesah.
Kadang ia terlihat jengkel, tapi bukan berarti ia marah. Seringkali terlihat
banyak keinginannya yang ia lontarkan namun bukan perintah. Dan di tulisan ini,
banyak berserak pandangannya tentang suatu hal, walau ia enggan menyebutnya
sebagai pengarahan.Dalam berbagai tulisan, berbagai isu ia sodorkan dengan
gamblang.
Beliau
yang berlatar belakang wartawan membuatnya selalu berpikir logis, mampu
menyimplikasikan persoalan yang penting dan kurang penting. Dan setelah
berhenti menjadi wartawan beliau menjadi orang bisnis yang juga mengajarkannya
banyak hal seprti: kecepatan mengambil keputusasn, menghitung resiko,
memperhitungkan hilangnya kesempatan, dan menepati janji yang telah diucapkan.
Dalam
setiap tulisan, Beliau
selalu suntikkan sebuah “nilai”. Seperti ketika ia nyatakan akan membawa
seorang teman ketika memimpin PLN. Teman itu ternyata bernama “antusias”. Ia
bilang, hanya orang yang hidupnya penuh antusias yang bisa membawa kemajuan.
Virus antusias itu yang ingin ia sebarkan ke seluruh PLN.
Keberhasilannya
meraih gelar ‘Merketer of the Year 2010 Indonesia’, yang membuat para karyawan
PLN bersorak kegirangan sekaligus terharu. Sudah lama tim PLN hanya jadi
pecundang. Ini semua karena kerja keras PLN telah diakui masyarakat..
Dalam
acara-acara besar peran orang PLN biasanya hanya dimarah-marahi, disuruh jaga
genset cadangan dan ditempatkan di bawah pohon di pojok halaman belakang. Walau
menurutnya penghargaan ini masih terlalu awal bagi PLN, namun prestasi PLN
adalah prestasi seluruh karyawannya.
Daftar
tunggu pelanggan baru yang mencapai angka fantastis 2 juta lebih dengan gerakan
sambungan sejuta sehari dalam dua kali pelaksanaannya ternyata mampu dihapus
dari daftar tunggu. Bayangkan, sampai ada yang menunggu sambungan PLN hingga
tujuh tahun. Dan memang benar, sesungguhnya PLN mampu untuk menghadapi krisis
listrik dan saatnya untuk menelikung Malaysia di tikungan. Seperti target Pak
Dis untuk mengalahkan Malaysia dalam kelistrikan. Karena rakyat Indonesia bila
sudah dapat melewati Malaysia saja sudah merasa bangga dan aman. Memang keinginan
yang tidak terlalu muluk.
Banyak
diantara karyawan PLN yang hamper 50.000 orang itu mempersoalkan pengadaan baju
seragam. Ada yang bilang telah terjadi KKN di situ. Juga permainan komisi. Ada
yang menghendaki agar baju seragam
diatur per provinsi. Jangan dipusatkan. Bahkan ada yang minta agar baju seragam
diberikan bentuk uang. Masing-masing karyawan dapat membuatnya sendiri. Bisa-bisa
pembicaraan ini megalahkan pemikiran mengatasi krisis listrik.
Permintaan
mana yang terpenuhi? Bukankah kalau dipenuhi salah satunya akan menimbulkan
ketidak puasan yang lain? Maka, beliau memutusksn: baju seragam dihapus!
Karyawan
wanita yang sedikit jumlahnya mempersoalkan banyaknya karyawan pria yang
merokok seenaknya. Termasuk di ruangan yang full-AC, ditambah lagi tamu-tamu
juga ikut merokok seenaknya. Keluhan itu tidak pernah bermuara, laki-laki yang
terlalu dominan di PLN membuat para wanitanya tak mampu berkutik. Banyak yang
mengira aturan tentang rokok akan menimbulkan pro-kontra. Ada yang menggunakan
pasal hak asasi, dan ada pula yang mengusulkan smoking area. Saking ramainya
pembicaraan ini bisa-bisa mengalahkan pembicaraan bagaimana mengatasi jutaan
daftar tunggu untuk mendapatkan listrik.
Beliau
memutuskan : dilarang merokok. Bukan saja di dalam ruangan tapi juga di luar
ruangan. Di seluruh kawasan kantor PLN.
