Metode Penelitian Kualitatif : Konglomerasi Media di Ranah Politik


BAB I
PENDAHULUAN

1.    1  Latar Belakang Masalah
            Di era globalisasi ini, kebutuhan akan informasi yang cepat menjadi sangat penting bagi masyarakat. Media massa merupakan bentuk komunikasi massa yang mampu menyediakan kebutuhan akan informasi yang cepat mengenai apa yang terjadi. Media sebagai bagian dari komunikasi massa memegang posisi penting dalam masyarakat dimana menurut Lasswell dan Wright, komunikasi massa memiliki fungsi sosial sebagai surveillance, korelasi dan interpretasi, transmisi budaya dan sosialisasi, serta sebagai media hiburan.
            Peranannya yang penting inilah yang membuat industri media massa berkembang sangat pesat dan membuat media massa tidak hanya sebagai sebuah institusi yang idealis, seperti misalnya sebagai alat sosial, politik, dan budaya, tetapi juga telah merubahnya menjadi suatu institusi yang sangat mementingkan keuntungan ekonomi. Sebagai institusi ekonomi, media massa hadir menjadi suatu industri yang menjanjikan keuntungan yang besar bagi setiap pengusaha.
            Keuntungan yang diperoleh media massa di Indonesia misalnya yaitu dari data AGB Nielsen Media Research, terlihat hingga kuartal ke-3 tahun 2006, Grup Media Nusantara Citra (MNC) sukses meraup Rp4,8 triliun atau 32,9% dari total belanja iklan TV. Urutan ke-2 diduduki Trans TV dan Trans 7, dengan Rp3,4 triliun (23,2%). ANTV dan Lativi, berhasil memperoleh pendapatan Rp2,3 triliun (15,7%), berada pada peringkat ke-3 . Hal itu mengakibatkan pengusaha media kini tidak lagi hanya sekedar berorientasi pada penenuhan hak masyarakat akan terpenuhinya informasi tetapi juga berorientasi untuk mengejar keuntungan ekonomi sebesar-besarnya.
            Pasar media merupakan suatu pasar yang memiliki karakteristik yang unik bila dibandingkan dengan jenis pasar lainnya. Media tidak hanya memproduksi suatu barang, tetapi media juga memproduksi jasa. Barang yang ditawarkan adalah tayangan program dari media itu sendiri, dan jenis jasa yang ditawarkan adalah media massa sebagai medium untuk menghubungkan antara pengiklan dengan khalayak pengkonsumsi media massa. Media massa mencoba untuk mencari jalan untuk mengefisien dan mengefektifkan produksi mereka agar keuntungan yang mereka peroleh dapat maksimum.
            Dalam komunikasi politik, media acapkali tidak hanya bertindak sebagai saluran yang menyampaikan pesan politik melainkan juga sebagai agen politik. Sebagai agen politik, media melakukan proses pengemasan pesan (framing of political messages) dan proses inilah yang sesungguhnya menyebabkan sebuah peristiwa atau aktor politik memiliki citra tertentu. Dalam proses pengemasan pesan ini, media dapat memilih fakta yang akan (dan yang tidak) dimasukkan ke dalam teks berita politik (Suwardi dalam Hamad, 2004: xvi).
            Media massa dalam melakukan produksi berita boleh jadi dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal antara lain berupa kebijakan redaksional tertentu mengenai kekuatan politik, kepentingan politik para pengelola media, relasi media dengan sebuah kekuatan politik tertentu. Sementara faktor eksternal berupa tekanan pasar pembaca atau pemirsa, sistem politik yang berlaku dan kekuatan-kekuatan luar lainnya.