Tiap
tanggal 17, ada upacara di PLN. Banyak perdebatan mengenai memakai kopiah atau
tidak. Yang tidak ikut upacara kena sanksi atau tidak. Bagi yang kantor
cabangnya di dekat kantor wilayah upacaranya jadi satu atau sendiri-sendiri.
Bisa-bisa pembicaraan ini dapat mengalahkan pemikiran mengatasi seringnya mati
lampu.
Beliau
memutuskan : upacara setiap tanggal 17 dihapus!
Banyak
sekali yang memersoalkan perjalanan dinas. Berikan uangnya saja, terserah mau
naik pesawat apa. Berikan uang saja, terserah mau tidur di hotel bintang lima,
hotel melati atau rumah family. Berikan uang saja, terserah mau diselesaikan 3
hari atau satu hari. Pembicaraan ini bisa-bisa mengalahkan persoalan banyaknya
proyek yang terlambat diselesaikan.
Beliau
memutuskan : perjalanan dinas dihapus! Meskipun ini hanya terjadi satu bulan,
tapi tidak ada perjalan dinas sebulan penuh sangat pengejutkan di PLN. Berarti
ada 28.000 perjalan dinas harus dihapuskan.
Keputusan-keputusan
itu diambilnya untuk menghentikan semua keinginan yang tidak fokus pada upaya “mengurus
konsumen”. Beliau berpandangan, jangan sampai karyawan terlihat sibuk dan bekerja
keras, tapi ternyata untuk kepentingan diri sendiri. “Itu bencana,” simpulnya
Saat
itu genap enam bulan beliau menjadi CEO PLN. Ada yang bilang ”baru” enam bulan.
Ada yang bilang ”sudah” enam bulan.
Betapa
relatifnya waktu…
Selama
enam bulan itu, beliau dua kali sakit perut serius. Setengah hari beliau tidak
bisa bekerja, kecuali hanya tidur lemas di bilik di belakang ruang kerja Dirut
PLN.
Sebenarnya,
beliau harus mewaspadai sakit perut seperti itu melebihi sakit lainnya. Sebab,
kata dokter, sakit perut merupakan tanda awal mulai bermasalahnya transplantasi
hati yang beliau lakukan tiga tahun lalu. Mungkin saja itu merupakan tanda awal
bahwa hatinya orang lain yang sekarang beliau pakai ini mulai ditolak oleh
sistem tubuh beliau. Begitulah kata dokter
Selama
enam bulan itu, seingat beliau, belum pernah beliau absen. Beliau memang sudah
berjanji kepada diri sendiri: Selama enam bulan pertama sebagai Dirut PLN,
beliau tidak akan mengurus apa pun kecuali listrik
Tidak
akan pergi ke mana pun kecuali urusan listrik. Tidak akan bicara apa pun
kecuali soal listrik. Karena itu, kalau biasanya dulu setiap bulan beliau bisa
dua-tiga kali ke luar negeri, selama enam bulan di PLN ini, beliau tidak ke
mana-mana.
Untuk
itu, beliau harus minta maaf kepada family, teman dekat, dan pengurus berbagai
organisasi yang beliau ketuai. Selama enam bulan tersebut, beliau tidak bisa
menghadiri acara keluarga, pesta perkawinan teman-teman dekat, dan bahkan
selamatan boyongan rumah anak sendiri. Apalagi rapat-rapat organisasi atau
permintaan ceramah. Semua beliau hindari.
Beliau
memang masih tercatat sebagai ketua umum persatuan perusahaan surat kabar
se-Indonesia, ketua umum persatuan barongsai Indonesia, persatuan olahraga
bridge Indonesia, dan banyak lagi. Selama enam bulan itu, tidak ada rapat yang
bisa beliau hadiri.
Menjelang
enam bulan di PLN, berat badan beliau naik 3 kg! Oh, rupanya beliau kurang
gerak. Hanya dari mobil ke ruang rapat. Dan dari ruang rapat ke mobil. Siang
dan malam. Itu tentu tidak baik. Dokter yang tiga tahun lalu mentransplantasi
hati beliau melarang badan beliau terlalu gemuk. Dokter selalu mengingatkan,
meski kelihatannya sehat, status beliau tetap saja sebagai orang sakit. Di
samping harus terus minum obat, juga harus tetap hati-hati. Karena itu, menginjak
bulan keenam, beliau putuskan ini: berangkat kerja berjalan kaki saja.