            Pada era reformasi, sejumlah media massa memperlihatkan sikap partisannya terhadap partai politik secara terbuka walaupun tidak menyatakan diri secara resmi sebagai pendukung salah satu partai politik. Keterlibatan media massa dengan kegiatan politik, tidak semata-mata mencerminkan perhatian media terhadap politik, melainkan menyiratkan pula adanya keterikatan atas dasar suatu kepentingan antara sebuah media dan kekuatan politik yang diberitakannya entah itu kepentingan ekonomi, politik ataupun ideologis (Hamad, 2004: 75).
            Untuk media elektronik, Metro TV merupakan salah satu media yang sering menunjukkan sikap partisannya terhadap partai politik. Sepak terjang Surya Paloh sebagai pemilik televi si dalam politik, tidak bisa dipungkiri mempengaruhi pemberitaannya. Terutama pemberitaan mengenai Partai Nasdem, dimana Surya Paloh menjadi Ketua Majelis Nasional Partai Nasdem.
            Kolaborasi media Surya Paloh (Media Indonesia dan Metro TV) dengan kelompok Hary Tanoesoedibjo (RCTI, Global TV, Sindo TV, MNC TV, Koran Sindo, Trust, MNC Radio, serta sejumlah jaringan media lokal) tentu akan berada di belakang Partai Nasdem. Karena baru-baru ini Hary Tanoesoedibjomulai memasuki ranah politik dan bergabung denagn Partai Nasdem.
            Sehingga dapat dipastikan Pemilu Presiden tahun 2014 nanti, media massa di kuasai oleh kelompok media Surya Paloh dan Hary Tanoesoedibjo.
            Selain duet Hary Tanoe-Surya Paloh, ada pula Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar. Pemilik kelompok usaha Bakrie and Brothers ini memiliki TV One, ANTV, Vivanews.com. Tentu Aburizal tidak sendiri. Ada Erick Thohir, yang memimpin PT Visi Media Asia, induk perusahaan media Bakrie.
            Sementara Erick, adik kandung Boy Garibaldi Thohir, salah satu pemilik perusahaan pertambangan Adaro, adalah pemilik Jak-TV dan kelompok usaha Mahaka: di antaranya mengelola Republika dan jaringan radio Prambors.
            Pemilik CT Corp yang mengelola stasiun televisi Trans TV, Trans 7, dan Detik.com ini, secara resmi tidak terafiliasi dengan politik. Namun Partai Keadilan Sejahtera sudah menjagokannya sebagai calon presiden 2014, berpasangan dengan Menko Polhukam Djoko Suyanto.
            Kemudian ada Kelompok Jawa Pos, pemiliki koran Jawa Pos dan Rakyat Merdeka. Jaringannya di daerah-daerah juga cukup kuat, dengan merek Radar. Kelompok media ini didirikan dan dimiliki oleh PT Grafiti Pers, yang juga pendiri Tempo. Kelompok Jawa Pos yang dikelola dan dibesarkan oleh Dahlan Iskan, kini Menteri Negara BUMN, dari informasi yang didapat berada di belakang barisan Susilo Bambang Yudhoyono.
            Tinggal Kelompok Tempo dan Kompas. Dua kelompok besar ini bisa jadi bola liar. Secara formal sulit mendefinisikan kedekatan politiknya. Namun akan terlihat menjelang pemilihan umum nanti, kemana arah dua media ini bergerak. Itulah pilihan yang ditempuh.
            Dalam kondisi seperti ini, media sudah kehilangan esensi dan akal sehatnya untuk melakukan kontrol sosial. Apalagi harus menjadi pilar demokrasi. Sesuatu yang sangat naïf jika media yang dimiliki politisi masih mengatakan bisa independen dan bebas dari intervensi pemilik.
            Karena itu, sebagai konsumen informasi, harus pintar-pintar menyaring informasi yang masuk. Ketika sebuah media terafiliasi memberitakan figur atau kegiatan kelompok politiknya, itu hanya bentuk pencitraan atas Partainya.  Begitu juga ketika yang disudutkan adalah lawan politiknya, kecuali sepanjang yang diungkap sebatas fakta tanpa ditambahi opini.
            Berdasarkan uraian tersebut, peneliti merasa tertarik untuk meneliti, Apakah yang dikhawatirkan dalam kolaborasi penguasa media dengan partai politik terhadap pesan yang disampaikan kepada publik?

1.    2 Perumusan Masalah
            Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Apakah yang dikhawatirkan dalam kolaborasi penguasa media dengan partai politik terhadap pesan yang disampaikan kepada publik?”

1.    3  Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.         Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui cara penguasa media dengan partai             politik memaknai, memahami dan membingkai berita yang disampaikan   kepada public.
2.         Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pandangan dan posisi penguasa      media dengan partai politik terhadap pesan yang disampaikan kepada publik.

1. 4  Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memperkaya khasanah penelitian tentang realitas dan konstruksi pemberitaan di media massa.
2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperluas dan memperkaya penelitian khususnya di bidang Ilmu Komunikasi.
3. Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pemikiran kepada pihak-pihak yang membutuhkan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

            Proses komunikasi dalam masyarakat terkait dengan struktur dan lapisan (layer) maupun ragam budaya dan proses-proses sosial yang ada di masyarakat tersebut, serta tergantung pul pada adanya pengaruh dan khalayaknya, baik secara individu, kelompok ataupun masyarakat luas. Sedangkan bentuk atau atau wujud komunikasi ditentukan oleh (1) pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi (komunikator dan khalayak); (2) cara yang ditempuh; (3) kepentingan atau tujuan komunikasi; (4) ruang lingkup yang melakukannya; (5) saluran yang digunakan; dan (6) isi pesan yang disampaikan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka kegiatan komunikasi dalammasyarakat dapat berupa komunikasi tatap muka (baca : komunikasi langsung) yang terjadi pada komunikasi interpersonal dan kelompok serta kegiatan komunikasi yang terjadi pada komunikasi massa. Pada komunikasi langsung (tatap muka) baik antara individu dengan individu, atau individu dengan kelompok atau kelompok dengan masyarakat, maka pengaruh hubungan individu (interpersonal) termasuk di dalam pemaknaan komunikasi (langsung) ini. Namun demikian, individu yang memengaruhi proses komunikasi tidak lepas dari pengaruh kelompoknya baik yang primer maupun yang sekunder, termasuk pula pengaruh media massa terhadapnya.