Maka,
setiap hari pukul 05.45 beliau sudah berangkat kerja. Jalan kaki dari rumah
beliau di dekat Pacific Place Semanggi, Jakarta, ke Kantor Pusat PLN di Jalan
Trunojoyo, seberang Mabes Polri. Berangkat sepagi itu bukan supaya beliau dianggap
sok rajin, tapi ingin menghindari asap knalpot. Tidak ada gunanya berolahraga
sambil menghirup CO2.
Beruntung,
rute menuju kantor tersebut bisa ditempuh dengan menghantas jalan-jalan kecil
yang sepi yang kiri-kanannya penuh pohon-pohon nan merimbun. Pukul 06.30,
ketika baru ada satu-dua mikrolet mengasapi jalanan, beliau (biasanya ditemani
istri) tiba di kantor dengan keringat yang bercucuran.
Hasilnya:
selama satu bulan itu, berat badan sudah turun 2 kg. Masih punya utang 1 kg
lagi. Mula-mula, berjalan cepat selama 35 menit itu terasa berat. Jarak
rumah-kantor tersebut juga terasa sangat jauh. Tapi, kian lama menjadi kian
biasa. Bahkan, belakangan jarak itu terasa sedikit kurang jauh.
Betapa
relatifnya jarak…
Enak
juga sudah di kantor pagi-pagi. Kini, menjadi pemandangan biasa pada pukul
07.00 sudah banyak orang Jepang yang antre di ruang tamu. Demikian juga
beberapa relasi PLN lainnya. Bahkan, seorang perempuan yang merasa diperlakukan
kejam oleh suaminya juga tahu jadwal beliau ini: Sebelum pukul 07.00, perempuan
itu sudah menangis di lobi untuk mengadukan kelakuan suaminya. Lalu, minta
sangu untuk pulang karena uangnya tinggal pas-pasan untuk datang ke PLN itu
tanpa tahu harus bagaimana pulangnya. Suaminya, katanya, sangat-amat pelitnya.
Betapa
relatifnya uang…
Selama
enam bulan itu, beliau dua kali menangis. Sekali di ruang rapat dan sekali di
Komisi VII DPR RI. Kadang memang begitu sulit mencari jalan cepat untuk
mengatasi persoalan. Kadang sebuah batu terlalu sulit untuk dipecahkan.
Tapi,
tidak berarti hari-hari beliau di PLN adalah hari-hari yang sedih. Ribuan kali
beliau bisa tertawa lepas. Ruang rapat sering menjadi tempat hiburan yang
menyenangkan. Terutama ketika begitu banyak ide datang dari para peserta rapat.
Apalagi, sering juga ide tersebut dikemukakan dengan jenakanya.
Di
mana-mana, di berbagai forum, beliau selalu membanggakan kualitas personal PLN.
Orang PLN itu rata-rata cerdas-cerdas: tahu semua persoalan yang dihadapi
perusahaan dan bahkan tahu juga bagaimana cara menyelesaikannya. Yang tidak ada
pada mereka adalah muara.
Begitu
banyak ide yang mengalir, tapi sedikit yang bisa mencapai muara. Kalau toh ada,
muara itu dangkal dan sempit. Ide-ide brilian macet dan kandas. Kini, di ruang
rapat tersebut, semua ide bisa mulai bermuara. Bahkan, meminjam lagunya
almarhum Gesang, bisa mengalir sampai jauh.
Memang,
ruang rapat sebaiknya jangan penuh ketegangan. Orang-orang PLN itu siang-malam
sudah mengurus tegangan listrik. Jangan pula harus tegang di ruang rapat. Ruang
rapat harus jadi tempat apa saja: debat, baku ide, berbagi kue, dan saling ejek
dengan jenaka. Beliau bangga ruang rapat PLN bukan lagi sebuah tempat biasa,
tapi bisa menjadi katalisator yang menyenangkan. Sebuah tempat memang bisa jadi
apa saja bergantung yang mengisinya.
Betapa
relatifnya tempat…
Sedih,
senang, ketawa, menangis, semua bergantung suasana kejiwaan. Pemilik jiwa
sendirilah yang mampu menyetel suasana kejiwaan masing-masing. Mau dibuat sedih
atau mau dibuat gembira. Mau menangis atau tertawa. Semua bisa.
Betapa
relatifnya jiwa…
Rasanya,
selama enam bulan di PLN, beliau juga belum pernah duduk di kursi direktur
utama. Beliau sudah terbiasa bekerja tanpa meja. Puluhan tahun, sejak sebelum
di PLN. Setengah liar. Sebab, sebelum di PLN, beliau hampir tidak pernah membaca
surat masuk.