2.1 Pendekatan Politik Ekonomi Media
            Pendekatan ini berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik di luar pengelolaan media. Faktor seperti pemilik media, modal dan pendapatan media dianggap lebih menentukan bagaimana wujud isi media. Faktor-faktor inilah yang menentukan peristiwa apa saja yang bisa atau tidak bisa ditampilkan dalam pemberitaan, serta ke arah mana kecenderungan pemberitaan sebuah media hendak diarahkan (Sudibyo, 2001: 2).
            Istilah ekonomi politik diartikan secara sempit oleh Mosco sebagai: studi tentang hubungan-hubungan sosial, khususnya hubungan kekuasaan yang saling menguntungkan antara sumber-sumber produksi, distribusi dan konsumsi, termasuk di dalamnya sumber-sumber yang terkait dengan komunikasi (Barrett, 1995: 186). Dari pendapat Mosco di atas dapatlah dipahami pengertian ekonomi politik secara lebih sederhana, yaitu hubungan kekuasaan (politik) dalam sumber-sumber ekonomi yang ada di masyarakat. Pendekatan ekonomi politik merupakan cara pandang yang  dapat membongkar dasar atas sesuatu masalah yang tampak pada permukaan (http://kamaruddin-blog.blogspot.com/2010/10/kapitalisme-organisasi-media-dan.html).
            Dalam studi media massa, penerapan pendekatan ekonomi politik memiliki tiga konsep awal, yaitu: komodifikasi, spasialisasi dan strukturasi. Komodifikasi adalah upaya mengubah apapun menjadi komoditas atau barang dagangan sebagai alat mendapatkan keuntungan. Dalam media massa tiga hal yang saling terkait adalah: isi media, jumlah audiens dan iklan. Berita atau isi media adalah komoditas untuk menaikkan jumlah audiens atau oplah. Jumlah audiens atau oplah juga merupakan komoditas yang dapat dijual pada pengiklan. Uang yang masuk merupakan profit dan dapat digunakan untuk ekspansi media. Ekspansi media menghasilkan kekuatan yang lebih besar lagi dalam mengendalikan masyarakat melalui sumber-sumber produksi media berupa teknologi.
            Selanjutnya, Spasialisasi adalah cara-cara mengatasi hambatan jarak dan waktu dalam kehidupan sosial. Dengan kemajuan teknologi komunikasi, jarak dan waktu bukan lagi hambatan dalam praktik ekonomi politik. Spasialisasi berhubungan dengan proses transformasi batasan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial. Dapat dikatakan juga bahwa spasialisasi merupakan proses perpanjangan institusional media melalui bentuk korporasi dan besarnya badan usaha media.
            Akhirnya, komodifikasi dan spasialisasi dalam media massa menghasilkan strukturasi atau menyeragaman ideologi secara terstruktur.
            Media yang sama pemiliknya akan memiliki ideologi yang sama pula. Korporasi dan besarnya media akan menimbulkan penyeragaman isi berita dimana penyeragaman ideologi tak akan bisa dihindari. Dengan kata lain, media dapat digunakan untuk menyampaikan ideologi pemiliknya.
            Sementara itu, dalam memberitakan suatu peristiwa, media massa dipengaruhi oleh beragam pengaruh. Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese dalam buku Mediating the Message: Theories of Influences on Mass Media Content (1996) mengemukakan ada lima level dalam media yang memengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan, yaitu:
1. Level Individu/Pekerja Media
Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media. Level individual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak.
2. Level Rutinitas Media
Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran tersendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung setiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang berada di dalamnya. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk.
3. Level Organisasi Media
Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang yang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia sebaliknya hanya bagian kecil dari organisasi media itu sendiri.
Dialektika dalam level organisasi media ini dapat menjelaskan munculnya kecenderungan pers era reformasi untuk mengedepankan berita-berita politik yang tajam, sensasional, bahkan bombastis.
4. Level Ekstra Media
Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Meskipun berada di luar organisasi media, hal-hal di luar organisasi media ini sedikit banyak dalam banyak kasus memengaruhi pemberitaan media.
5. Level Ideologi
Ideologi adalah world view sebagai salah satu kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Berbeda dengan elemen sebelumnya yang tampak konkret, level ideologi ini abstrak. Ia berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan realitas. Pada level ideologi akan lebih dilihat kepada yang berkuasa di masyarakat dan bagaimana media menentukannya.
            Oleh karena uraian di atas, peneliti menggunakan teori politik ekonomi media untuk membantu peneliti menjelaskan fenomena bagaimana kepemilikan media dapat digunakan untuk menyebarluaskan ideologi pemiliknya Sementara lima level yang diungkapkan oleh Shoemaker dan Reese digunakan peneliti untuk memperjelas bahwa kepemilikan media dan ideologi mempengaruhi pembentukan berita.

2. 2 Konstruksi Sosial Media Massa
            Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu tidak bisa terlepaskan dari bangunan teoritik yang telah dikemukakan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Berawal dari istilah konstruktivisme, konstruksi realitas sosial terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in The Sociological of Knowledge tahun 1966. Menurut mereka, realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan (Bungin, 2008: 192).
            Bagi kaum konstruktivisme, realitas (berita) itu hadir dalam keadaan subjektif. Realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang dan ideologi wartawan. Secara singkat, manusialah yang membentuk imaji dunia. Sebuah teks dalam sebuah berita tidak dapat disamakan sebagai cerminan dari realitas, tetapi ia harus dipandang sebagai konstruksi atas realitas.
            Substansi teori konstruksi sosial media massa adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan sangat cepat dan sebarannya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis (Bungin, 2008: 203).
            Menurut perspektif ini tahapan-tahapan dalam proses konstruksi sosial media massa itu terjadi melalui: tahap menyiapkan materi konstruksi; tahap sebaran kostruksi; tahap pembentukan konstruksi; tahap konfirmasi (Bungin, 2008: 188-189). Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Tahap menyiapkan materi konstruksi: Ada tiga hal penting dalam tahapan ini yakni: keberpihakan media massa kepada kapitalisme, keberpihakan semu kepada masyarakat, keberpihakan kepada kepentingan umum.
2. Tahap sebaran konstruksi: prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua informasi harus sampai pada khalayak secara tepat berdasarkan agenda media. Apa yang dipandang penting oleh media, menjadi penting pula bagi pemirsa atau pembaca.
3. Tahap pembentukan konstruksi realitas. Pembentukan konstruksi berlangsung melalui: (1) konstruksi realitas pembenaran; (2) kedua kesediaan dikonstruksi oleh media massa ; (3) sebagai pilihan konsumtif. Universitas Sumatera Utara
4. Tahap Konfirmasi. Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun penonton memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam pembetukan konstruksi.
            Pada kenyataanya, realitas sosial itu berdiri sendiri tanpa kehadiran individu baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknai secara subyektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara obyektif. Individu mengkostruksi realitas sosial dan merekonstruksinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi sosialnya.
            Melalui konstruksi sosial media, dapat dijelaskan bagaimana media massa membuat gambaran tentang realitas. Untuk itu, peneliti menggunakan paradigma ini sebagai pandangan dasar untuk melihat bagaimana penguasa      media dengan partai memaknai, memahami dan kemudian membingkai realitas politik terhadap pesan yang disampaikan kepada publik.

2.3  Teori Propaganda
            Teori propaganda menurut Herman dan Chomsky dalam bukunya Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media (1988), adalah teori tentang media yang memaksakan kepentingannya sedemikian rupa agar diterima oleh publik. Bukan lagi menjadi rahasia umum bahwa kepemilikan media sangat strategis, oleh karena itu, para penguasa media akan melakukan apapun agar posisi mereka aman serta sejahtera. Propaganda, melalui sebuah media selalu digunakan untuk membangun citra politik, baik citra politik seseorang maupun citra politik partai.
            Sebenarnya, fokus model propaganda ini adalah pada ketidakseimbangan antara kekayaan dengan kekuasaan dan efek multilevel terhadap minat serta pilihan media massa. Maksudnya, uang dan kekuasaan dapat menyetir output berita serta memungkinkan pihak-pihak dominan (swasta maupun pemerintah) menyampaikan pesan-pesan sesuai dengan kepentingan tertentu pada publiknya.
            Herman dan Chomsky memperkenalkan model propaganda yang didalamnya terdapat filter-filter yang mempresentasikan kekuatan politik yang ada, yakni: ukuran besar-kecil kepemilikan dan orientasi media, pengiklan, sumber berita, flak dan ideologi anti komunisme (Herman, 1988: 2).
            Filter-filter tersebut tentu dimiliki oleh setiap media massa,. Teori Propaganda akan membantu peneliti untuk melihat bagaimana pemilik media menyampaikan kepentingan politiknya melalui media massa yang dimilikinya.

2. 4 Teori Agenda Setting
            Agenda setting diperkenalkan oleh Mc Combs dan DL Shaw dalam Public Opinion Quarteley tahun 1972, berjudul The Agenda Setting Function of Mass Media. Asumsi dasar teori agenda setting adalah jika media memberi tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan memengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting (Bungin, 2008: 281).
            Media menata sebuah agenda terhadap peristiwa ataupun isu tertentu sehingga dianggap penting oleh publik. Caranya, media dapat menampilkan isu-isu itu secara terus menerus dengan memberikan ruang dan waktu bagi publik untuk mengkonsumsinya, sehingga publik sadar atau tahu akan isu-isu tersebut, kemudian publik menganggapnya penting dan meyakininya. Dengan kata lain, isu yang dianggap publik penting pada dasarnya adalah karena media menganggapnya penting. Dalam penelitian ini, teori agenda setting digunakan untuk melihat bagaimana penguasa        media dengan partai politik ini sebagai sesuatu yang penting untuk dikonsumsi publik.