Jadi,
memang tidak diperlukan sebuah meja. Semua surat masuk langsung didistribusikan
ke staf yang bertugas di bidangnya. Sebab, kalaupun surat itu ditujukan kepada
beliau, belum tentu beliau bisa menyelesaikannya. Maka, untuk apa harus mampir
ke meja beliau kalau bisa langsung tertuju kepada yang lebih pas menjawabnya?
Kini,
sebagai Dirut PLN, beliau tidak boleh begitu. Beliau harus menerima surat-surat
yang setumpuk itu untuk dibuatkan disposisinya. Inilah untuk kali pertama dalam
hidup beliau harus membuat corat-coret di lembar disposisi. Apa yang harus
beliau tulis di situ? Saran? Pendapat? Instruksi? Larangan? Harapan? Atau,
beberapa kata yang hanya bersifat basa-basi sekadar untuk menunjukkan bahwa
beliau atasan mereka?
Akhirnya,
beliau putuskan tidak menuliskan apa-apa. Kecuali beberapa hal yang sangat
jarang saja. Mengapa beliau harus memberikan arahan seolah-olah hanya beliau
yang tahu persoalan itu? Mengapa beliau harus memberikan instruksi seolah-olah
tanpa instruksi itu mereka tidak tahu apa yang harus diperbuat? Mengapa beliau
harus memberikan petunjuk seolah-olah beliau itu pabrik petunjuk?
Maka,
jangan heran kalau mayoritas lembar disposisi tersebut tidak ada tulisannya.
Paling hanya berisi paraf beliau dan nama orang yang harus membaca surat itu.
Beliau sangat yakin, tanpa disposisi satu kata pun, mereka tahu apa yang
terbaik yang harus dilakukan.
Bukankah
karyawan PLN itu umumnya lulusan terbaik ranking 1 sampai 10 dari universitas-universitas
terbaik negeri ini? Bukankah karyawan PLN itu, doktornya saja sudah 20 orang
dan masternya sudah 600 orang? Bukankah mereka sudah sangat berpengalaman melebihi
beliau? Maka, beliau tidak ragu memberikan kebebasan yang lebih kepada mereka.
Inilah
sebuah proses lahirnya kemerdekaan ide. Orang yang terlalu sering diberi arahan
akan jadi bebek. Orang yang terlalu sering diberi instruksi akan jadi besi.
Orang yang terlalu sering diberi peringatan akan jadi ketakutan. Orang yang
terlalu sering diberi pidato kelak hanya bisa minta petunjuk.
Beliau
sadar bahwa mayoritas warga PLN adalah lulusan terbaik dari universitas-universitas
terbaik. Mereka sudah memiliki semuanya: kecuali kemerdekaan ide itu. Kini
saatnya barang yang mahal tersebut diberikan kepada mereka. Beliau sangat
memercayai, jika seseorang diberi kepercayaan, rasa tanggung jawabnya akan
muncul. Kalau toh ada yang tidak seperti itu, hanyalah pengecualian.
Semua
itu beliau lakukan di meja rapat. Bukan di meja kerja direktur utama. Karena
itu, beliau juga tidak pernah memanggil staf, misalnya, untuk menghadap duduk
di kursi di depan direktur utama. Kalau beliau lakukan itu, perasaan beliau
tidak enak. Mungkin hanya perasaan saja sebenarnya.
Beliau
tidak tahu dari mana lahirnya perasaan tidak enak tersebut. Mungkin karena dulu
terlalu sering melihat Pak Harto di televisi dengan adegan seperti itu. Beliau
takut merasa menjadi terlalu berkuasa di kantor ini.
Kedudukan
tentu tidak sama dengan tempat duduk. Yang merasa berkuasa pun belum tentu bisa
menguasainya. Yang punya kedudukan belum tentu bisa duduk semestinya.
Betapa
relatifnya sebuah kekuasaan…
Lalu,
apa yang sudah kita capai selama enam bulan ini?