2. 5 Analisis Framing
            Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955 (Sobur, 2004: 161). Mulanya frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandanganpolitik, kebijakan dan wacana serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Tetapi akhir-akhir ini, konsep framing telah digunakan secara luas dalam literatur ilmu komunikasi untuk menggambarkan proses penyeleksian dan penyorotan aspek-aspek khusus sebuah realita oleh media.
            Framing secara sederhana adalah membingkai sebuah peristiwa. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang tersebut yang pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan bagian mana yang dihilangkan, serta hendak dibawa ke mana berita tersebut (Sobur, 2004: 162).
            Menurut Imawan dalam Sobur (2004:162) pada dasarnya framing adalah pendekatan yang digunakan untuk melihat bagaimana media mengkonstruksi realitas. Untuk melihat bagaimana cara media memaknai, memahami, dan membingkai kasus atau peristiwa yang diberitakan. Sebab media bukanlah cerminan realitas yang memberitakan apa adanya. Namun, media mengkonstruksi realitas sedemikian rupa, ada fakta-fakta yang diangkat ke permukaan, ada kelompok-kelompok yang diangkat dan dijatuhkan, ada berita yang dianggap penting dan tidak penting. Karenanya, berita menjadi manipulatif dan bertujuan untuk mendominasi keberadaan subjek sebagai sesuatu yang legitimate, objektif, alamiah, wajar, atau tak terelakkan.
            Adapun dalam penelitian ini, model analisis yang digunakan adalah model analisis framing milik Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Model analisis framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki adalah salah satu model analisis yang banyak dipakai dalam menganalisis teks media. Bagi Pan dan Kosicki, analisis framing dilihat sebagaimana wacana publik tentang semua isu atau kebijakan dikonstruksi dan dinegosiasikan. Framing didefinisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol, menempatkan informasi lebih daripada yang lain sehingga khalayak lebih tertuju pada pesan itu (Eriyanto, 2004: 252).
            Setiap media memiliki konstruksi dan pembingkaian yang berbeda-beda atas suatu realitas atau peristiwa. Demikian juga penguasa         media dengan partai politik terhadap pesan yang disampaikan kepada publik.


DAFTAR PUSTAKA

                Http://id.berita.yahoo.com/blogs/newsroom-blog/konglomerasi-media-di-ring-politik.html.  Diakses padal 22 Mei 2012, pukul 20.00 WIB
            Bungin, Burhan. 2008. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
            Littlejohn, Stephen W (2005) Theories of Human Communication. Wadworth Publishing Company:Belmont
http://pravdakino.multiply.com/journal/item/27/Konglomerasi_Media_dalam_Grup_MNC_Media_Nusantara_Citra. diakses pada 22 Mei 2012 Pukul 20.00 WIB
            Konglomerasi Media Massa sebagai Ajang Hegemoni Pembentukan Opini Publik. @ pangerankatak.blogspot.com Diakses pada 23 mei 2012 Pukul 17.00 WIB.
            http://qnoyzone.blogdetik.com/index.php/2010/09/22/opini-konglomerasi-media-kepemilikan-silang-pemicu-monopoli-pemberitaan/. Diakses pada 23 mei 2012 pukul 20.00 WIB








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah : Media Critical Theory

MAKALAH TWITTER

Teori Komunikasi BAB III Tradisi-tradisi Komunikasi (Semiotika, Fenomenologi, Sibernetika, Sosiopsikologi)