Ada
yang bilang sudah sangat banyak : menanggulangi pemadaman bergilir di seluruh
Indonesia, menyelesaikan IPP terkendala yang sudah begitu lama, mengatasi
kacaunya tegangan listrik di berbagai wilayah (orang Aceh, Cianjur Selatan,
Tangerang, dan banyak lagi kini sudah bisa mengucapkan selamat tinggal tegangan
14. Sudah bertahun-tahun tegangan listrik di Aceh hanya 14, sehingga sering
redup dan merusak barang-barang elektronik. Kini, di Aceh dan banyak wilayah
itu, tegangan listriknya sudah normal, sudah bisa 20).
Tapi,
banyak juga yang bilang, masih terlalu sedikit yang diperbuat. Bahkan, ada yang
bilang, termasuk seorang anggota DPR di komisi VI, bahwa direksi PLN yang baru
ternyata bisanya hanya menaikkan TDL. Tudingan tersebut tentu lucu karena
bukankah yang bisa menaikkan TDL itu hanya pemerintah bersama DPR? Bukankah
direksi PLN itu, sesuai UU, sama sekali tidak punya wewenang menaikkan atau
menurunkan TDL?
Betapa
relatifnya kepuasan…
Yang
patut dicatat kembali oleh setiap calon Pemimpin di Indonesia berkaca pada Buku
ini adalah tekad Pak Dahlan Iskan untuk membuat satu kemajuan pada institusi
yang dipimpinnya dengan memanfaatkan Sumber Daya yang cerdas dan memang
benar-benar mampu seperti halnya saat menghantarkan kesuksesan pada Group Jawa
Pos terdahulu.
Gaya
kepemimpinan yang beliau terapkan adalah kepemimpinan bebas yaitu keterlibatan
kepemimpinanya relative kecil, para bawahan secara aktif menentukan tujuan dan
penyelesaian masalahnaya.
Pak
Dis percaya Bukankah karyawan PLN itu, doktornya saja sudah 20 orang dan
masternya sudah 600 orang. Mereka sudah sangat berpengalaman melebihi Pak Dis
sendiri. Maka, beliau tidak ragu memberikan kebebasan yang lebih kepada mereka.
Inilah
sebuah proses lahirnya kemerdekaan ide. Orang yang terlalu sering diberi arahan
akan jadi bebek. Orang yang terlalu sering diberi instruksi akan jadi besi.
Orang yang terlalu sering diberi peringatan akan jadi ketakutan. Orang yang
terlalu sering diberi pidato kelak hanya bisa minta petunjuk.
Beliau
sadar bahwa mayoritas warga PLN adalah lulusan terbaik dari universitas-universitas
terbaik. Mereka sudah memiliki semuanya: kecuali kemerdekaan ide itu. Kini
saatnya barang yang mahal tersebut diberikan kepada mereka. Beliau sangat
memercayai, jika seseorang diberi kepercayaan, rasa tanggung jawabnya akan
muncul. Kalau toh ada yang tidak seperti itu, hanyalah pengecualian.
Menurut
teori munculnya kepemimpinan, Pak Dis ini masuk dalam teori Ekologis dan
Sintetis yaitu pemimpin yang lahir secara alami namun tetap mengenyam
pendidikan dan didorong kemauan sendiri untuk menjadi pemimpin.
Dari
sosok Pak Dis ini terdapat pula gaya kepemimpinan transformasional, pemimpin
yang menginspirasi bawahannya untuk melampaui kepentingan pribadi dan mampu
membawa dampak mendalam dan luar biasa pada bawahannya.
Semenjak
beliau bergabung di PLN beliau bergerak cepat untuk memperbaiki pemasalahan
baik dari faktor internal dan eksternal. Bahkan kurang dari waktu satu tahun
jabatannya, beliau sudah menyambangi semua kantor cabang PLN di Indonesia agar
tahu apa yang menjadi permasalahan ditiap-tiap daerah tersebut.
Jadi tak
heran jika kemudian Buku ‘Dua Tangis dan Ribuan Tawa’ karya Pak Dahlan Iskan
yang diterbitkan oleh PT. Elex Media Komputindo bersama Kompas Gramedia ini
menyabet National Best Seller serta telah dicetak ulang hingga kali ke-7 pada
Januari 2012 lalu.
klo bisa lagi mba,,,,, cz aq jg ngefans m pak dahlan iskan,,, tp g punya bukuy,,,,, 5ksh,,,,
BalasHapuskalau fansnya wajib punya bukunya dong, minimal satu. abis buku beliau ada banyak sekitar 7 buku yang sudah terbit ^_^
BalasHapustapi yang aku tulis diatas itu bagian inti buku 'dua tangis dan ribuan tawa'